Minggu, 30 Mei 2010

BOOK REVIEW: PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888 KARYA PROF. DR. SARTONO KARTODIRDJO

I. PENDAHULUAN

Buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888 ini merupakan terjemahan dari disertasi karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan judul asli The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Karya ini memperoleh predikat cum laude dari Universitas Amsterdam dan banyak menjadi referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia.

Baca Selengkapnya
Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo adalah sejarawan dan Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM, Semasa hidupnya, Prof Sartono mendedikasikan diri menggeluti sejarah Indonesia. Kehadirannya telah memberikan secercah perubahan dalam kancah intelektual sejarah Indonesia. Ia adalah wakil generasi baru guru sejarah Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern pada lapangan studi sejarah. Ia dikenal sebagai perintis mazhab historiografi “sejarah lokal”, “sejarah dari dalam”, dan tinjauan “sejarah dari disiplin ilmu sosial”.
Penulisan disertasi bertemakan gerakan sosial ini didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Nederlandsentris. Upaya yang dilakukan Prof Sartono melalui social scientific approach telah memberikan cahaya terang dan arah historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Prof Sartono petani justru menjadi aktor sejarah. Petani ataupun kehidupan wong cilik memang tak banyak meninggalkan catatan sejarah, oleh karenanya ada ucapan yang menyatakan bahwa petani adalah les peoples sans histoire, masyarakat yang tanpa sejarah. Karya ini berhasil menunjukkan sebuah fakta bahwa wong cilik ternyata mempunyai peranan menentukan (swing role) dalam politik modern.
Studi ini memiliki tujuan membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan-gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Dalam khasanah historiografi Indonesia studi seperti ini memang masih sangat jarang. Satu-satunya contoh yang menonjol, menurut Sartono adalah studi Schrieke mengenai komunisme di pantai barat Sumatera. Sartono berharap bahwa studi ini menjadi awal dari kegiatan studi semacam ini dan mungkin akan digunakan sebagai contoh dalam riset serupa di masa mendatang. Dari sini diharapkan muncul pemahaman yang lebih baik mengenai implikasi-implikasi- di bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan- dari dampak dominasi Barat terhadap masyarakat tradisional Indonesia di satu pihak, dan mengenai peranan rakyat biasa dalam pembentukan sejarah Indonesia di lain pihak.
Studi mengenai gerakan-gerakan sosial tidak hanya menarik, tetapi juga bermanfaat. Selain dari itu, di dalam suatu kurun waktu yang penuh konflik dan ketegangan, sebagai akibat perubahan sosial yang cepat, semakin dirasakan perlunya memahami kekuatan-kekuatan penggerak di dalam masyarakat. Studi kasus mengenai gerakan-gerakan sosial ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, melainkan juga dimaksudkan sebagai sumbangsih kepada usaha-usaha untuk menjelaskan proses sosial umumnya di Indonesia abad XIX. Pemahaman mengenai hakikat gerakan-gerakan sosial di masa lampau sering kali dapat diterapkan kepada studi mengenai gerakan-gerakan di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

II. PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888 M
A. Pokok Pembahasan
Pemberontakan tahun 1888 yang dibahas dalam studi ini terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau Jawa. Meskipun pemberontakan berkobar dalam jangka waktu yang relatif singkat- dari tanggal 9 sampai dengan 30 Juli-pergolakan sosial yang mendahuluinya harus ditelusuri kembali sampai ke awal tahun-tahun 1870an. Pemberontakan ini hanya merupakan satu di antara serentetan pemberontakan yang telah terjadi di Banten selama abad XIX dan ia juga merupakan satu contoh dari ledakan-ledakan sosial yang sedang melanda Pulau Jawa ketika itu. Dokumen-dokumen Kementrian Urusan Jajahan yang mencakup abad yang lalu memuat laporan tentang banyak pemberontakan dan percobaan-percobaan pemberontakan di kalangan petani. Gerakan-gerakan milinari yang menyertai kegelisahan dan gejolak sosial, bermunculan di pelbagai daerah di Pulau Jawa, sementara gerakan kebangkitan kembali agama menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah agama dan perkumpulan mistik-keagamaan-yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sesungguhnya abad XIX merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Orang dapat menyaksikan suatu modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan yang menyerupai pemberontakan tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di hampir semua keresidenan di Jawa dan di daerah-daerah Kerajaan, memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan-pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal, atau regional, dan berumur pendek. Sebagai gerakan sosial, pemberontakan-pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Bagian terbesar dari pemberontakan-pemberontakan petani itu bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Petani-petani itu tidak tahu untuk apa mereka berontak; secara samar-samar mereka ingin menggulingkan pemerintah, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam satu gerakan sosial yang revolusioner. Yang pasti adalah bahwa tidak ada realisme dalam tujuan yang dikemukakan oleh kaum pemberontak. Mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka pun tidak memiliki pengetahuan politik yang diperlukan untuk membuat rencana-rencana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Oleh karena itu, maka pemberontakan-pemberontakan itu sudah seharusnya gagal, dan semua ledakan itu dengan pasti disusul oleh tragedi tindakan-tindakan penumpasan yang sama.
Arti penting jenis pemberontakan ini tidaklah pertama-tama karena dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak dalam fakta bahwa kejadiannya yang endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur perkembangan politik selama periode “Pax Neerlandica”. Sampai saat jatuhnya rezim Belanda nampaknya ada rasa tidak puas yang meluas yang senantiasa membara di bawah permukaan. Kebanyakan penulis masa itu menganggap pemberontakan-pemberontakan itu sebagai suatu ledakan fanatisme atau suatu huru-hara menentang pajak yang tidak disenangi. Mereka biasanya sudah puas dengan mengemukakan faktor-faktor agama atau ekonomi sebagai penyebabnya. Sesungguhnya pelbagai macam rasa tidak senang mencapai pucaknya selama kerusuhan-kerusuhan seperti itu: baik di bidang ekonomi dan sosial maupun di bidang keagamaan dan politik.
Di dalam rangka kontak antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Indonesia, pemberontakan-pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional. Dengan mulainya berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upahan dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional. Terganggunya keseimbangan lama masyarakat tradisional tidak disangsikan lagi telah menimbulkan frustrasi dan rasa tersingkir yang umum dan perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan seperti itu tak boleh tidak akan meledak apabila dapat difokuskan dibawah suatu pimpinan yang mampu mengarahkan potensi agresif itu terhadap sasaran-sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju pewujudan gagasan-gagasan tentang milinari. Di daerah-daerah di mana agama memainkan peranan yang dominan, pemimpin-pemimpin agama dengan mudah menempati kedudukan sebagai pemimpin dalam gerakan-gerakan rakyat dengan jalan membungkus pesan milenari mereka itu dengan istilah-istilah keagamaan. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan itu juga dapat dianggap sebagai gerakan keagamaan dan gerakan milenari.
Studi ini terutama menyoroti gerakan-gerakan pemberontakan di daerah yang sejak dulu merupakan daerah yang paling rusuh di Pulau Jawa, yakni Banten. Dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan petani di negeri lain dan dalam periode-periode lain pemberontakan tahun 1888 di Banten itu tidak merupakan suatu pemberontakan yang besar. Pemberontakan ini dipilih sebagai pokok studi, bukan pertama-tama mengingat konsekuensi-konsekuensinya, melainkan sebagai suatu gejala yang khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya, yakni pergolakan sosial, yang begitu menonjol di Jawa abad XIX. Selain dari itu, diselidiki masalah-masalah yang oleh para ahli sejarah dianggap kurang penting, untuk membuat sejarah Indonesia lebih komprehensif. Untuk maksud ini tidak boleh tidak harus memperluas lingkup permasalahannya, bukan topiknya-dan memperhalus metodologi yang relevan.
Istilah “pemberontakan petani” (“peasant revolt”) memerlukan sedikit penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa mereka yang terlibat terdiri dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani pemimpin-pemimpinnya jarang petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat, jadi orang-orang yang statusnya memudahkan penilaian mengenai tujuan suatu gerakan dan yang dapat berfungsi sebagai suatu fokus identifikasi simbolis. Hanya dalam arti yang terbatas saja pemberontakan yang terjadi dalam abad XIX di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni. Peranan yang dimainkan oleh golongan lain dalam pemberontakan itu akan ditelaah kemudian. Pemimpin-pemimpinnya merupakan suatu golongan elite yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan fisi sejarah yang sudah turun temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Dalam banyak hal, pemuka-pemuka agamalah yang telah memberikan bentuk yang populer kepada ramalan-ramalan itu dan menerjemahkannya kepada perbuatan dengan cara menarik massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan itu terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasinya berada di tangan kaum elite pedesaan. Guru agama atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hampir semua pemberontakan besar-dalam arti relatif-yang tercatat.
B. Orientasi-Orientasi Historis
Masalah pemberontakan petani dalam historiografi kolonial memang belum banyak menjadi bahan kajian kecuali hanya disinggung sambil lalu saja. Namun itu tidak berarti bahwa kaum tani tidak memainkan peran apa-apa dalam sejarah Indonesia. Tidaklah benar kalau mereka hanya bersikap masa bodoh, selalu penurut dan pasrah kepada nasib. Huru-hara dan pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi berulang-ulang dan merupakan wabah sosial dalam sejarah Jawa abad XIX, merupakan bukti tentang peranan historis yang telah dimainkan oleh kaum tani. Gambaran sejarah mengenai abad itu akan menjadi lebih jelas apabila tekanan tidak lagi diberikan hanya kepada sejarah politik semata.
Sartono mengkritik pendekatan konvensional dalam historiografi kolonial yang didasarkan atas fakta bahwa pendekatan itu menganggap rakyat pada umunya dan kaum tani pada khususnya hanya memainkan peranan pasif saja. Pertama, historiografi kolonial abad XIX memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintah dan kepada soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaannya. Kedua, sikap yang Belanda sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda. Dan oleh karenanya, menurut pandangan ini, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif. Dengan demikian, maka sejarah Indonesia abad XIX untuk sebagian besar hanya merupakan sejarah rezim kolonial Belanda.
Padahal, meski sejarah kaum petani di Indonesia dalam historiografi kolonial kelihatan begitu datar dan seragam, namun ia mengandung arus-arus yang mengalir terus sampai ke zaman modern. selama abad-abad XIX dan XX nampak tanda-tanda yang jelas tentang adanya pergolakan petani dan revolusionisme agraris yang aktif.
Menurut sartono, pendekatan historiografi kolonial yang mengikuti kecenderungan umum studi sejarah hanya menyerap fakta-fakta mengenai peristiwa-peristiwa dan episode-episode politik besar harus ditinggalkan. Kita harus menembus sampai ke tingkat faktor-faktor yang mengkondisikan peristiwa itu. Dilihat dari sudut pandangan ini, peristiwa-peristiwa sejarah yang unik menjadi manifestasi kekuatan-kekuatan yang lebih fundamental yang menampakkan diri di permukaan.
Kelemahan lain dari pendekatan konvensional adalah bahwa ia tidak memperhatikan aspek-aspek struktural sejarah Indonesia; dengan demikian ia tidak dapat menyingkapkan bukan saja proses-proses sosial yang mendasari proses-proses politik, melainkan juga keseluruhan matrik tata hubungan ekonomi, sosial dan politik masyarakat Indonesia di masa lampau. Pendekatan struktural terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Pendekatan ini akan dapat meniadakan prasangka historiografi kolonial yang Belanda-sentris di satu sisi, dan di sisi lain akan memungkinkan kita untuk merekonstruksikan pola-pola sejarah di dalam suatu kerangka referansi yang Indonesia-sentris.
C. Lingkup dan Tujuan Studi.
Studi ini sengaja dibatasi hanya mengenai gerakan-gerakan sosial di Banten abad XIX. Pembatasan ini dilakukan dengan alasan: penyelidikan ini akan lebih bermanfaat jika terbatas di suatu daerah saja yang jelas batas-batas geografis maupun kulturalnya. Tujuannya adalah untuk memberikan batasan yang jelas mengenai latar belakang kultural dan keagamaan dari permasalahannya, dan untuk menghubungkan fenomena historis dari pemberontakan petani sebagai gerakan sosial dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik tertentu di Banten.
Tujuan studi ini tidak hanya untuk melukiskan apa yang terjadi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hal itu terjadi. Persoalan-persoalan tersebut jelas mengacu kepada sebab-musabab atau faktor-faktor kondisional. Selain itu, studi ini mencoba menelusuri bagaimana terjadinya perjalinan di antara kondisi-kondisi itu. Oleh karena kondisi sosial suatu masyarakat jelas berkaitan dengan keadaan ekonomi dan politiknya, maka kekuatan-kekuatan yang menimbulkan perubahan di bidang yang satu, juga menyebabkan perubahan di bidang lainnya.
D. Orientasi dan Pendekatan Teoritis
Secara umum sudah diketahui bahwa gerakan-gerakan sosial sebagai satu proses merupakan hal yang kompleks. Kondisi-kondisi yang ada bersifat multidimensional. Karenanya pendekatan studi ini ditempuh melalui pelbagai jalur metodologis atau perspektif teoritis. Di samping pendekatan historis sebagai pendekatan utama studi ini melibatkan pendekatan multi-dimensional, yang terpenting adalah pendekatan ekonomis, sosiologis, politikologis dan kultural antropologis.
Pendekatan multi-dimensional ini digunakan untuk memperkaya pembahasan historis masalahnya. Dalam memahami gerakan sosial, melibatkan proses-proses sosial,ekonomis dan politis, maka masalah-masalah pokok yang berkaitan dengan gerakan-gerakan itu akan disaring melalui pertimbangan dari pelbagai disiplin itu.
E. Bahan Sumber
Dalam penelitian historis ini, Sartono banyak menggunakan sumber-sumber dalam jumlah yang terbatas; yang terpenting adalah dokumen-dokumen dari Kementrian Urusan Jajahan. Dokumen-dokumen ini merupakan sebagian kecil dari realitas historis yang ada. Dokumen-dokumen itu mencatat kegiatan pejabat-pejabat pemerintah dan opsir-opsir tentara, serta transaksi-transaksi administratif oleh badan-badan pemerintah. Perangkat catatan-catatan ini pun juga terbatas, oleh karena arsip-arsip kolonial metropolitan hanya menyimpan korespondensi antara pemerintah kolonial dan pejabat-pejabat metropolitan. Misalnya, dalam banyak hal berita acara dan catatan-catatan prosedural dari pemerintah kolonial tidak dimasukkan. Namun demikian fakta yang ada bahwa pemberontakan atau kerusuhan selalu mendapat perhatian yang besar, karena peristiwa tersebut bersifat politik dan merupakan bahaya potensial bagi negara kolonial.
Meskipun hanya menyimpan sedikit catatan, arsip-arsip Kementerian Urusan Jajahan menjadi sumber yang tak ternilai bagi sejarah sosial dan ekonomi dan memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai hubungan-hubungan sosial di tingkat setempat. Kasus pemberontakan Banten sangat mencemaskan pemerintah Belanda, maka dokumen-dokumen catatan pemerintah kolonial telah sampai juga di arsip-arsip metropolitan. Untuk itu peneliti menelusuri laporan-laporan dan surat resmi dari pejabat, ketetapan-ketetapan pemerintah, catatan-catatan harian militer, berita-berita resmi, berita-berita acara konferensi, memoranda, dan transaksi-transaksi administratif dan politik lainnya, juga berita-berita acara pengadilan.
Dokumen-dokumen yang paling relevan bagi pemberontakan Banten adalah sebagai berikut: laporan Direktur Departemen Dalam Negeri, termasuk lampirannya yang tebal-tebal; laporan-laporan dan surat-surat resmi-baik yang bersifat rahasia maupun tidak-dari pejabat-pejabat pemerintah; nasihat-nasihat dari Dewan Hindia (Raad van Indie); berita-berita resmi dari pejabat daerah kepada pemerintah pusat; catatan-catatan harian militer yang memuat sebagian besar data mengenai jalannya pemberontakan; catatan-catatan mengenai pemeriksaan kaum pemberontak oleh pengadilan; ketetapan gubernur jenderal mengenai pengangkatan atau pemecatan pegawai negeri sipil, dan pembuangan kaum pemberontak.
Otentisitas dokumen-dokumen tersebut jelas tak perlu dilakukan lagi, oleh karena itu tidak perlu dilakukan upaya kritik ekstern lagi terhadapnya. Sebaliknya kritik intern sangat diperlukan. Hal ini mengingat dokumen-dokumen pemerintah itu dibuat dari sudut pandangan pejabat-pejabat kolonial karenanya ada berbagai faktor subyektifitas yang berpengaruh. Upaya untuk melakukan check and recheck perlu ditempuh untuk menggali kebenarannya, seperti membandingkan pendapat-pendapat atau laporan-laporan pejabat itu dengan riwayat hidup mereka atau komentar-komentar yang diberikan mengenai mereka oleh orang-orang yang sejaman dengan mereka. Selain itu keberadaan surat kabar-surat kabar tidak hanya memberikan banyak informasi pelengkap akan tetapi juga menyingkapkan hubungan-hubungan informal dan situasi-situasi yang tidak akan pernah dicatat dalam dokumen-dokumen pemerintah. Meskipun sebagian besar surat kabar ditandai oleh sikap yang memihak, namun nilai mereka sebagai sumber tidak boleh dianggap sepele. Oleh karena mereka secara menyolok menentang pemerintah kolonial dan menyingkapkan banyak fakta mengenai sikap-sikap politik dalam masyarakat kolonial pada saat pemberontakan itu.
F. Catatan Metodologis
Di dalam studi ini digunakan pendekatan faktor sebagai pelengkap analisis proses. Dalam pendekatan faktor, dikemukakan beberapa di antara variabel-variabel yang paling menentukan yang telah mempengaruhi perkembangan gerakan. Sedangkan pendekatan proses ditekankan pada beberapa aspek analisis dari gerakan itu berdasarkan tahap-tahap perkembangan menurut urutan waktu. Hal ini dilakukan dengan membahas pelbagai kombinasi historis yang konkret dari variabel-variabel itu serta efeknya terhadap meletusnya pemberontakan. Metodologi ini didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang suatu gerakan sosial dari perspektif waktu dan perkembangan, sebelum dapat diadakan perbandingan sistematik atau analisa teoritis. Analisa terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi-konfigurasi dan memperbesar dimensi-dimensi gerakan.
G. Garis Besar Hasil Studi
Studi ini didasarkan atas hipotesis bahwa gerakan keagamaan yang pada hakikatnya merupakan gerakan sosial, bisa diperkirakan mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas-kelas sosial, dengan kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos kultural di dalam golongan-golongan sosial itu. Dalam Bab II, penulis mencoba menunjukkan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan sosial dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan sosial yang tajam dalam masyarakat Banten dijelaskan dari segi sosio-ekonomis golongan-golongan yang saling bertentangan. Dampak kebudayaan Barat telah mempertajam konflik sosial itu.
Di Banten abad XIX ditandai oleh kontak yang semakin meningkat dengan dunia Barat. Perekonomian uang, perpajakan yang seragam, administrasi yang terpusat dan sarana-sarana komunikasi yang modern merupakan gejala-gejala yang menyertai penetrasi kekuasaan kolonial yang berlangsung secara berangsur-angsur. Kebijakan fiskal, administratif dan peradilan yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat harus dilaksanakan oleh pejabat-pejabat pribumi baik di tingkat regional maupun di tingkat lokal. Pelaksanaan pajak kepala peraturan-peraturan tentang rodi tak disangsikan lagi sangat mempengaruhi kehidupan petani dan karenanya menyebabkan timbulnya kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah pedesaan. Penetrasi sistem ekonomi Barat dan ketidakstabilan situasi sosial berkecenderungan untuk memicu meletusnya pemberontakan.
Dalam mendefinisikan status sosial kaum pemberontak, maka faktor-faktor ekonomi seperti pemilikan tanah, penyewaan tanah dan penguasaan tanah dianggap sebagai determinan-determinan yang relevan. Proses perubahan yang sebagai gejala yang menyertai masuknya kebudayaan Barat secara progresif telah melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menyebabkan suatu restratifikasi dalam masyarakat Banten. Kaum bangsawan, yakni aristokrasi tradisional, telah merosot kedudukannya dan menjadi miskin sehingga hilang kekuasaan politiknya, meskipun masih memiliki prestis sosial. Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum aristokrat tradisional dan kaum petani masih terus berpegang pada peranan-peranan tradisional mereka. Seperti tampak dalam banyak hal mereka bekerja sama untuk melawan penetrasi sistem-sistem nilai Barat lebih lanjut. Semakin meningkatnya pengawasan politik oleh Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustrasi yang mendalam di kalangan kaum elit agama, yang dengan sendirinya berusaha mengadakan persekutuan politik dengan kedua golongan tadi. Golongan yang baru dapat diidentifikasikan sebagai aristokrasi modern, yang terutama terdiri dari pegawai negeri atau birokrat. Golongan itu muncul bersamaan dengan ekspansi administrasi Belanda. Sebagai golongan elit baru yang menganjurkan modernisasi, sebagian dari mereka masih berpegang pada nilai-nilai tradisional. Aristokrasi lama melihat hal ini sebagai peluang untuk mempertahankan prestis dan pengaruh sosialnya. Mereka berusaha mengembalikan kedudukan mereka dengan jalan memperkuat afinitasnya dengan elit baru.
Bab III membahas dampak umum kekuasaan formal Belanda terhadap sistem politik di Banten. Adanya kekuasaan Belanda secara berdampingan inilah telah menimbulkan suatu situasi politik yang semakin tidak stabil. Situasi ini tercermin dalam pemberontakan-pemberontakan yang silih berganti. Pemerintah kolonial secara berangsur-angsur membangun satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal-rasional kepada rakyat. Kaum bangsawan yang sudah menjadi miskin dan pemimpin-pemimpin agama lalu merupakan kekuatan-kekuatan yang melawan penguasa-penguasa kolonial.
Ketegangan antara aristokrasi tradisional dan elit agama di satu pihak jauh lebih kentara. Selama beberapa dasawarsa persekutuan-persekutuan yang rapuh sering terjadi; sementara proses peleburan golongan yang terakhir itu ke dalam sistem administratif kolonial berlangsung, permusuhan terbuka terus meningkat. Kegiatan-kegiatan agitasi dari pihak pemimpin-pemimpin agama ditujukan terhadap elit baru dan penguasa-penguasa kolonial. Mereka menggunakan gerakan-gerakan milenari dan kekerasan, sementara elit baru pada akhirnya bersedia menyesuaikan diri kepada unsur yang dominan dalam masyarakat Banten, yakni penguasa kolonial. Penulis menunjukkan bahwa golongan-golongan sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat Banten dipengaruhi secara berbeda-beda oleh proses westernisasi. Karenanya, orang-orang dari berbagai golongan terlibat dengan cara-cara yang berbeda dalam konflik institusional itu. Elit agama dan sebagian dari aristokrasi lama tetap berorientasi pada tradisionalitas, sementara elit baru lebih cenderung modernisasi, meskipun masih terdapat kesetiaan institusional yang dualistis. Sebagai akibat adanya afinitas antara elit baru dan kaum bangsawan, prestis yang pertama menjadi bertambah. Dilihat dari segi akulturasi kita dapat menganggap gerakan-gerakan sosial di Banten sebagai satu bentuk konflik antara golongan-golongan yang dapat dibedakan satu sama lain dan menganut norma-norma dan nilai-nilai yang saling berlawanan. Di bawah pengaruh Barat, masyarakat Banten terpecah-pecah menjadi golongan-golongan yang saling bertentangan berdasarkan kesetiaan kepada lembaga-lembaga tradisional atau kepada lembaga-lembaga yang didatangkan dari luar. Dampak Barat itu mempunyai efek yang mengganggu keseimbangan pola-pola integrasi politik yang tradisional, dan kekuasaan Belanda yang sudah berdiri kokoh menyebabkan sulitnya bagi kekuatan-kekuatan tradisional untuk mempertahankan pengaruh mereka atas masyarakat. Satu-satunya cara untuk bereaksi terhadap efek yang mengacaukan lembaga-lembaga tradisional adalah memobilisasi kaum petani dan melawan kekuasaan kolonial.
Pada Bab IV diketengahkan mengenai berlangsungnya pergolakan sosial yang kronis sebagai salah satu gejala disintegrasi masyarakat Banten setelah runtuhnya kesultanan. Ia merupakan akibat ketidakstabilan sistem politik yang berlangsung di Banten sejak kwartal pertama abad XIX. Di satu pihak terjadi bentrokan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern serta runtuhnya kekuatan sosial yang lama, sementara di lain pihak tidak ada kekuatan integratif sebagai penggantinya. Persekutuannya dengan kekuasaan yang dominan telah menyebabkan kedudukan elit baru bertambah kuat, akan tetapi untuk waktu yang lama pengaruhnya tidak efektif, oleh karena rakyat sudah terbiasa memandang pemerintah kolonial dan kekuasaan politiknya dengan sikap tidak hormat, menghina dan malahan membangkang. Pergolakan lokal merupakan satu ciri yang menonjol, dan mencerminkan kemunduran dan ketidakefektifan administrasi. Pejabat-pejabat lokal tidak mampu memelihara ketertiban dan ketentraman di daerah-daerah pedesaan. Keadaan yang kacau itu menampakkan diri dalam bentuk perampokan, pembegalan, penyamunan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lainnya. Kejahatan-kejahatan itu berkembang subur akibat buruknya administrasi lokal dan lemahnya polisi. Adalah satu kenyataan bahwa unsur-unsur yang rusuh di Banten mendapat bantuan dan dorongan dari rakyat setempat, dan sering kali membangkitkan rasa simpati dan kagum di kalangan rakyat jelata. Di dalam kerangka situasional masyarakat Banten abad XIX, pergolakan sosial dapat dianggap bukan hanya sebagai cermin kacaunya tatanan kehidupan, tetapi juga sebagai kancah peleburan tempat munculnya kebangkitan agama di satu pihak dan pemberontakan di pihak lain.
Kebangkitan kembali agama, sebagaimana dipaparkan pada Bab V, meluas ke seluruh pulau Jawa dan bagian-bagian besar Indonesia selama paruh kedua abad XIX. Ini berkorelasi dengan meningkatnya orang yang naik haji, beredarnya pesan terakhir Nabi, meningkatnya kegiatan orang-orang yang berdakwah dari tempat ke tempat, dan bermunculannya tarekat-tarekat Islam dan sekolah-sekolah agama.
Kebangkitan kembali agama ini mampu mencetuskan respon yang emosional terhadap situasi-situasi yang mengganggu atau yang menimbulkan frustasi. Tarekat-tarekat yang tumbuh subur mendorong fanatisme, sedangkan gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat-tarekat itu menjadi kelompok-kelompok revolusioner yang militan, yang bertujuan menggulingkan kekuasaan kolonial.
Dalam studi mengenai konflik sosial sebagai salah satu aspek utama gerakan sosial kita harus memberikan perhatian kepada peranan yang menentukan yang dimainkan oleh elit agama, oleh karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan, seperti juga kaum petani, dan menentang modernisasi serta berusaha perubahan sosial di Banten. Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai tradisional dan untuk melawan pengaruh-pengaruh Barat yang melanggar dan merongrong efektifitas norma-norma tradisional. Elit tradisional secara berangsur-angsur dibatasi pengaruhnya oleh pihak yang berkuasa dan dipaksa untuk mengambil sikap agresif. Mereka mengembangkan seperangkat kebiasaan-kebiasaan menurut sistem norma tarekat-tarekat tertentu, yang dijadikan dasar bagi tuntutan mereka atas prestasi sosial yang tinggi dan juga atas monopoli penggunaan paksaan. Sistem normatif ini menimbulkan kekuasaan politik dengan akibat bahwa elit agama tampil sebagai lawan kuat birokrat-birokrat kolonial. Kekuasaan dan pengawasan sosial beralih dari pejabat-pejabat ke tangan pemimpin-pemimpin agama. Dengan mendirikan tarekat-tarekat dan sekolah-sekolah agama, yang disebut belakangan ini berhasil mempertahankan kekuasaan mereka. Pada waktu yang bersamaan, tarekat-tarekat mistik sebagai satu lembaga sosial tumbuh menjadi suatu sistem kekuasaan dan memerintah dengan menggunakan paksaan dan otoritas. Sesungguhnya tarekat-tarekat itu merupakan satu ancaman potensial, baik terhadap pemerintah lokal maupun terhadap pemerintah pusat. Dengan semakin meningkatnya kekacauan, ambisi pemimpin-pemimpin agama tidak lagi terbatas pada komunitas lokal, dan perjuangan memperebutkan pengaruh atas kaum tani yang telah mendorong mereka untuk mencari dukungan dan sumber-sumber tambahan di luar komunitas dan golongan mereka sendiri. Meskipun demikian terbentuk suatu hubungan di antara pemimpin-pemimpin agam itu, namun tidak sampai lahir suatu organisasi yang meliputi seluruh negeri dengan satu badan pimpinan pusat. Sebagai akibatnya, mereka tetap lemah sebagai pemimpin-pemimpin gerakan dan tidak mampu bertindak secara kolektif di dalam suatu pemberontakan besar-besaran. Dalam hubungan ini, perlu diberikan tekanan kepada fungsi tarekat-tarekat mistik sebagai alat organisasi untuk meningkatkan kesadaran golongan atau untuk memberikan satu mekanisme yang efektif untuk mengembangkan solidaritas dan untuk meningkatkan agitasi. Perkembangan mereka didukung dan dipermudah oleh kampanye-kampanye kebangkitan kembali yang melanda seluruh negeri selama lebih dari satu dasawarsa. Kampanye-kampanye itu menumbuhkan satu suasana yang bersemangat dan bergairah, disertai perasaan tidak senang terhadap elit sekuler. Oleh karena golongan ini sudah dicemari kebudayaan asing dan kafir, maka mereka tidak dapat diberi tempat di dalam struktur otoritas yang karismati itu. Tarekat-tarekat itu nampaknya mempunyai daya tarik yang kuat bagi kaum tani yang tergolong lapisan sosial bawah.
Dalam Bab VI, disajikan suatu laporan tuturan mengenai peristiwa-peristiwa yang terpenting yang mendahului ledakan pemberontakan itu, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat masa kepada tahap formal persiapan yang sesungguhnya. Keresahan umum memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan murid-murid sekolah agama. Dalam perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh para ‘ulama untuk mengunjungi pusat-pusat lembaga keagamaan di berbagai daerah di pulau Jawa dan dalam meningkatnya prestis dan pengaruh kaum ‘ulama di kalangan kaum petani. Selain dari itu di dalam lingkungan tarekat-tarekat orang semakin ramai berbicara tentang pemberontakan dan “perang jihad”. Semua fenomena ini dapat dipandang sebagai gejala permulaan suatu gerakan revolusioner dengan semakin mendekatnya saat pemberontakan, nampak kegiatan yang meningkat di kalangan kaum ‘ulama, sementara perhatian rakyat dipusatkan pada gagasan perang suci, dan harapan akan kembalinya kesultanan. Dan akhirnya menjelmalah suatu tujuan politik revolusi, yakni penghancuran pemerintahan kolonial. Dengan adanya kegairahan kolektif di kalangan anggota tarekat, keresahan dan rasa tidak puas dapat diintegrasikan; anggota tarekat itu setiap saat dapat dikerahkan sebagai massa-massa yang aktif untuk usaha-usaha bersama yakni perwujudan gagasan milenari.
Waktu persiapan adalah periode di mana pemimpin-pemimpin gerakan tampil ke depan, komunikasi di antara para pemimpin itu dibentuk dan diperkuat, dan rencana serta siasat disusun. Cara-cara propagandanya antara lain adalah berkampanye terhadap penguasa kolonial, indoktrinasi serentak mengenai gagasan perang suci dan menawarkan janji-janji yang menggiurkan seperti penghapusan pajak dan pembentukan sebuah negara Islam.
Bab VII melukiskan pemberontakan yang sebenarnya yang meletus pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan utama terjadi di Cilegon di mana pemusatan pemberontakan yang terbesar meledak dalam tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan perampokan. Teror menandai periode yang singkat itu, di mana Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak. Deskripsi mencakup seluruh proses dari serangan yang pertama sampai dengan tertawannya pemimpin-pemimpin utama pemberontakan
Pada Bab VIII dibahas tahap akhir pemberontakan, terutama mengenai usaha menolong korban-korban yang selamat dari pertumpahan darah dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan yang memakan waktu lama.
Pokok-pokok utama disajikan dalam Bab IX diberi judul “kelanjutannya”. Di antara tindakan-tindakan drastis yang diambil oleh pemerintah adalah: menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat yang dianggap sebagai pusat pemberontakan, pemecatan pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang di bidang administratif sehingga menimbulkan perasaan tidak puas dan kebencian di kalangan rakyat, pencabutan ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan mengenai pemungutan berbagai macam pajak. Selain itu, pemerintah juga telah mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk mencegah terulangnya pemberontakan. Sekolah-sekolah agama dan guru-guru agama di tempatkan di bawah pengawasan pemerintah. Satu kebijaksanaan baru harus diambil mengenai peraturan-peraturan Kerja Wajib, sewa tanah, pajak perdagangan dan pajak kepala untuk mengetahui sebab-sebab utama perasaan tidak puas di kalangan rakyat, diselenggarakan suatu penyelidikan yang ekstensif oleh pemerintah pusat.

III. ANALISIS
Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya : Sebuah Studi Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, merupakan contoh karya sejarah sosial. Sebagaimana tampak dalam judulnya, Pemberontakan Petani Banten 1888 mengambil peristiwa sejarah sebagai obyek kajian, dalam hal ini pemberontakan tahun 1888 yang terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau Jawa. Dari segi pengambilan obyek studi ini kita bisa menyimpulkan bahwa Peasant Revolt of Banten in 1888 karya Sartono Kartodirdjo memiliki obyek kajian yang sangat spesifik. Peristiwa, lokus dan waktu yang menjadi batasan dalam studi ini menunjukkan studi Sartono ini sangat fokus. Pemberontakan ini, demikian menurut Sartono, hanya merupakan satu diantara serentetan pemberontakan yang telah terjadi di Banten selama abad XIX. Abad XIX ini merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai kegelisahan dan gejolak sosial yang disertai dengan gerakan-gerakan milenari dan gerakan kebangkitan agama yang terjadi di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Berdasarkan kenyataan di atas maka studi ini hendak menunjukkan bahwa pemberontakan petani ini memiliki arti dalam perkembangan sosial politik pada masa Hindia Belanda. Arti penting jenis pemberontakan Banten tidak karena terutama dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak dalam fakta bahwa kejadian pemberontakan yang endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari perkembangan politik selama periode “Pax Neerlandica”. Dengan demikian pemberontakan ini dipilih sebagai pokok studi bukan karena konsekuensi-konsekuensinya, melainkan sebagai suatu gejala yang khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya yakni pergolakan sosial yang begitu menonjol di Jawa pada abad XIX.
Sumbangan utama studi ini tampaknya adalah menjadikan studi atas sejarah Indonesia lebih komprehensif, terutama karena fokusnya gerakan petani, gerakan-gerakan keagamaan dan milenari, sebagai masalah-masalah yang selama ini diabaikan oleh para ahli sejarah karena dianggap kurang penting. Sebagaimana dijelaskan penulis buku ini, terdapat orientasi-orientasi umum dalam kepustakaan historiografi Indonesia yang kurang memperhatikan secara serius tentang pemberontakan petani. Hal ini dapat dilihat pada historiografi kolonial mengenai abad XIX maupun historiogarfi konvensional lain yang didasarkan atas sikap Belanda-sentris. Historiografi kolonial memberikan tekanan besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintahan pada umumnya dan kepada pembuatan undang-undang dan pelaksanaannya dan kurang melampaui tingkat struktur-struktur formal. Sedangkan historiografi konvensional yang Belanda sentris, memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya menurut pandangan ini rakyat Indonesia tidak memainkan peran yang aktif. Sejarah konvensional mengenai abad XIX hanya memberikan tekanan pada sejarah politik dan ekonomi semata-mata, hanya mencatat perdebatan-perdebatan parlemen mengenai pembaruan-pembaruan kolonial dan tindakan-tindakan resmi pemerintah. Singkatnya, demikian menurut Sartono, sejarah Indonesia abad XIX sebagian besar hanya merupakan sejarah rezim kolonial Belanda. Pengabaian studi sejarah terhadap pemberontakan yang merupakan gerakan sosial dalam arti luas muncul dari anggapan bahwa gerakan-gerakan itu dianggap sebagai pra politis, tidak akurat dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang besar. Historiografi semacam ini jelas telah gagal menembus lapisan-lapisan permukaan peristiwa-peristiwa nasional dan tidak bisa menangkap dan menyelidiki kekuatan-kekuatan mendasar yang bekerja dalam masyarakat kolonial. Pendekatan historiografi konvensional juga tidak memperhatikan aspek-aspek struktural sejarah Indonesia, dengan demikian ia tidak dapat menyingkapkan bukan saja proses-proses sosial yang mendasari proses-proses politik, melainkan juga gagal dalam memperhatikan keseluruhan matrik tata hubungan ekonomi sosial dan politik masyarakat Indonesia di masa lampau.
Dengan alasan inilah menurut Sartono, diperlukan pendekatan struktural terhadap sejarah Indonesia yang bisa memberikan sorotan mengenai pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Pendekatan semacam ini diharapkan sebagian akan meniadakan prasangka historiografi kolonial yang belanda sentries di satu pihak dan akan memungkinkan bagi rekonstruksi pola-pola sejarah dalam kerangka referensi yang Indonesia sentries.
Model Penulisan Sejarah Sosial Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, buku ini hampir seluruhnya hanya mengenai gerakan-gerakan sosial di Banten abad XIX. Dengan demikian studi memiliki batas-batas yang jelas baik secara geografis maupun kultural. Studi ini bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas mengenai latar belakang kultural dan keagamaan atas pemberontakan itu dan untuk menghubungkan fenomena historis dari pemberontakan-pemberontakan petani sebagai gerakan sosial dengan kondisi-kondisi sosial ekonomi dan politik tertentu di Banten. Dengan demikian studi ini tidak hanya untuk melukiskan apa yang terjadi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya gerakan sosial itu terjadi. Singkatnya studi ini mengacu pada usaha untuk menyelidiki masalah-masalah sebab musabab atau faktor-faktor kondisional yang menyebabkan perkembangan dan kecenderungan yang semakin meningkat untuk melakukan pemberontakan. Unsur-unsur konstitutif atau faktor-faktor tertentu dari kondisi stituasional yang terdapat pada waktu terjadinya gerakan itu ditelusuri kembali sampai tempat kejadiannya yang khas sehingga ditemukan identitas dan kontinuitasnya.
Dalam terminologi ilmu sejarah, inilah yang dikenal dengan model penulisan sejarah sinkronis dan diakronis. Dalam model sinkronis masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Model sinkronis lebih mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan tidak memikirkan terlalu banyak mengenai dimensi waktu. Suatu penulisan sejarah sinkronis biasanya dimulai dengan gambaran tentang lingkungan material dan historis, kemudian sumber-sumber produksi, konsekuensi-konsekuensinya dalam struktur ekonomi, seperti masalah pembagian kerja, tukar menukar barang, akumulasi, distribusi dari surplus dan sebagainya, serta hubungan sosial yang timbul karena latar belakang itu. Sedangkan model diakronis menawarkan bukan saja sebuah struktur dan fungsinya, melainkan suatu gerak dalam waktu dari kejadian-kejadian yang kongkrit harus menjadi tujuan utama dari penulisan sejarah. Dengan kata lain model diakronis adalah model yang dinamis. Model diakronis dan sinkronis melihat struktur dan conjuncture dalam peristiwa sosial. Hubungan-hubungan kausal dan saling pengaruh merupakan esensi penulisan sejarah. Namun sejarah juga bukan hanya suatu susunan sinkronis dari kejadian atau korelasi antara variabel yang merupakan urutan sebuah situasi, tetapi juga urutan dinamis atau dialektis dengan waktu yang jelas. Model semacam ini sangat jelas diambil oleh Sartono dalam buku ini.
Secara teoritik Sartono menyebut upayanya ini sebagai penyelidikan genetik dan analitik. Dengan penyelidikan genetik dan analitik ini faktor-faktor yang relevan dan diperlukan bagi genesis gerakan dan kontinuitasnya diangkat dan dikaji. Gerakan sosial sebagai suatu proses merupakan satu hal yang sangat kompleks. Latar belakang sosial ekonomi, perkembangan politik, keresahan sosial, kebangunan agama, merupakan kondisi-kondisi dan dimensi atau aspek yang berhimpitan dengan gerakan-gerakan itu. Dengan fakta ini maka studi mengenai gerakan sosial memperlihatkan ketergantungan aktual atau potensial antara sejarah dan sosiologi. Oleh karena itu pendekatan utama dalam studi ini jelas adalah pendekatan historis dengan dikombinasikan secara luas dengan pendekatan sosiologi. Penulis buku ini menyebutnya sebagai pendekatan multi dimensional. Dengan kenyataan semacam ini maka ada berbagai perspektif teoritis yang digunakan dalam studi ini. Adapun yang terpenting dari pendekatan itu adalah perspektif ekonomis, sosiologis, politik dan kultural-antropoligis. Pendekatan sosiologis digunakan untuk melihat masalah-masalah solidaritas, perilaku, organisasi, pengelompokan, status, dan peranan golongan elit, konfigurasi sosial, lembaga-lembaga sosial norma-norma, nilai-nilai dan ideologi yang membentuk dan mengkondisikan gerakan. Sedangkan pendekatan sosio-antropologi digunakan untuk mencari korelasi antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan peristiwa-peristiwa politik di satu pihak dan pola kultural di pihak lain. Dengan pendekatan ini dapat ditunjukkan bahwa konflik-konflik sosial di dalam masyarakat Banten dalam kaitannya dengan sistem-sistem nilai tradisional sebagai suatu kekuatan konservatif pada satu sisi dan westernisasi pada sisi yang lain. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi ini, gagasan milenari yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan dari sudut pandang sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan-golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional. Pendekatan lainnya yang tak kalah penting adalah pendekatan melalui politikologi (ilmu politik). Pendekatan ini dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai determinan-determinan gerakan sosial dalam proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial yang saling bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas. Dengan pendekatan-pendekatan di atas dapat diketahui bahwa Pemberontakan Petani Banten 1888 merupakan suatu karya dengan topik yang sempit yang diimbangi dengan perspektif yang luas. Hal ini dilakukan dengan memperbanyak variabel-variabel dan memperluas kerangka referensi sehingga masalah-masalahnya dapat digarap secara lebih kompeten dan mendalam. Inilah suatu cara untuk menghindari pendekatan-pendekatan konvensional terhadap gerakan-gerakan sosial di Indonesia yang menurut Sartono tidak mempunyai validitas historis.
Pemberontakan Banten: Gerakan Petani atau Tarekat? Studi Pemberontakan Petani Banten 1888 didasarkan atas hipotesis bahwa gerakan keagamaan yang pada hakekatnya merupakan gerakan sosial, bisa diperkirakan mempunyai hubungan dengan kelas-kelas sosial yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos kultural di dalam golongan-golongan itu. Sejumlah pertanyaan dikembangkan dan dicari jawabnya untuk membuktikan hipotesis itu. Sejauh mana ada korelasi antara penetrasi sistem ekonomi Barat dan ketidakstabilan situasi sosial yang berkecenderungan untuk meletus menjadi pemberontakan. Apakah ada tekanan-tekanan tambahan yang menyebabkan ketidakstabilan itu menjadi lebih gawat?. Dengan asumsi adanya korelasi antara gerakan sosial dengan kelas-kelas sosial di Banten maka stratifikasi sosial di Banten dianalisas untuk mengetahui; dari lapisan sosial manakah peserta-peserta gerakan itu diangkat dan digerakkan? Bagaimana kedudukan sosial ekonomis mereka pada umumnya. Penyelidikan terhadap korelasi antara gerakan sosial dengan keles-kelas sosial, dan etos kultural golongan-golongan sosial di Banten membuktikan bahwa proses perubahan sebagai gejala yang menyertai masuknya kebudayaan Barat secara progresif telah melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menyebabkan suatu restrukturisasi dalam masyarakat Banten. Kaum bangsawan yakni aristokrasi tradisional telah merosot kedudukannya dan menjadi miskin karena tidak mempunyai kekuasaan politik lagi meskipun mereka masih memiliki prestise sosial. Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum aristokrat tradisional dan kaum petani masih terus berpegang pada peranan-peranan tradisional mereka. Dalam banyak hal mereka bekerjasama untuk melawan penetrasi sistem-sistem nilai Barat. Sementara itu semakin meningkatnya pengawasan politik oleh pihak Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi yang mendalam di kalangan kaum elit agama yang oleh karenanya berusaha mengadakan persekutuan dengan aristokrat tradisional dan petani tadi. Di sisi lain muncul golongan baru yang dapat diidentifikasi sebagai aristokrasi modern yang terutama terdiri dari pegawai negeri dan birokrat. Golongan ini muncul bersamaan dengan ekspansi administrasi Belanda. Pemerintah kolonial secara berangsur-angsur membangun satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional kepada rakyat. Di sisi lain elit agama dan sebagian dari aristokrasi lama tetap berorientasi kepada tradisionalitas, sementara elit baru cenderung untuk menerima baik modernisasi meskipun terdapat kesetiaan institusional yang dualistis. Dilihat dari akulturasi maka gerakan-gerakan sosial di Banten merupakan suatu bentuk konflik antara golongan-golongan yang dibedakan satu sama lain karena perbedaan norma-norma dan nilai-nilai yang mereka anut. Di bawah pengaruh Barat demikian menurut Sartono, masyarakat Banten terpecah menjadi golongan-golongan yang saling bertentangan berdasarkan kesetiaan kepada lembaga-lembaga tradisional atau kepada lembaga-lembaga yang didatangkan dari luar. Dampak Barat itu mempunyai efek yang mengganggu keseimbangan pola-pola integrasi politik tradisional. Kekuasaan Belanda yang sudah berdiri sedemikian kokoh menyebabkan sulitnya kekuatan-kekuatan tradisional untuk mempertahankan pengaruh mereka atas masyarakat. Mobilisasi kaum petani dan melawan kekuasaan dengan demikian merupakan satu cara untuk bereaksi terhadap efek Barat yang mengacaukan lembaga-lembaga tradisional.
Kebangkitan kembali agama yang meluas di seluruh Pulau Jawa dan sebagian besar Indonesia pada abad XIX menurut Sartono juga memiliki korelasi terhadap gerakan-gerakan sosial di Banten. Kebangkitan kembali agama ini mampu mencetuskan tanggapan yang emosional terhadap sirtuasi-situasi yang mengganggu atau yang menimbulkan frustasi. Tarekat-tarekat yang tumbuh dengan suburnya mendorong fanatisme, sedangkan gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota terakat-tarekat itu menjadi kelompok-kelompok revolusioner yang militan yang bertujuan menggulingkan kekuasaan kolonial. Dalam kaitan ini elit agama sebagai bagian dari golongan penduduk pedesaan memiliki peran yang menentukan dalam gerakan sosial. Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai tradisional dan untuk melawan pengaruh-pengaruh Barat yang melanggar dan merongrong efektifitas norma-norma tradisional. Pembatasan pengaruh elit tradisional secara berangsur-angsur telah memaksa mereka untuk mengambil sikap agresif dengan mengembangkan seperangkat kebiasaan yang didasarkan pada sistem norma tarekat tertentu. Dalam hubungan ini tarekat-tarekat kemudian berfungsi sebagai alat organisasi untuk meningkatkan kesadaran golongan atau untuk memberikan satu mekanisme yang efektif untuk mengembangkan solidaritas dan untuk meningkatkan agitasi dalam rangka mengobarkan pemberontakan.
Demikianlah studi mengenai pemberontakan petani Banten itu menunjukkan bahwa gerakan sosial itu ditentukan oleh banyak faktor. Peristiwa itu dapat ditempatkan di dalam konteks perkembangan-perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik dan agama. Singkatnya pemberontakan petani Banten sebagai hasil gerakan sosial yang telah berlangsung lama dapat dipandang dari segi akulturasi pada umumnya dan milenarisme pada khususnya. Kontak kebudayaan mengakibatkan perubahan institusional yang dinamis, mengakibatkan destrukturisasi dan diferensiasi norma-norma, nilai-nilai dan simbol-simbol. Secara sosiologis gerakan itu merupakan proses perubahan sosial yang disertai dengan gejala yang menyertainya yaitu, konflik sosial, disorganisasi dan reintegrasi sosial. Gerakan sosial itu juga merupakan gejala dari transformasi sosial politik abad XIX yaitu peralihan otoritas tradisional ke otoritas legal-rasional dan gerakan itu sendiri merupakan manifestasi dari otoritas kharismatik.
Sejumlah Pertanyaan. Dari pembacaan terhadap buku ini saya mempertanyakan sejumlah hal. Pertama, identifikasi pemberontakan Banten sebagai gerakan Petani dalam penyelidikan Sartono justru kurang mendapat dukungan yang kuat dan luas. Hancurnya struktur sosial dan ekonomi tradisional masyarakat Banten sebagai petani memang merupakan hasil dari penetrasi Barat yang ikut memicu sentimen anti penguasa. Namun Sartono tidak menunjukkan gerakan itu berakar dari apa yang disebut oleh James C. Scott sebagai moral petani. Menurut Scott Moral ekonomi petani yang tidak lain adalah pengertian mereka tentang keadilan ekonomi, definisi kerja mereka tentang eksploitasi –pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka yang dapat ditolerir dan mana yang tidak dapat ditolerir, itulah akar-akar normatif dari kegiatan politik petani.
Kesulitan untuk mengidentifikasi pemberontakan Banten sebagai gerakan keagamaan ataukah gerakan petani ini tampaknya akibat dari pilihan metodologis. Sempitnya fokus dan luasnya perspektif justru mengakibatkan kabur dalam keseluruhan uraian mengenai pemberontakan Banten sebagai gerakan petani. Kesan yang saya tangkap dari pembacaan buku ini justru pemberontakan Banten merupakan gerakan keagamaan dalam hal ini gerakan tarekat kadiriah yang dianggap oleh sartono hanya sebagai kedok belaka. Saya ingin membuktikan pandangan ini dengan menunjukkan skala gerakan dan faktor-faktor yang relevan yang ditemukan oleh Sartono mengenai gerakan pemberontakan Banten 1888. Skala gerakan dan faktor-faktor itu adalah sebagai berikut: (1) di Banten terdapat satu tradisi untuk memberontak; (2) di daerah itu terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus menerus yang bersumber pada keadaan dimana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privelese mereka; (3) dampak penentrasi dominasi kolonial secara berangsur-angsur mengacaukan bagian-bagian kehidupan agama; (4) ada satu pimpinan revolusioner yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan itu; (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengarahkan operasi-operasi dan mobilisasi sumber-sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.
Siapakah yang dimaksud lapisan besar penduduk yang mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan prevelese? Menurut Sartono mereka adalah kaum aristokrat tradisional. Apakah yang dikacaukan oleh penetrasi kolonial?, menurut sartono adalah bagian-bagian kehidupan agama (para haji dan akitifitas tarekat) yang diawasi secara terus menerus oleh kekuasaan politik kolonial. Siapakah para pimpinan revolusioner dalam pemberontakan Banten? Tidak lain adalah para haji pengikut tarekat kadiriah murid-murid Kyai Haji Abdul Karim. Apakah alat-alat keorganisasian yang digunakan untuk mengarahkan dukungan dan mobilisasi sumber daya manusia dan material? Tidak lain adalah tarekat kadirah yang tersebar di berbagai pedesaan di Banten. Lalu dimana letak posisi petani dalam pemberontakan ini?

IV. PENUTUP
Dari Book Review yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya : Sebuah Studi Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, merupakan contoh karya sejarah sosial yang otoritatif dan karenanya banyak menjadi referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia.
2. Buku ini merupakan satu contoh awal yang mengaplikasikan metode penelitian modern pada lapangan studi sejarah sehingga dianggap sebagai tonggak dirintisnya mazhab historiografi “sejarah lokal”, “sejarah dari dalam”, dan tinjauan “sejarah dari disiplin ilmu sosial”. Penulisan gerakan sosial ini didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Nederlandsentris. Upaya melalui social scientific approach telah memberikan cahaya terang dan arah historiografi Indonesiasentris.
3. Karya Sartono Kartodirdjo ini memiliki obyek kajian yang sangat spesifik. Peristiwa, lokus dan waktu yang menjadi batasan dalam studi ini menunjukkan studi Sartono ini sangat fokus. Dengan penyelidikan genetik dan analitik, faktor-faktor yang relevan dan diperlukan bagi genesis gerakan dan kontinuitasnya diangkat dan dikaji. Pendekatan multidimensional terhadap Pemberontakan Petani Banten 1888 ini menandakan suatu karya dengan topik yang sempit yang diimbangi dengan perspektif yang luas.
Demikian Book Review ini saya susun, tentu terdapat banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran konstruktif dengan senang hati saya terima. Semoga Book Review ini bermanfaat. Amin.

3 komentar: