Selasa, 22 Desember 2009

Oksidentalisme

I. PENDAHULUAN

Menurut Marshal McLuhan, kebudayaan merupakan suatu bentuk “perluasan manusia” (extension of man) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang-waktu yang melingkupinya. Dalam pengertian yang kurang lebih masih bersifat pararel, dengan meminjam pemikiran Gramsci, kebudayaan pada tahapan yang lebih jauh adalah juga suatu bentuk hegemoni dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya.1
Hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan memang sudah menjadi suatu aspek dinamis dari kebudayaan. Persoalannya adalah bahwa hegemoni kebudayaan itu berlanjut pada pembentukan citra-citra kebudayaan yang dijelaskan secara berbeda: ada kebudayaan superior dan ada kebudayaan inferior. Asumsi inilah yang menjadi landasan pembenaran bagi dilakukannya kolonialisme dan imperialisme. Dalam bentuknya yang lebih canggih, kolonialisme dan imperialisme kontemporer adalah kolonialisme dan imperialisme kesadaran untuk membentuk, menundukkan, mendisiplinkan, dan menggiring nalar dan alam bawah sadar suatu masyarakat. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan media. Masih menurut McLuhan, the medium is the message, media itu sendiri membentuk pesan dan citra kultural tertentu. Perkembangan teknologi, terutama teknologi multimedia, jelas sangat menguntungkan bagi upaya-upaya kolonisasi kesadaran ini. Model-model seperti ini kemudian membentuk suatu monolog kebudayaan superior yang diperdengarkan kepada masyarakat kebudayaan inferior2
Oksidentalisme berada dalam kerangka pemikiran untuk mengakhiri monolog kesunyian suatu kebudayaan yang dianggap superior, yakni kebudayaan Barat. Selama ini, citra kebudayaan Barat sedemikian superior, berhadapan dengan kebudayaan Timur yang dianggap inferior. Citra superioritas Barat ini kemudian dituangkan dalam wacana orientalisme yang menjadikan kebudayaan Timur sebagai obyek kajian. Inilah awal monolog kebudayaan Barat tentang kebudayaan Timur. Sebagai sebuah wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula sejumlah aktivitas “ilmiah” yang berupa studi kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other—seperti juga kegilaan berhadapan dengan rasio— sehingga sah-sah saja bila kebudayaan Timur itu dijadikan obyek kajian. Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah. Identitas kultural masyarakat Timur lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.3
Melalui wacana oksidentalisme sebagai studi tentang ke-barat-an diharapkan adanya suatu perimbangan diskursif dalam kajian-kajian kebudayaan. Identitas kultural masyarakat timur tidak akan tergilas begitu saja namun tanpa harus mengisolasi diri dari interaksi masyarakat kosmopolit. Makalah ini ingin menyuguhkan usaha-usaha awal pembentukan diskursus baru kajian-kajian barat dan ke-barat-an yang mulai mendapat sambutan cukup menggairahkan. Kajian ke-barat-an yang dimaksudkan di sini bukan hanya studi tentang budaya atau studi area yang setaraf dengan kajian-kajian dalam dalam cabang ilmu lain. Tetapi ia adalah sebuah diskursus yang mempunyai basis ideo-epistimologis yang dibangun secara formatif. Dengan kata lain, kajian kebaratan di sini berpangkal pada studi subyektif budaya lain dalam wacana oksidentalisme sebagai counter orientalisme.

II. Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme
a. Munculnya Oksidentalisme
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani. Pada mulanya ia hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi ketimbang sebuah proyek peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, ada indikasi ketidakpuasan dari kajian-kajian barat dan kebaratan yang sudah ada. Pertama, karena kajian-kajian semacam itu merupakan produk Barat yang notabene tidak bisa lepas dari bias dan subyektivitas. Kedua, kajian semacam itu tidak lebih dari sebuah promosi peradaban orang lain yang kurang (untuk tidak mengatakan kosong) dari kritisisme. Lebih dari sekedar alasan ini, nampaknya kelahiran oksidentalisme lebih didorong faktor emosional atas kekalahan-kekalahan dari barat yang dialami oleh dunia Timur pada umumnya dan Islam pada khususnya. Barat dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai timur. Oleh mereka, timur telah dijadikan bukan hanya sekedar obyek, tetapi, lebih dari itu, Timur-sebagaimana Benjamin Disraeli- adalah “karir” buat orang barat.4
Hegemoni dan penguasaan Barat atas timur menciptakan kebencian rasial yang semakin dan terus memuncak. Kebencian itu tidak hanya diekspresikan sebatas sikap pasif, tapi usaha-usaha menjawab dan membongkar kepalsuan Barat sudah banyak dilakukan, terutama dalam kritik mereka terhadap orientalisme, di dunia Islam khususnya. A.L. Tibawi misalnya, lima belas tahun sebelum Edward Said menerbitkan buku klasiknya orientalism, sudah sangat gencar “menelanjangi” niat busuk barat yang diwakili kaum orientalis.5
Menurutnya, orientalisme memang diciptakan sebagai lahan “penghancuran” Islam, disamping usaha misionaris Kristen dan New Crusades. Buat orang Barat lewat orientalisme, Islam adalah “the work of the devil” al-Qur’an adalah “a tissue of absurdities” dan Nabi Muhammad sebagai “a false Prophet”, “an impostor” atau “antichrist”. Jelas, propaganda yang dilakukan para orientalis semacam ini telah sukses memberikan image buruk tentang Islam di dunia Barat, dan kesan itu masih terasa bahkan sampai sekarang.
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat eksistensi bangsa Barat. Khususnya yang menyangkut dunia Arab-Islam, sejarah orientalisme bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dan karya budaya kaum muslim setelah adanya interaksi dan pergantian kuasa wilayah Islam di belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan Perang Salib di kota-kota suci Islam di daerah Syam dan Palestina. Pada mulanya adalah keingintahuan akan modal dan kekayaan lawan. Kemudian secara berangsur kajian ini terus berkembang menjadi salah satu bidang kajian terpenting di universitas-universitas Barat. Raymond Rull adalah orang pertama yang mengenalkan kajian bahasa Arab di institusi-institusi Kristen. Peter the Venerable adalah penguasa yang mempromosikan penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Latin. Dari sini kemudian departemen-departemen kajian keislaman dan kearaban mulai dibuka di hampir seluruh universitas penting Eropa.
Menurut A. Luthfi Assyaukani, ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.6 Pertama, tahapan dialog antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab-Islam, India dan Parsi) baik secara langsung atau tidak. Dalam level ini penerjemahan karya-karya kaum muslim, buku-buku filsafat dan kedokteran merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku optik karya Ibnu Kaitham merupakan buku pertama ilmuwan Muslim yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Tokoh-tokoh penting gerakan orientalisme ini adalah John of Sevile, Romanus, Agustinus dan Adilard.
Tahapan kedua adalah era pasca Perang Salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum Muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah beberapa gelombang Perang Salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana Barat yang menyertai “missi suci” tersebut dengan leluasa berkenalan lebih dekat lagi dengan sumber-sumber peradaban Islam. Lalu, pada akhir abad ke-15 dan awal-awal abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya. Itali mempunyai Romasios, Spanyol mempunyai Pedro de Calla, Inggris mempunyai William Badwell dan Polandia mempunyai Christinius. Pusat-pusat kajian keislaman didirikan di kota-kota penting Eropa: pada 1539 departemen bahasa Arab didirikan di ‘college de France, Universitas Sorbonne Perancis. Pada 1613 di Belanda didirikan sebuah institut untuk kajian yang sama. Dan pada waktu yang bersamaan Oxford dan Cambridge, menyusul mendirikan kajian ketimuran di mana kajian Arab-Islam merupakan yang terpenting.
Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonialisme dan imperialisme Eropa ke hampir seluruh negeri dan bangsa non-barat, dunia Islam khususnya. Orientalisme dalam tahapan ketiga ini merupakan ‘ajudan’ para kolonialis dan alat yang paling ampuh untuk mendalami kondisi sosio-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam tahapan ini orientalisme telah bertukar peran. Kalau sebelumnya ia sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar menjadi penguasaan dan perampasan hak-hak Timur yang dilegitimasi lewat kolonialisme. Timur telah menjadi obyek yang bukan lagi kajian atau obyek studi, tetapi obyek kekuasaan dan kesemena-menaan bangsa yang lebih kuat.
Tentu dalam konteks ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa seluruh orientalis adalah “budak-budak” kaum kolonialis. Tidak bisa dinafikan bahwa banyak juga dari para orientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan ketimuran, terutama pada masa-masa akhir generasi orientalisme. Di samping itu, orientalisme-setelah mengalami “pembantaian” baik oleh penulis-penulis Timur seperti Tibawi, Anwar Abd al-Malik, Abdallah Laroui dan Said atau dari Barat sendiri seperti Foucault, Recour dan Bordeau- tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya: para pengkaji ketimuran dari Barat akan merasa risih untuk disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat pejoratif . Mereka lebih selesah untuk dipanggil “Islamolog” “Egyptolog” atau sejenisnya.
Pada level ini dan pada perkembangan selanjutnya, orientalisme bukanlah sebagai kajian obyek yang mempunyai metode tersendiri. Tetapi, ia kini sudah menjadi obyek kajian, yaitu, setelah tersingkapnya keburukan-keburukan orientalisme melalui kritik yang datang baik dari kalangan luar (Muslim) dan kalangan dalam sendiri (Barat), orientalisme menjadi pasif dan menjadi bidang studi yang dipelajari. Ia tidak lagi menjadi alat sebagaimana yang dipakai sampai awal abad ke duapuluh, bahkan orientalisme sebagai corpus ilmu sudah mati, meski beberapa metode yang ditinggalkan oleh para orientalis masa-masa itu, masih tetap digunakan oleh para Islamolog dan pengkaji budaya bangsa Timur lainnya. Dari sini kemudian timbul suatu kajian atas orientalisme dan metode serta pencapaian-pencapaiannya. Di al-Azhar misalnya, telah lama dibuka kajian orientalisme (qism al-istisyraq) di mana orientalisme dijadikan obyek kajian. Juga di universitas-universitas Arab lainnya, mata kuliah metode orientalisme (manahij al-istisyraq) telah lama diajarkan.
Kajian orientalisme sebagai obyek yang dilakukan di beberapa universitas muslim pada tahapan selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang dan perspektif “selain Barat”. Kajian seperti ini berbeda dengan studi area atau studi budaya yang sudah sekian tahun berjalan, karena tekanan yang diberikan di sini adalah faktor subyektivitas timur dalam membaca dan mengkaji Barat. Inilah ilmu oksidentalisme itu.

b. Tokoh Oksidentalisme: Hassan Hanafi, Riwayat hidup dan Setting sosial politik.
Setelah penjelasan singkat di atas tentang gejala oksidentalisme serta hubungannya dengan kritik orientalisme hingga terwujudnya kajian lanjut tentang kebaratan yang dilihat dari perspektif lain, nampaknya amat perlu bagi kita untuk menginvestigasi lebih lanjut siapakah ilmuwan atau penulis non-Barat pertama yang berbicara secara khusus mengenai oksidentalisme ini. Selanjutnya tulisan ini akan mengetengahkan usaha-usaha dalam mewujudkan dan mensistematisasi oksidentalisme, yang dilakukan oleh seorang pemikir Mesir, Hassan Hanafi.7
Sejauh yang kami ketahui, tidak ada satupun –sebelum Hassan Hanafi- buku khusus yang mengkaji tentang oksidentalisme baik yang ditulis dalam bahasa Islam (Arab, Persia, Urdu) atau bahasa Eropa lainnya. Kajian-kajian kebaratan yang ada selalu bersifat studi area atau kajian kultural yang penekanannya lebih kepada telaah informatif budaya lain. Baru pada penghujung 1991, Hassan Hanafi menerbitkan bukunya: Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Pengantar kepada Oksidentalisme)
Hasan Hanafi adalah pemikir Muslim asal mesir. Kita mafhum Mesir adalah bagian dunia Islam yang termasuk paling awal mengalami islamisasi, the earliest Arabised country (sejak Amr Ibn Ash abad VII).8 Berbeda misalnya dengan Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara lainnya yang paling akhir terislamisasi (the least Arabised countries).9 Mesir termasuk “pusat peradaban Islam” sejak awal perkembangan ini. Maka, tidak mengejutkan negeri ini memiliki tradisi politik dan intelektual Islam amat kaya. Tidak terhitung banyaknya para pemikir politik Islam yang lahir di negeri ini. Karya-karya besar tentang Islam –mulai dari tafsir Al-Qur’an sampai teori politik Islam- telah dihasilkan oleh negeri ini dalam jumlah yang sulit dihitung. Pada abad XX (saja) Mesir telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia antara lain Rasyid Ridha, Mohammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Husein Haikal, Thaha Hussein Muhammad Al-Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Qardhawi dan lain-lain.
Tokoh-tokoh ini, selain aktifis pergerakan Islam terkemuka, juga memiliki keunikan dan kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka menjadi mainstream dalam wacana pemikiran keagamaan dan politik Islam yang tidak hanya berpengaruh di Mesir, tapi juga di dunia Islam pada umumnya. Abduh dikenal sebagai ahli tafsir terkemuka di dunia Islam.10 Demikian juga dengan Qutb11dan ulama sekular Raziq.12 Dan di antara mereka muncul pencetus aliran pemikiran baru di dunia Islam. Hanafi-pemikir paling mutakhir di antara mereka- merupakan salah satu contoh. Ia mencetuskan gagasan mengenai kiri Islam (Arab: Al-Yasar Al-Islam, Inggris: Islamic Left) dan oksidentalisme (Occidentalism).
Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934.13 sejak usia muda ia telah tertarik dengan persoalan-persoalan politik negaranya dan dunia Islam. Hanafi mengamati berbagai pergolakan politik dan keagamaan di Mesir; pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin pimpinan Sayyid Qutb melawan rezim Jamal Abdul Nasser. Hanafi mengagumi perjuangan organisasi dan tokoh pergerakan Islam itu. Inilah yang kemudian mendorongnya untuk mengkaji intensif gerakan Ikhwanul Muslimin−sebab-sebab kegagalan dan keberhasilan perjuangannya−serta pemikiran-pemikiran religio-politik Qutb. Hanafi amat terpikat dan dipengaruhi pemikirannya mengenai agama dan revolusi (sebuah tema yang kemudian konsisten digelutinya).14
Hanafi juga prihatin dengan gejala serbuan westernisme (westernisasi) yang melanda dunia Islam, terutama Mesir yang menyebabkan tradisi budaya dan peradabannya semakin terkikis. Hanafi misalnya tidak habis pikir mengapa di negara-negara Muslim (seperti Mesir) gejala MacDonalisasi dan gejala Kectucky Fried Chicken menjamur bak di musim hujan. Dunia Islam mengikuti Baratasebagai ‘model kemajuan dan kemodernan’ dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pola-pola makan model Barat. Keprihatinan seperti itulah yang mendorongnya menggagas wacana oksidentalisme.15
Sejak usia muda, Hanafi telah terpikat pada kajian-kajian pemikiran dan filsafat (Barat dan Islam, yang klasik dan kontemporer) yang lalu mendorongnya untuk mempelajarinya di universitas Kairo. Ia berhasil lulus pada 1956. setelah itu ia melanjutkan studi filsafatnya di Universitas terkemuka Sorbonne, Paris Perancis dan berhasil meraih gelar Master dan Doktor di bidang filsafat. Untuk meraih gelar doktor ia menulis disertasi berjudul ‘L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux’, sebuah upaya akademis mengkaji ilmu ushul fiqh dengan pendekatan unik, fenomenologi Edmund Husserl. Dikatakan unik karena sejauh yang diketahui, belum banyak kajian ushul fiqh yang dikaji melalui perspektif fenomenologis seperti itu.
Studinya di Universitas Sorbonne memungkinkan Hanafi menjelajahi puncak-puncak filsafat dan pemikiran Eropa. Hanafi menyerap gagasan-gagasan liberalisme, demokrasi, filsafat pencerahan dan rasionalisme Cartesian. Hanafi juga menguasai nyaris sempurna fenomenologi Hussler, Martin Heifegger, Marxisme-Sosialisme dengan berbagai variannya. Di samping tentunya ia menguasai ilmu-ilmu keislaman dari yang klasik hingga yang modern. Aliran-aliran pemikiran yang digelutinya di Perancis ini sangat menentukan corak pemikirannya. Dari semua aliran pemikiran Barat, Fenomenologi Husler dan Marxisme adalah yang paling berpengaruh. Tanpa ragu, Hanafi mengambil metode materialisme sejarah (historical materialism) dan dialektika materialisme (dialectical materialism) sebagai perangkat metodologi dan pisau bedah analisisnya. Ia menggunakan metode Marxis ituuntuk memahami berbagai persoalan sosial, keagamaan dan politik. Sebagai contoh, Hanafi menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan perjuangan Islam melawan hegemoni kultural Barat dengan metode dialektika. Berdasarkan metode serupa ia menentukan apa dan bagaimana sebuah revolusi Islam bisa dilakukan didunia Islam. Karena kuatnya pengaruh Marxis itu muncul anggapan bahwa Hanafi adalah seorang pemikir Marxis. Namun, kalau ditilik lebih jauh, meski terdidik di Barat, kecenderungan keislamannya tidak bergeser. Ia tetap commited dengan cita-cita perjuangan Islam berhadapan dengan dominasi kultural Barat.

a.Pemikiran Oksidentalisme
Sebagai wacana intelektual dan akademis, oksidentalisme relatif baru muncul di dunia Islam, khususnya Mesir sekitar dekade 1980-an. Di indonesia, wacana ini ‘terlambat’ diperkenalkan pada komunitas intelektual setidaknya dua dekade. Setelah kedatangan Hassan Hanafi di tahun 2000 dan penerjemahan karyanya yang berjudul “Oksidentalisme, sikap kita terhadap tradisi Barat”16 barulah wacana ini dikenal dan mendapat perhatian khalayak akademis.
Karya Hanafi itu bisa dilihat sebagai bagian dari ‘kerja Raksasa’ untuk menyempurnakan proyek-proyek peradaban yang dilakukannya sekitar dekade 1980-an, yaitu yang dinamakan proyek “Tradisi dan Pembaharuan” (al-Turats wa al-Tajdid). Untuk proyek ini, ia telah melakukan studi bertahun-tahun, konsisten bekerja nyaris tanpa jeda, lalu menuliskan hasil penelitiannya dalam berjilid-jilid buku. Untuk ‘pengantar’ memahami Oksidentalisme (Muqaddimah fi al-‘ilm al-istighrab) saja ia telah menulis sekitar 800 halaman.
Kerja intelektual raksasa ini mencakup tiga hal pokok; (1) Sikap kita terhadap tradisi lama; (2) Sikap kita terhadap tradisi Barat; (3) Sikap kita terhadap realitas. Menurut Hanafi, setiap agenda memiliki penjelasan teoritisnya sendiri-sendiri. Dan itu disadarinya merupakan ‘kerja raksasa’. Atas dasar itulah Hanafi kemudian secara bertahap menuliskan penjelasan-penjelasan teoritis agenda pertama yang mencakup kajian mengenai transformasi dari teologi ke revolusi, dari tranferensi ke inovasi, dari teks ke rasio, akal dan alam serta manusia dan sejarah. Penjelasan teoritis itu penting sebagai dasar filosofis pengkajian bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap warisan dan tradisi Islam klasik. Agenda pertama ini menurut Hanafi mengambil porsi pembahasan terlama, terbesar dan terbanyak dibandingkan dua agenda lainnya mengingat agenda pertama ini mengandung unsur historisitas yang sangat panjang.17
Dalam menjelaskan agenda kedua, “Sikap kita terhadap tradisi Barat”, Hanafi menilai ada tiga persoalan pokok yang harus dikaji serius. Pertama, sumber peradaban Eropa. Di sini diteliti faktor-faktor atau tradisi peradaban apakah yang menjadi dasar pemikiran dan filsafat pembentukan peradaban Eropa. Bagaimana misalnya kontribusi warisan peradaban Yunani-Romawi, peradaban Yahudi dan Kristen, serta peradaban lainnya. Kedua, mengkaji proses bagaimana kesadaran Eropa muncul khususnyapada zaman Reformasi Protestan abad XV-XVI pada zaman Rasionalisme Cartesian di abad XVII serta zaman pencerahan di abad XVIII. Ketiga,akhir kesadaran Eropa. Kesadaran Eropa diyakini Hanafi dimulai dari munculnya filsafat “saya berfikir” menjadi “saya ada”. Di fase historis ini, kesadaran Eropa melakukan otokritik terhadap masa lampaunya, hasil karya peradabannya, kritik terhadap idealisme dan positivisme serta ditemukannya “jalan ketiga” dan fenomenologi.18 Mengenai agenda ketiga, sikap kita terhadap realitas Hanafi tidak banyak menguaraikannya kecuali sekedar catatan bahwa agenda ini mencakup obyek kajian teoritis.
Lahirnya wacana oksidentalisme dilatari oleh keprihatinan Hanafi atas keterbelakangan Dunia Islam selama ini. Hanafi gelisah melihat perkembangan umat Islam (dan dunia timur) pada umumnya yang begitu terhegemoni, terdominasi peradaban Barat dan semakin rapuhnya tradisi klasik Islam di dunia Islam. Hanafi melihat bangsa-bangsa Timur (Muslim) tanpa sikap kritis menerima warisan kultural Barat dari satu sisi dan di sisi lain menolak warisan tradisi klasiknya sendiri. Akibatnya, kaum muslimin mengalami krisis identitas kultural yang parah. Selain itu dengan menggulirkan wacana oksidentalisme, Hanafi berharap, wacana orientalisme yang selama berabad-abad mendominasi dunia memiliki counterpart-nya yang setara.
Menurut Hanafi, Oksidentalisme counterpart –semacam tandingan- bagi orientalisme yang berkembang selama ini. Bila orientalisme merupakan kajian orang-orang Barat atau siapapun mengenai Timur dan Dunia Islam, memahami manusia non-Barat dengan pendekatan Barat, maka oksidentalisme adalah kajian orang-orang non-Barat (Muslim) mengenai Barat dengan segala aspek kehidupannya. Orientalisme merupakan cara pandang ‘orang lain’ (Barat)-dalam bahasa Hanafi ‘al-akhor’ (Inggris ‘the other’) tentang timur dan Dunia Islam-‘al-ana (ego)- serta menjadikannya objek kajian keilmuan dengan segala aspek kepentingan yang terdapat di dalamnya. Sebaliknya oksidentalisme, merupaka upaya ‘al-ana’ (ego) menjadikan ‘al-akhor’ (the other) – Barat dan segala aspek kehidupan peradabannya sebagai objek kajian.19
Melalui oksidentalisme, Timur mempelajari dan memahami Barat. Bila dalam kajian orientalisme Timur dan Islam dijadikan ‘objek’, maka dalam kajian oksidentalisme Baratlah yang dijadikan objek. Timur dan Islam lalu menjadikan dirinya sebagai ‘subjek’. Dengan logika itu, oksidentalisme bertujuan mengikis ‘egosentrisme’ Barat yang berlebihan terhadap Timur dan Dunia Islam. Barat juga diharapkan tidak lagi selalu menjadi ‘subjek’. Dengan cara demikian Barat tidak lagi merasa benar sendiri, dan yang lain salah. Barat bersifat ‘objektif’, ‘superior’, ‘maju’, ‘beradab’ sementara Timur dan Islam ‘subjektif’, ‘inferior’, ‘terbelakang’, dan ‘biadab’.
Inferioritas Timur dan Islam terhadap Barat dengan demikian terkikis, sehingga antara Barat dan Timur tercipta hubungan yang sederajat (equal). Hanafi meyakini bahwa dalam hubungan yang sederajat itulah dialog antara Barat dan Timur bisa diciptakan. Barat menjadikan Timur sebagai partner sejajar, bukan seperti hubungan tuan-budak atau majikan-buruh. Hanafi mengingatkan bahwa tujuan oksidentalisme menyetarakan dirinya dengan Barat tidak lalu berartiTimur dan Islam menolak apapun yang berasal dari Barat, menilai Barat keliru dalam segala hal. Bagi Hanafi, Timur dan Islam tetap harus objektif dan kritis dalam menilai Barat dan dan menerima ‘warisan Barat’ yang tidak bertolak belakang dengan warisan tradisinya sendiri.
Kajian-kajian oksidentalisme didasarkan pada prinsip ‘netralitas’. Berbeda dengan orientalisme yang ‘subjektif’ dan berpihak pada kekuasaan kolonialis-imperialis. Netralitas yang dimaksud adalah ketidakberpihakan oksidentalisme terhadap segala hal bentuk kepentingan kekuasaan politik seperti kolonialisme atau kepentingan untuk menaklukkan dunia lain. Oksidentalisme tidak berambisi menghegemoni dan mendominasi dunia. Oksidentalisme menghindari kecenderungan itu dengan cara menghadirkan emosi batin yang netral dalam memandang the other, dan menjadikannya objek kajian keilmuan.20
Hanafi mengelaborasi secara kreatif kisah-kisah penemuan geografis Barat atas Dunia Timur dan Islam dengan implikasi-implikasinya.Hanafi mengatakan bahwa Barat memiliki versi sendiri yang berbeda mengenai penemuan-penemuan benua non-Eropa. Dan versi itu bertolak belakang dengan fakta sejarah, sehingga secara akademis dan historis logika penemuan itu bersifat distortif. Jauh dari kebenaran. Oksidentalisme dimaksudkan untuk meluruskan distorsi itu.
Kita mengetahui berbagai faktor ekonomi, agama dan pengetahuan telah mendorong bangsa-bangsa Eropa keluar dari batas-batas geografisnya. Dari sinilah mulai episode ‘sejarah penemuan’ bangsa-bangsa non-Eropa. Istilah ‘penemuan’ kurang tepat dan amat berbau etnosentrisne Eropa. Apa yang disebut ‘penemuan’ sebenarnya petualangan, dari sisi tertentu ‘perampokan’ Eropa atas wilayah-wilayah Timur. Jauh sebelum kedatangan mereka ke dunia Timur, wilayah-wilayah Timur telah dihuni selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dan di wilayah-wilayah itu juga sudah ada peradaban-peradaban besar.
Hanafi sendiri-tentu dengan sejumlah argumentasi- memakai istilah ‘penemuan’ geografis. Yang dianggapnya penting dalam wacana oksidentalisme. Karena dari situlah kita mengetahui bagaimana persepsi Barat terhadap manusia non-Barat. Hanafi mengemukakan sejumlah pemikiran mengenai hal ini.
Pertama, penemuan-penemuan geografis kental dengan nuansa etnosentrisme Eropa (European ethnocentrism), suatu perasaan dan sikap Eropa yang menilai peradabannya paling unggul, kosmopolitan, civilised, dan menjadi ‘pusat’ bagi peradaban-peradaban Dunia non-Barat.
Etnosentrisme itu membuat Barat menjadi arogan. Seolah-olah Dunia (non Barat) ada hanya apabila ‘kesadaran Eropa’ mengetahuinya. Dunia non Barat (the Orient) hanya ada apabila bangsa-bangsa Eropa ‘menemukan’ mereka dalam penjelajahan geografisnya.Amerika ada setelah ‘kesadaran Eropa’ mengetahuinya melalui penjelajahan Columbus ada 1492. Australia ada setelah James Cook ‘menemukannya’, Hindia Belanda (Jawa) ada setelah Cornelis de Houtman menemukannya pada 1596. demikian juga wilayah lainnya. Kenyataan ini menurut Hanafi berarti pengetahuan kita tentang dunia non-Barat sejajar dengan eksistensi geografis Eropa. Keberadaan Timur ditentukan eksistensi Eropa. Padahal kenyataan aksiomatik menunjukkan bahwa terlepas kesadaran Eropa itu ada atau tidak, terlepas ‘penemuan-penemuan’ geografis itu ada atau tidak, negara-negara non-Barat tetap ada.
Di Eropa, etnosentrisme tidak hanya telah menjadi bagian dari kehidupan budaya orang awam Eropa, tetapi juga para ilmuwan terkemukanya. Karya-karya sosiologis Max Weber dan Norbert Elias misalnya menunjukkan hal itu. Weber menilai agama Barat –Kristen Protestan- lebih unggul dalam mengembangkan kapitalisme dibangding agama-agama Timur. Etika protestan memberikan nilai-nilai keagamaan yang memungkinkan perkembangan modernisasi dan kapitalisme di Barat. Elias dalam karyanya The Civilising Proces dan State Formation mengklaim Barat memiliki etika kehidupan beradab dibanding bangsa-bangsa lain.21
Kedua, penemuan-penemuan geografis juga telah membuat seakan-akan peradaban non-Eropa sama dengan peradaban prasejarah. Selama bangsa-bangsa Eropa belum menemukan peradaban di luar dirinya, maka peradaban tersebut dinilai belum memasuki fase sejarah, primitif dan uncivilised. Bangsa-bangsa non-Barat (Timur) hanya akan beradab manakala telah berinteraksi dengan peradaban Barat. Dan interaksi itu sebagaimana yang ditunjukkan sejarah dimulai sejak kehadiran kolonialisme dan imperialisme Barat di negeri-negri Timur. Melalui kolonialisasi dan imperialisasi Barat merasa berhak mengklaim dirinya sebagai agen-agen peradaban maju dan modern di negeri-negeri Timur.
Untuk sebagian hal itu ada benarnya. Melalui kolonisasi Barat, bangsa-bangsa non-Barat mengenal modernisasi (termasuk dalam bidang sains dan teknologi) dengan segala implikasi sosial, ekonomi dan moralnya. Namun di sisi lain, pandangan itu menunjukkan kekeliruan a-historical serius dalam memandang sejarah bangsa-bangsa Timur. Asumsi bahwa bangsa-bangsa Timur hanya bisa beradab setelah berinteraksi dengan Barat menolak kenyataan historis bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa Barat maju dan modern serta beradab, bangsa-bangsa Timur telah mencapai puncak kegemilangan peradabannya. Sebagai contoh, ketika nenek moyang bangsa Indonesia membangun Candi Borobudur yang megah dan gaya arsitektur yang tinggi (abad IX) saat itu bangsa Belanda masih hidup tanpa peradaban di gua-gua yang gelap.
Ketiga, awal penemuan geografis Eropa atas bangsa-bangsa Timur menurut Hanafi merupakan awal imperialisme klasik-tradisional. Sejak itulah kesadaran Eropa ‘keluar’ dari batas-batas geografisnya. Kesadaran Eropa mulai memasuki kesadaran bangsa-bangs lain yang membuat bangsa-bangsa Barat menjadi ekspansif, agresif dan bernafsu untuk menaklukkan bangsa-bangsa non-Barat. Sejak penemuan geografis itu batas-batas geografis Eropa melebar.
Imperialisme dan kolonialisme Barat berimplikasi amat jauh bagi kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa non-Barat. Hanafi mengatakan bahwa sejak itulah Barat telah mendestruksi besar-besaran atas kebudayaan dan peradaban lokal negeri-negeri yang ‘ditemukan’ (baca: ditaklukkan). Kebudayaan lokal-adat istiadat, agama, bahasa daerah (venicular language)- negeri taklukkan secara bertahap namun pasti seakan ‘kehilangan’ peranan sosial dalam masyarakat koloni. Budaya lokal mengalami krisis identitas (crisis of identity) dan tercerabut dari akar-akarnya (uprooted) dengan implikasi serius terhadap kehidupan masyarakat seperti terjadinya disorientasi sosial individu, terpolarisasi masyarakat dalam ‘kubu tradisionalis’ versus ‘kubu modernis-westernis’, split personality anggota masyarakat, rusaknya tatanan tradisi setempat yang telah berlaku selama berabad-abad.
Kesemuanya ini-seperti ditunjukkan banyak kasus- bermuara pada konflik-konflik sosial lokal serius. Bentuk konflik sosial itu antara lain dalam bentuk gerakan-gerakan sosial anti Barat seperti revolusi nasional. Pengaruh penaklukan budaya ini masih berlanjut meski bekas koloninya itu telah merdeka secara politik.
Di sinilah letak signifikansi pemikiran oksidentalisme Hanafi. Tokoh ini mengingatkan kita bahwa wacana oksidentalisme signifikan dalam membangun kembali tradisi-tradisi lama (klasik) Timur (khususnya Islam) yang selama ratusan tahun terdestruksi serbuan budaya Barat. Hanafi juga concern dengan masalah-masalah ketergantungan Timur (Dunia Islam) terhadap Barat, khususnya ketergantungan di bidang kebudayaan paska kemerdekaan. Ia selalu mempertanyakan mengapa sekalipun negara-negara Islam telah merdeka namun kenyataanya tetap saja dipengaruhi dan didominasi oleh Barat. Oksidentalisme, menurutnya bertugas menjawab pertanyaan tersebut. Oksidentalisme harus mampu menolak Barat dijadikan standar, tolok ukur teoritis, sains, kebudayaan bagi masyarakat-masyarakat Timur (Muslim). Oksidentalisme perlu mengupayakan membangun tradisi Islam dan menjadikannya standar nilai kebudayaan, sains, teknologi dan lain-lain.
Keempat, ‘penemuan-penemuan’ geografis merupakan fase awal sejarah perampasan dan eksploitasi sumber-sumber alam wilayah bangsa-bangsa non-Eropa yang nyaris tidak memiliki preseden dalam sejarah. Barat mengeksploitasi sumber-sumber alam negara koloni mereka. Penjualan manusia (perbudakan) secara paksa juga terjadi atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang berhasil ditaklukkan kekuatan-kekuatan kolonialis-imperialis Eropa. Budak-budak Afrika dalam jumlah ribuan dibawa ke negara-negara koloni Barat seperti Amerika. Sebagian dari mereka diperlakukan jauh dari rasa kemanusiaan.
Menurut Hanafi, perbudakan Bangsa Barat atas Timur masih berlangsung sampai sekarang. Hanya berlainan bentuknya dengan dulu. Tetapi esensinya tetap; penuh kekejaman, eksploitatif dan jauh dari rasa kemanusiaan. Mengapa tragedi sejarah ini tetap terjadi? Sebab pokoknya menurut Hanafi karena Timur, khususnya Dunia Islam masih tetap tergantung kepada Barat dalam berbagai bidang sains, teknologi, sosial, politik dan ekonomi. Hal ini ada benarnya, IMF (International Monetary Fund) yang mayoritas anggota berpengaruhnya adalah negara Barat, sejak terbentuknya hingga sekarang berperan menentukan atas jauh bangunnya sebagian negara Asia dan Afrika. Tidak jarang IMF ‘mendiktekan’ kepentingan negara-negara Barat atas non-Barat, sehingga tanpa disadari mereka berada dalam cengkeraman atau hegemoni negara-negara Barat yang notabene adalah negara bekas penjajah mereka di masa lampau.
Sejalan dengan pemikiran Hanafi, Ali Syari’ati juga berpendapat serupa. Hegemoni dan dominasi Barat atas dunia non-Barat (kaum muslimin) telah menciptakan jenis perbudakan baru; perbudakan kaum intelektual. Menurutnya, mereka telah diperbudak oleh kepentingan kaum kapitalis negara Barat sehingga mereka hanya ‘membeo’ saja. Mereka telah kehilangan kepercayaan diri, keberanian, dan inisitif untuk melawan jenis perbudakan baru itu. Mereka ditemukan di pusat-pusat studi kesarjanaan terkemuka seperti Sorbonne, Harvard, Oxford dan lain-lain.22
Kelima, ‘Penemuan-penemuan’ geografis telah mempolarisasi bangsa-bangsa di dunia ke dalam kategori bangsa beradab bangsa primitif, maju (developed) terbelakang (underdeveloped) atau sedang berkembang (developing), industri-agraris, rasionalis-mistis, objektif-subjektif dan seterusnya. Ironisnya, bangsa-bangsa Eropa berada dalam posisi yang menguntungkan (masuk kategori pertama) sedangkan negara-negara non-Barat (Timur) masuk kategori kedua. Akibatnya citra negara atau bangsa Timur buruk dan terbelakang. Steriotipe negatif ini terus cenderung dilestarikan dalam kajian-kajian orientalisme. Karya-karya kesarjanaan Barat mengenai negara-negara berkembang di Asia dan Afrika misalnya menggunakan istilah keterbelakangan, Dunia ketiga (the third world), negara agraris dan sebagainya. Yang kesemuanya menunjukkan bias-bias subjektif terhadap negara dan masyarakat non-Barat.

d. Tujuan Oksidentalisme

Dalam karya Oksidentalisme, Hanafi menyebutkan sejumlah tujuan menggulirkan wacana Oksidentalisme antara lain untuk memberikan kepada tradisi Barat dan dunia pada umumnya kajian-kajian ‘netral’ mengenai Barat dan segala aspek peradapannya. Persis seperti yang dilakukan kaum Orientalis dalam mengkaji peradapan-peradapan non-Eropa. Melalui kajian-kajian Oksidentalisme itu, barat seperti ‘bercermin’-melihat sosok diri dan kepribadiannya melalui orang lain di luar dirinya. Barat tidak lagi bercermin pada dirinya sendiriyang mengakibatkannya menegasi standar-standar kebenaran lain di luar dirinya. Oksidentalisme bisa memberikan perspektif dan kaca mata baru kapada Barat dalam mamandang identitas kultural dirinya. Karena, kaum Orientalis selama ini memiliki stuktur emosionalis dan sujektivitas yang tidak ada bedanya dengan emosi dan stuktur peradabannya sendiri (peradaban Barat) sedangkan kaum Oksidentalis tidak demikian. Mereka berasal dan memiliki stuktur emosi subjektifitas lain dengan kaum Orientalis Barat sehingga mereka relatif ‘berjarak’ dengan peradapan Barat yang dijadikan objek kajiannya.23 Di sisi lain, kajian Oksidentalisme ini berbeda dengan kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai Barat sebelumnya yang dikatakan Hanafi lebih bersifat reaksioner, jauh dari sifat objektif akademis dan semata-mata untuk mencari kelemahan dan menyerang Barat. Apa yang dikatakan Hanafi mungkin mengandung kebenaran bila kita menelaah karya-karya pemikir Muslim mengenai Barat misalnya beberapa karya Maududi, Maryam Jameelah, Mustafa As-Sibai, Muhammad dan Sayid Qutb, Hamdi Zaqzuq. 24
Hanafi sadar bahwa pengkajian Oksidentalisme bisa terjebak pada sikap subektif dan tergelincir dala permis-permis retorik dan fanatisme serta menyerang objek kajian seperti yang terjadi di kalangan kaum Orientalis. Kalau ‘kekeliruan’ itu muncul dikalangan kaum Oksidentalis, maka hal itu disebabkan terutama bila mereka (kaum Oksidentalis) pernah mengalami pahit getirnya kolonisasi-imperialisasi kultural Barat atas dirinya. Pengkajian Oksidentalisme bisa terjerumus pada sikap ‘balas dendam terhadap Barat’. Tapi semua kendala itu menurut Hanafi bisa diatasi seandainya kaum Oksidentalis bekerja atas dasar kesadaran dan orijinalitas akademis yang tinggi.25
Oksidentalisme, sebagaimana dikemukakan di atas, lahir dari keprihatinan Hanafi atas Dunia Islam paska kemerdekaan. Dirinya selalu bertanya mengapa meskipun Negara-negara Muslim telah bebas dari kolonialisme dan imperialisme Barat (setidaknya secara politik) tetap saja ‘mengekor’ dan berada dalam pengaruh dan bahkan dalam banyak kasus masih tergantung pada Dunia Barat.26 Ketergantungan itu menguntungkan Barat, namun di sisi lain sangat merugikan Timur dan Islam. Dan situasi ini terus di upayakan pelestariannya oleh Barat melalui berbagai cara.
Ketergantungan Timur dan Dunia Islam terhadap Barat mulai dari aspek militer hingga kebudayaan, sains dan teknologi. Barat berbuat sedemikian rupa sehingga Timur atau Dunia Islam selamanya tergantung pada proteksi kekuatan militer Barat. Timur, khususnya Dunia Islam diperlakukan diskriminatif dalam masalah pamilikan senjata-senjata mutakhir (rudal, bom dan lain-lain) yang daya hancurnya menyamain senjata-senjata milik Dunia Barat (khususnya milik Eropa dan Amerika Serikat). Ini misalnya yang dialami Irak, Iran dan Pakistan. Upaya negara-negara Muslim untuk membangun kekuatan militernya –antara lain melalui produksi senjata nuklir- dihambat oleh negara-negara Barat dengan alasan demi perdamaian. Padahal kenyataannya, Barat jauh sebelumya telah memiliki senjata-senjata itu baik untuk mempertahankan dirinya maupun dalam rangka ekspansi kolonialisme-imperialismenya. Dalam konteks ini kita bisa juga memahami mengapa negara-negara Barat terkesan enggan atau bahkan menolak melakukan transfer teknologi persenjataannya ke Dunia Timur. Maka, pandangan bahwa transfer teknologi Barat ke Timut atau Dunia Islam sebagai utopia (sesuatu yang mustahil terjadi) tidak sepenuhnya terjadi.
Ketergantungan Timur dan Dunia Islam dalam aspek sains lebih besar lagi, tidak hanya dalam sains-sains eksakta natural sciences (kedokteran, kimia, fisika) tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial, social sciences (ilmu politik, sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu hubungan internasional, kriminologi dan lain-lain). Dalam kajian-kajian ilmu sosial, karya keilmuan sarjana Barat (dari yang klasik hingga yang kontemporer) seperti karya-karya Karl Marx, Engels, Durkheim, Max Weber, aliran Frankfurt, David Apter, Huntington, Almon dan lain-lain masih dijadikan rujukan (reference atau text book) bagio para mahasiswa Muslim. Sebagian mahasiswa Muslim itu bahkan seakan yakin karya-karya sarjana Barat abadi dan universal. Meskipun kenyataannya, sebagian karya mereka kurang (dan bahkan) tidak relevan dalam menganalisa kehidupan sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan Timur dan Islam. Bukan tempatnya di sini untuk mengungkapkan alasan-alasan mengapa demikian.
Oksidentalisme, sebagaimana yang saya pahami dari bacaan mengenai pemikiran Hanafi, berusaha memberikan alternatif jalan keluar (way out) dengan mengkaji berbagai kesalahan dan kekeliruan umat Islam yang mengakibatkan mereka berada dalam hegemoni, dominasi dan tergantung pada Barat selama ini. Upaya itu tentu sepenuhnya akademis. Dalam kaitan ini, apa yang dilakukan Hanafi memiliki kesamaan dengan upaya-upaya Islamisasi sains Ismail Raji Al-Faruqi beberapa dekade lalu. Feruqi mencoba ‘mengislamisasikan’ sains yang telah terkontaminasi oleh bias-bias westernisme –yang dari sudut ajaran Islam bertentangan dengan prinsip keesaan Tuhan (tauhid).27
Hanafi memberikan analisanya mengenai sebab ‘mengekor’ dan ketergantungan terhadap Barat itu. Selama berabad-abad antara Barat dengan Islam (Timur) terjadi perseteruan-perseteruan antara ego (al-ana) dengan the other, atau antara pergerakan pembebasan tanah air dengan kolonialisme-imperialisme Barat. Dalam perseteruan itu, ego berhasil mengalahkan (secara fisik) the other. Paska kemerdekaan, gerakan-gerakan pembebasab tidak ada lagi. Tapi fenomena katidak seimbangan (unequal) antara keduanya tetap berlangsung; hubungan antara subordinat, taun dengan hamba, produsen dengan konsumen, pihak pertama superior, pihak kedua inferior.28
Disinilah tugas Oksidentalisme. Yaitu membebaskan revolusi modern dari kesalahan-kesalahan yang menyebabkan langgengnya ketergantungan itu. Oksidentalisme menyempurnakan kemerdekaan, mentranformasi kemerdekaan militer (fisik) ekonomi, politik, kebudayaan dan kemerdekaan peradaban.29 Dalam konteks ini Hanafi mengapresiasi positif lahirnya gerakan-gerakan pembebasan yang dibangun atas dasar pijakan tradisi nasional-lokal serta lahirnya ideologi-ideologi ‘baru’ di Asia, Afrika, Amerika Latin seperti Negroisme, Intuitifisme, Persatuan Islam (Pan Islam), Nasionalisme Arab, Sosialisme Arab, Teologi pembebasan dan lain-lain.
Analisa Hanafi tentang ketergantungan Timur dan Islam terhadap Barat tentulah bukan analisa baru sama sekali. Kita tidak mengetahui persis dari sumber mana Hanafi memperoleh analisis itu. Namun yang pasti dalam kajian ilmu sosial di Barat masalah ketergantungan telah dijadikan objek kajian sejak dekade 1960-an, yaitu ketika para ilmuan sosial mengemukakan teori ketergantungan (theori dependensia). Kasus utamanya adalah negara-negara Amerika Latin. Tokoh-tokoh teoritisi ini antara lain Gunder Frank, Samir Amin, Ernesto laclau, Cardozo, Dos Santos, Ian Roxborough, Hamza Alavi dan lain-lain. Sebagian besar mereka beraliran positivis, Marxis atau Neo-Marxis. Melihat sedemikan intensnya Hanafi bergulat dengan pemikiran Marxis atau Neo-Marxis, maka bukan mustahil pemikirannya mengenai masalah ini dipengaruhi oleh teori-teori dependensia yang dikemukakan teoritisi itu.
‘Penyakit’ kronis kebanyakan kaum Orientalis adalah etnosentrisme Eropa (European ethnosentrism). Maka, adalah tugas penting Oksidentalisme untuk melenyapkan ‘penyakit’ tersebut. Hanafi menilai sumber kekeliruan kaum Orientalis dalam memahami Timur dan Islam disebabkan etnosentrisme yang begitu kuat mempengaruhi kajian mereka. Etnosentrisme membuat bangsa-bangsa Barat (Eropa) kehilangan objektifitas dan merasa benar sendiri dan peradabannya yang paling terbaik didunia. Dengan mengikis etnosentrisme Eropa ini, orang-orag Barat akan lebih jernih dalam memahami dunia lain diluar dirinya. Melalui kajian-kajiannya, Oksidentalisme menyuguhkan kepada Barat bahwa etnosentrisme menyesatkan siapapun yang ingin melakukan kajian ‘objektif’ mengenai dunia non-Barat.30
Hanafi menolak etnosentris Eropa. Argumentasinya; Pertama, Tradisi Barat tidak universal, kosmopolitan atau mencakup seluruh model-model eksperimen manusia. Tradisi Barat, sama sekali kebanyakan tradisi lainnya didunia, bersifat lokal partikularistik. Generalisasi tradisi Barat berarti mereduksi kenyataan sejarah dan kebudayaan dunia. Kedua, tradisi Barat juga bukanlah pengalaman panjang eksperimen manusia yang berhasil mengakumulasikan pengetahuan mulai dari Timur sampai Barat, tetapi hanyalah pemikiran yang lahir dalam konteks lokal-partikularistik tertentu (Eropa). Salah satu buktinya, orang Barat sendiri menyatakan lokalitas dan partikularitas peradaban dan tradisi merekadengan sebutan ‘peradaban kita’, ‘pemikiran kita’, ‘sejarah kita’, ‘ilmu pengetahuan kita’ dan seterusnya.31 Etnosentrisme telah mendikotomikan dunia kedalam sentrisme dan ekstrimisme pada wacana kebudayaan dan peradaban. Dan tugas Oksidentalisme adalah mneghapuskan dikotomis itu.
Meluruskan istilah dan wacana yang berbau sentrisme Eropa merupakan cara yang mesti ditempuh dalam menghapus dikotomi itu. Kegiatan itu kemudian diikuti oleh penulisan ulang sejarah dunia dengan cara yang objektif dan netral serta adil terhadap kontribusi berbagai peradaban non-Barat dalam sejarah dunia.32
Mengikis mitos Barat dan menghentikan ekspansi peradaban Barat di dunia Islam adalah tugas penting lain Oksidentalisme. Selama berabad-abad Barat berwatak ekspansionis. Kesadaran Eropa demikian leluasa menjelajahi (bahkan mendominasi) kesadaran-kesadaran Timur dan Islam tanpa ada satupun kekuatan yang berhasil menghentikannya. Disini tugas Oksidentalisme; menghentikan ekspansi peradaban Barat, kemudian mengembalikan kesadaran Barat kebatas-batas alaminya (Eropa bagian utara). Peradaban dan kesadaran Barat hanya diperuntukkan orang-orang Barat. Ia menjadi kebudayaan lokal partikularistik kembali seperti pada masa-masa sebelum terjadinya ekspansi dan penaklukan Dunia Timur.
Oksidentalisme juga berupaya menjelaskan mengapa dan bagaimana kesadaran Eropa (baca: Westernisme) begitu sentral dan menentukan bagi peradaban Islam sepanjang sejarah yang mengakibatkan umat Ialam selain mengalami krisis identitas budaya juga sukar melahirkan pemikiran-pemikiran orijinal. Pemikiran Muslim menjadi sekedar carbon copy dari pemikiran-pemikiran Barat. Bagi Hanafi, ini merupakan masalah peradaban yang mesti diatasi oleh oksidentalisme. Hanafi kemudian mencontohkan bahwa mayoritas aliran pemikiran islam lebih bersifat kebarat-baratan (Westernised) ketimbang berwatak Islami. Misalnya gerakan reformasi agama (al-ishlah al-diin) yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani, paham liberalisme politik (al-libraliyyah-Al-Thanthawi) dan rasionalisme ilmiah (al-aqlaniyyah al-ilmiyyah) yang dipelopori Syibli Shimel. Semua aliran dan para tokohnya mengidolakan dan menjadikan modernisasi maupun kemajuan Barat sebagai model terbaik bagi kaum Muslimin.
Muhammad Abduh, murid terkemuka Reformis muslim asal Mesir Rasyid Ridha, sangat mengagumi Barat. Ia sangat kuat dipengaruhi rasionalisme Barat dan menggunakan pendekatan-pendekatan rasionalisme Barat itu untuk memahami ajaran-ajaran Islam. Tafsirnya yang terkenal, Al-Manar, merefleksikan pemikiran-pemikiran rasional Abduh dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Demikian kekaguman Abduh kepada Barat membuatnya berkeyakinan bahwa apabila negara-negara Islam ingin modern, maju dan bebas dari keterbelakangan selayaknya mengikuti model-model modernisasi Barat.
Oksidentalisme justru beranggapan sebaliknya dari apa yang diyakini Orientalis Barat, yaitu bahwa peradaban maupun tradisi Barat tidak universal, tetapi bersifat lokal partikularistik. Karena ia lahir dalam konteks sejarah, kebudayaan, motif-motif lokal dan partikularistik di Eropa. Wataknya yang lokal partikularistik membuat peradaban dan tradisi Barat hanya cocok bagi masyarakat Barat, tetapi tidak cocok bagi masyarakat-masyarakat Timur dan Islam. Dengan argumentasi seperti itu, Hanafi juga mengklaim bahwa pandangan yang menyatakan peradaban Barat berhasil mengakumulasikan peradaban Timur dengan peradabannya sendiri tidak lain adalah mitos belaka.
Di sini pemikiran Hanafi ‘bertemu’ dengan penganut aliran relativisme kebudayaan (Cultural Relativism) seperti Melville J. Herskovits.33 Penganut aliran kultural ini berasumsi bahwa ada hukum relatifisme yang berlaku pada setiap tradisi atau kebudayaan. Yaitu bahwa setiap kebudayaan dibentuk oleh konteks sosio, ekonomi, historis yang lokal partikularistis tertentu sehingga produk kebudayaan yang lahir dari konteks demikian tidak bisa digeneralisasi berlaku untuk masyarakat-masyarakat yang memiliki konetks sosio, ekonomi dan histori yang berbeda. Nilai-nilai budaya yang dianggap ‘baik’ bagi suatu masyarakat boleh jadi ‘buruk’ bagi masyarakat lainnya. Konsep mengenai ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘beradab-tidak beradab’, ‘sopan-tidak sopan’, dan seterusnya menjadi amat tergantung pada konteks kebudayaannya.34

a.Kekuatan-Kelemahan Oksidentalisme

Oksidentalisme Hanafi mengandung sejumlah kekuatan. Kekuatan itu antara lain wacana oksidentalisme membangkitkan semangat kaum Muslimin dan Dunia Timur umumnya untuk merevitalisasi khazanah tradisi Islam klasik atau tradisi lama Timur yang mengedepankan rasionalisme. Bukan mitos, legenda atau dongeng-dongeng tak masuk akal. Hanafi sangat menghargai akal (rasio) dalam memahami tradisi klasik itu. Gagasannya mengenai perlunya transformasi dari kefanaan dan keabadian, dan dari teks rasio menunjukkan bahwa ia menghargai rasio yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Rasionalisasi penting karena ia akan mampu mendekonstruksi mitos-mitos tradisi Islam yang selama berabad-abad mengekang (merendahkan) kebebasan dan kemerdekaan berfikir umat Islam. Dari kerangka berfikir seperti itu bisa dimengerti mengapa Hanafi meneritik tajam aliran-aliran tertentu dalam tasawuf Islam (silamic mysticism) yang dianggapnya sebagai sumber penyebab keterbelakangan umat Islam sepanjang sejarahnya. Tasawuf menyebabkan umat Islam beorientasi kepada dunia di luar dirinya bukan pada apa yang di hadapi dalam realitas keseharian.35
Oksidentalisme juga telah membangkitkan kesadaran umat Islam dan Dunia Timur bahwa segala bentuk kolonisme-imperialisme Barat harus diakhiri. Kesadaran itu pada taraf tertentu akan tertransformasikan dalam bentuk aksi-aksi atau yindakan kongkrit dan empiris.
Di samping memiliki kekuatan, Oksidentalisme juga dikritik memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan itu antara lain; aliran pemikiran ini dari sisi epistimilogis belum memiliki posisi yang jelas dalam disiplin keilmuan.
Berbeda dengan kajian-kajian Orienlaisme yang telah demikian mapan dalam sisi epistimologis, pendekatan, teori serta perangkat-perangkat keilmuan lainnya. Karena kelemahan epistimologis ini, Oksidentalisme belum mampu menyajikan hasil-hasil kajian akademis yang bertaraf unggul. Kita dengan mudah dapat menyebutkan tokoh-tokoh ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan dalam studi Orientalisme dan juga karya-karya besar mereka (mulai dari Renan, Marx, Montesquieu, Weber, Witfogel, sampai Louis Massignon, Benard Lewis, Willaim Liddle, Ben Anderson, Geertz dan Robert Hefner). Tapi, berapa banyak mereka yang berkecimpung dalam kajian Oksiden-talisme? Berapa banyak jumlah karya yang telah mereka hasilkan selama ini? Membandingkan Orientalisme dan Oksidentalisme dari sisi-sisi itu memang tentulah kurang adil. Namun itulah kenyataan yang dihadapi kaum Oksidentalis.
Keadaan ini juga disebabkan faktor lain yaitu kecenderungan Oksidentalis yang ideologid, emosional. Bersifat ideologis karena Oksidentalisme lebih dimaksudkan sebagai tandingan, bahkan beberapa kalangan menyebutkan’antitesis’ atau ‘lawan’ dari Orientalisme. Oksidentalisme penuh muatan ‘dendam sejarah’ umat Islam terhadap Barat yang telah menaklukkan mereka selama berabad-abad. Beberapa istilah yang dugunakan Hanafi jelas menunjukkan sifat permusuhannya terhadap Orientalisme. Jadi, dalam hal ini Hanafi tidak banyak berbeda dengan penulis-penulis Muslim lainnya yang mengkaji Barat dengan muatan dendam dan kemarahan terhadap Barat dan tradisinya. Hanafi tentu tidak menerima begitu saja tuduhan Oksidentalisme bersifat ideologis. Atas tuduhan itu Hanafi menjawab bahwa ia tudak melihat perbedaan pandangan yang signifikan antara dirinya dengan para pengeritiknya.
Penelitian non-Eropa menurut Hanafi bisa mempelajari kesadaran Eropa dengan baik, teliti dan objektif justru karena itu tidak memiliki keterkaitan dengannya. Di sisi lain menurut Hanafi, mungkin saja ideologi diimplementasikan dalam keinginan untuk berjuang membebaskan ego dari hegemoni peradaban the other. Keinginan bukanlah ideologi atau ilmu, melainkan suatu eksistensi yang muncul dengan sendirinya secara alami dan bebas dengan begitu ia adalah dasar bagi ilmu dan ideologi. Maka, pembahasan adalah ilmu bagi pergerakan, sedangkan ideologi teori bagi pembebasan.36
Dalam beberapa aspek Oksidentalisme mengandung utopia dan ambisi ‘berlebihan’. Oksidentalisme utopis misalnya dalam hal tujuan untuk mengikis kesadaran Barat dari kehidupan umat islam dewasa ini. Bagaimana hal itu mungkin dilakukan padahal kesadaran Barat telah menjadi bagian integral dari kesadaran kaum Muslimin? Bagaimana membedakan secara tegas nilai-nilai Islam (Timur) dengan nilai-nilai Barat karena keduanya sukar lagi dibedakan? Adakah bagian di dunia ini yang di sana tidak ada pengarauh tradisi dan peradaban Barat? Bagi pengeritik Hanafi, usahanya menembalikan kesadaran Barat ke batas-batas geografisnya samalah artinya menutup matahari dengan telapak tangan. Atas kritik itu, Hanafi menyatakan bahwa memiliki harapan untuk membebaskan diri (ego) dari pengaruh Barat bukanlah suatu kesalahan dan kerendahan. Setiap perjuangan besar menurut Hanafi yang dilakukan para Nabi, ilmuan, filosof Timur dan di Barat selalu dimulai dengan angan-angan atau utopia.37
Oksidentalisme juga merupakan lahan kajian yang bersifat sangat makro dan umum. Luas kajiannya seakan tidak mamiliki batasan, atau spesifikasi. Juga terkesan tidak memiliki fokus kajian. Karena itu terasa sulit untuk memulai dari mana kajian Oksidentalisme semestinya dilakukan. Apakah dimulai dari kajian sejarah dan filsafat Barat, ataukah penelitian-penelitian yang berorientasi empiris praktis? Bacaan kita atas pemikiran Hanafi menunjukkan tokoh ini telah memulai wacana Oksidentalisme dengan kajian sejarah dan filsafat. Tapi sejauh ini belum menukik pada kajian kasus-kasus empiris faktual. Kalaupun itu dilakukan baru sebatas kasus Mesir (negaranya sendiri). Kajian-kajian Hanafi belum menjelajah Dunia Timur atau non-Barat lainnya seperti Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh atau negara-negara koloni Barat di Amerika Latin. Dalam kaitan ini apa yang dilakukan pada ilmuan sosial positivis, Marxis dan Neo-Marxis jauh telah melampaui upaya akademis Hanafi. Samir Amin, Cardozo, Ernesto laclau dan Gunder Frank misalnya telah membedah tajam mengapa negara-negara Amerika Latin paska kolonialisme tetap terkandung pada Barat dan semakin terbelakang, berada dalam hubungan yang kurang seimbangdengan Barat sekalipun telah memasuki fase paska kolonial (post colonial). Kajian yang sama dan jauh lebih sophisticated dibanding dengan kajian Hanafi telah dilakukan oleh Hamza Alavi dengan penelitiannya mengenai negara Muslim Pakistan dan Bangladesh paska kolonial.38

III. PENUTUP
Terlepas dari kritikan yang mengatakan bahwa oksidentalisme yang nampak lebih dekat pada ‘obsesi’ dan harapan seseorang yang selama ini kecewa dan tidak puas dengan keadaan dunia yang dihadapinya. Atau dengan kata lain oksidentalisme Hassan Hanafi lebih berbau ideologi ketimbang ilmu, nampaknya ada hal yang lebih penting untuk dicatat dan direnungkan, yaitu pertanyaan-pertanyaan seperti ini: apakah mungkin membangun diskursus oksidentalisme seperti yang dicontohkan Hassan Hanafi? Bagaimana penerapan dan aplikasi selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah tes buat validitas diskursus oksidentalisme.
Persoalan lain yang penting diajukan adalah, apakah tidak terlalu dini mengajukan ide ilmu diskursif semacam itu di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami kekalahan dan stagnasi? Karena membuat satu wacana otoritatif tidak mungkin terlaksana tanpa diiringi dengan kekuasaan. Di sinilah nampaknya letak ambivalensi dalam mewujudkan ilmu semacam itu. Timur dan bangsa-bangsa non-Barat berada pada level terwacana (discoursed) bukan pencipta wacana.
Namun bagaimanapun, usaha-usaha yang dilakukan Hanafi bukannya tidak membawa manfaat sama sekali. Bacaannya atas budaya dan capaian-capaian intelektual Barat mengilhami banyak makna yang tertangkap, lebih dari sekedar promosi peradaban Barat seperti yang selama ini dilakukan. Dan inilah mungkin yang diinginkan Hanafi: pembongkaran teks, interpretasi lain dan membangun konteks baru yang lebih proporsional.
DAFTAR PUSTAKA




Abdullah, Taufik “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (eds.,), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Terj., (Jakarta: LP3ES, 1989)

al Hafidh, Madi ‘Abd, ‘Studi Kritis Terhadap Oksidentalisme’, MakalahTidak diterbitkan.

Al-Faruqi, Isma’il Raji, Tauhid Its Relevance for Thought and Life, Polygrafic Press Malaysia. 1983.

Assyaukanie, A. Luthfi, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Edisi Khusus, No. 5 & 6, Vol V, Tahun 1994.

Elias, Norbert, ‘The Civilising Process’, Vol I: The History of Manners, (New York: Panthenon Books, 1978, dan ‘The Civilising Process’, Vol II: State Formation and Civilization, Oxford Blackwell, 1978)

Hanafi, Hassan, Dialog Agama dan Revolusi, Terj., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

____________, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000).

Hitti, Philip K, History of the Arabs, (BaSingstoke and London: Macmillan Education Ltd, 1990)

http://www.fatimah.org/kisah/hasanhanafi.htm

Ian Roxborough, Teori-teori Keterbelakangan, Terj. Rochman Achwan, (Jakarta: LP3ES, 1986)

Jamilah,Maryam, Kebudayaan Barat dan Kesejahteraan Umat Manusia, terj.,( Jakarta: Integritas Press, 1985)

Musthov dalam http://jelajahpustaka.blogspot.com/2000_09_01_archive.html

Suhelmi, Ahmad, Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2001)

Syariati, Ali, Ideologi Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1984)

Tibawi, A.L., “English speaking orientalist,” dalam The Islamic Quarterly, Vol. VIII, No. 1 dan 2, January-June 1964.

Zaqzuq, Mahmud Hamdy, Orientalisme dan Latar Belakang Pemikirannya, terj. Luthfie Abdullah Ismail., (Bangil: Percetakan Persatuan Bangil, 1984)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar