PENDAHULUAN
Al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam banyak ayat, merupakan kitab suci dan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (571-634 M), yang kemudian diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya untuk menjadi pedoman dan tuntunan hidup bagi ummat manusia.
Agama Islam mengandung jalan hidup yang paling sempurna yang memuat ajaran-ajaran yang dapat menuntun manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dasar-dasar ajaran Islam dan perundang-undangannya dapat diketahui melalui al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran-ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dapat dijumpai dari sumbernya yang asli di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Apa yang dikemukakan oleh Thabathaba’i di atas relevan dengan apa yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab yang menyebutkan bahwa agama Islam mempunyai satu sendi utama yang esensial, yaitu al-Qur’an yang berfungsi memberikan petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Pernyataan-pernyataan kedua ‘ulama di atas menggambarkan bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Ia berfungsi memberikan petunjuk-petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar agar mereka dapat mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat. Dalam banyak ayat, al-Qur’an sendiri telah menggambarkan dirinya sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang lebih lurus (QS al-Isra’, 17: 9) dan sebagai pemberi penjelasan terhadap segala sesuatu (QS al-Baqarah, 2: 185 dan al-Nahl, 16: 89).
Untuk memahami petunjuk-petunjuk di dalam al-Qur’an tersebut, para ‘ulama sepanjang zaman mencoba menafsirkannya. menafsirkan al-Qur’an merupakan usaha sungguh-sungguh yang dikerahkan oleh seorang mufassir untuk memahami dan mendalami kandungan-kandungan dan berbagai aspek yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Para mufassir telah melakukan penafsiran al-Qur’an dalam beberapa macam penafsiran. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dalam bentuk al-Tafsir bi al-ma’tsur, ada yang menafsirkannya dalam bentuk al-Tafsir bi al-ra’yi, al-Tafsir bi al-lughah dan adapula yang menafsirkannya menurut faham kelompok dan aliran masing-masing.
Salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di kalangan muslimin adalah kitab tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari. Kitab tafsir ini adalah kitab yang agung nilainya dari segi bayan, balaghah dan aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur’an lainnya. Kedalaman ilmu dan kemampuan kebahasaannya mampu mengeluarkan wajah baru bagi tafsirnya sehingga bisa menyingkapkan kepada kita tentang keindahan al-Qur’an, balaghahnya yang mencengangkan dan kekuatan kemu’jizatannya belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Ini menjadikan karyanya ini sangat digandrungi.
Kitab ini benar-benar tiada duanya di bidang tafsir dan merupakan ensiklopedi bagi para ‘ulama dan pengkaji Tafsir. Para pengkritiknya pun telah mengakui keindahan dan kebaikannya, meski banyak ajaran mu’tazilah di dalamnya yang merupakan konsekuensi logis dari faham dan aliran yang dianut al-Zamakhsyari. Tulisan ini akan mencoba menelaah kitab tafsir al-Kasyaf ini sebagai karya terbesar al-Zamakhsyari. Uraian akan membahas mengenai metodologi dan corak penafsiran yang dipakai, contoh penafsiran ayat serta analisis dan berbagai komentar atau penilaian terhadap kitab tafsir ini.
MENGENAL TAFSIR AL-KASYSYAF KARYA AL-ZAMAKHSYARI
Biografi al-Zamakhsyari
Uraian mengenai kitab tafsir al-Kasyaf tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupan penyusunnya. Pengenalan mengenai identitas penyusun dengan berbagai latar belakang kehidupannya merupakan suatu hal yang penting dalam memberikan gambaran yang jelas mengenai kehidupan penyusunnya, baik kehidupan sosial maupun pengalaman hidup dan dialami penyusunnya dalam perjalanan pendidikan dan pengajaran.
Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyari. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat dalam wilayah Khuwarizm, terletak dalam wilayah Turkestan, Rusia. Al-Zamakhsyari hidup di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan.
Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga al-Zamakhsyari. Yang jelas bahwa lingkungan keluarganya adalah keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Ayahnya adalah seorang imam masjid di desa Zamakhsyar. Meskipun ayahnya tergolong orang miskin, ia adalah seorang yang alim, memiliki sifat wara’ dan zuhud. Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyari. Walaupun begitu, al-Zamakhsyari menggambarkan bahwa ibunya adalah seseorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus.
Selama hidupnya, al-Zamakhsyari hidup membujang. Banyak komentar para ilmuwan mengenai keadaannya ini. Jika dipahami dari bait syair yang diungkapkannya sendiri, kata Abd al-Majid Dayyab, pentahqiq kitab Rabi’ al-Abrar, akan ditemukan bahwa kehidupan membujangnya karena pandanganya bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah.
Pernyataan itu menurut ‘Abd al-Majid Dayyab, sesungguhnya adalah basa-basi belaka. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya, menurutnya adalah kefakirannya, ketidakstabilan hidupnya, karena keadaan materi yang dimilikinya, dan penyakit jasmani yang dimilikinya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyari. Mungkin juga penyebab lainnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan.
Sejak kecilnya, sudah tertanam dalam diri al-Zamakhsyari rasa cinta terhadap bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan. Bahkan ketika usia remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya. Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupannya. Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya.
Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Abd al-Fattah Maliksyah, yang bergelar Sulthan Jalal al-Dunya wa al-Din. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya dan ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka. Namun hal itu tidak menjadikannya puas, ia ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat ia capai di negerinya. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menggapai cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasan, di sini ia menyanjung pembesar kerajaan seperti Mujir al-Daulah Abu al-Fath Ali ibn al-Husain al-Ardistani dan Muayyid al-Malik ‘Ubaid Allah ibn Nizham al-Mulk. Karena gagal, ia menuju ke Isfahan (wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan seljuk Muhammad ibn Abu al-Fath Maliksyah (w. 511 H).
Pada suatu ketika di tahun 512 H al-Zamakhsyari menderita sakit keras yang menyebabkannya hampir melupakan segala yang ia idamkan selama ini. Ia merasakan bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirinya. Ia akhirnya menyadari dan berjanji jika sembuh dari sakitnya, tidak akan mendekati penguasa lagi. Setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di sini ia tak lagi berhubungan dengan penguasa tetapi mendatangi para ulama dan cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abu al-Khaththab ibn al-Bathi Abu Sa’ad al-Syifani, dan Syaikh al-Islam Abu Manshur al-Haritsi. Di sinipun ia mempelajari fikih dari berbagai ulama, di antaranya adalah al-Damighani dan al-Syarif ibn al-Syajari.
Al-Zamakhsyari sadar bahwa usahanya mengejar harta dan kedudukan adalah sebuah dosa, maka ia bertekad untuk memohon ampun kepada Allah. Lantas pergilah ia ke Baitullah di Mekah. Sesampainya ia di sana, ia berkenalan dengan sejumlah ulama terkenal dan menimba ilmu dari mereka. Orang pertama yang ia temui di sana sekaligus tetangganya adalah al-Amir al-Alawi Ali ibn ‘sa ibn Hamzah ibn Wahhas. Ia lalu berguru kepada ‘Abd Allah ibn Thalhah al-Yabiri (w. 518 H). ia menggunakan waktunya selama dua tahun bersama ulama itu untuk mempelajari dan memperdalam Kitab Sibawaih. Ia juga pernah mengunjungi Hamdan, suatu daerah yang terletak di Yaman, sebelah selatan Makkah al-Mukarramah.
Kerinduannya yang sangat dalam terhadap kampung halamannya menyebabkan ia meninggalkan Makkah menuju Khuwarizmi. Di sini ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anasytakin yang bergelar Khuwarizmisyah (w. 521 H). saat Khuwarizmisyah meninggal ia pun menumpang pada Atsaz, anak Khuwarizmisyah. Atas perintah Atsaz inilah, al-Zamakhsyari menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adab (Pengantar Kesusastraan).
Setelah itu, Al-Zamakhsyari untuk kedua kalinya pergi menuju Makkah. Dalam perjalanan ia sempat singgah ke Syam. Al-Zamakhsyari di Makkah selama dua tahun dan ketika itulah ia menyusun kitab tafsirnya al-Kasyaf (pembuka Tabir). Beberapa waktu kemudian al-Zamakhsyari kembali ke kampung halamannya. Dalam perjalanannya ia menyempatkan diri singgah di Baghdad pada tahun 533 H. di kota ini ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abu Manshur al-Jawaliqi.
Bacaan-bacaannya yang cukup banyak mengenai berbagai bidang ilmu dalam berbagai buku, seperti tafsir, bahasa maupun fikih menjadikannya sebagai seorang ‘alim dan diakui oleh ‘ulama yang semasa maupun setelahnya. Abu al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindi (w. 613 H), misalnya mengatakan bahwa pada zamannya al-Zamakhsyari adalah seorang non-Arab yang paling dalam penguasaannya mengenai bahasa Arab.
Kecintaan al-Zamakhsyari terhadap ilmu pengetahuan diwujudkan dalam bentuk mencari dan menuntut ilmu dari berbagai guru dan syaikh. Ia tidak hanya berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, tetapi juga menimba ilmu dengan menelaah dan membaca berbagai buku yang ditulis oleh para dari berbagai syaikh, di antaranya ialah Abu Mudhar Mahmud ibn Jarir al-dhabi al-Ashbahani (w. 507 H), Abu Bakr Abd Allah ibn Thalhah al-Yabiri al-Andalusi (w. 518 H), Abu Manshur Nashr al-Haritsi, Abu Sa’id al-Saqani, Abu al-Khaththab ibn Abu al-Bathr, Abu ‘Ali al-Hasan al-Muzhfir al-Naisaburi al-Dharir al-Lughawi (w. 473 H), Qadhi al-Qudhah Abi Abd Allah Muhammad ibn Ali al-Damighani (w. 478 H), dan al-Syarif ibn al-Syajari (w. 542 H).
Ilmu pengetahuan yang telah ditimba oleh al-Zamakhsyari dari berbagai syaikhnya dikembangkannya lagi kepada para muridnya yang banyak jumlahnya. Kadang-kadang syaikh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu menjadi murid pula baginya. Dalam keadaan seperti ini, ia saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyari dengan beberapa ulama, misalnya dengan al-Sayyid Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isa ibn Hamzah al-Hasani, salah seorang tokoh terkemuka di Makkah.
Di antara murid –muridnya yang lain ialah 1) Abu al-Mahasin ‘Abd al-Rahim ibn ‘Abd Allah al-Bazzaz di Abyurad, 2) Abu ‘Umar ‘Amir ibn al-Hasan al-Sahhar di Zamakhsyar, 3) Abu Sa’id Ahmad ibn Mahmud al-Syadzili di Samarkand, 4) Abu Thahir Saman ibn Abd al-Malik al-Faqih di Khuwarizm, 5) Muhammad ibn Abu al-Qasim yang belajar ilmu fiqh, ilmu I’rab dan mendengarkan hadis dari al-Zamakhsyari, 6) Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Harun al-Umrani al-Khuwarizmi yang pada akhirnya menjadi ulama besar dan menghasilkan karya-karya besar, seperti al-Mawadhi wa al-Buldan dalam bidang sejarah, kitab Tafsir al-Qur’an dan Kitab Isytiqaq al-Asma dalam bidang bahasa.
Ilmu pengetahuan yang telah dipelajari al-Zamakhsyari telah dikembangkan dan disebarkan kepada para murid-muridnya tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga melalui buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syariah (agama), bahasa, maupun sastra. Buku yang t elah disusunnya berjumlah lebih dari lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian. ‘Abd al-Majid Dayyab menyebutkan bahwa buku-buku yang ditulis al-Zamakhsyari sebagai berikut: 1) Asas al-Balaghah, 2) al-Asma fi al-Lughah, 3) al-Ajnas, 4) Athwaq al-Dzahab, 5) al-‘Amal fi al-Nahwi, 6) al-Anmudzaj fi al-Nahwi, 7) Ta’lim al-Mubtadi’ wa irsyad al-Muqtadi, 8) al-Jibal wa al-Amkinah wa al-Miyah, 9) Khasa’ish al-Asyarah al-Kiram al-Bararah, dan 10) al-Dur al-Muntakhab fi Kinayah wa Isti’arah wa Tasybihat al-Arab.
Dari kitab-kitab yang telah disusunnya dapat diketahui bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama yang mempunyai wawasan yang luas mengenai berbagai bidang ilmu, yang tidak hanya mengenai ilmu agama, tetapi juga mengenai ilmu bahasa. Kemampuan dan kedalaman ilmunya di bidang bahasa inilah yang membuatnya lebih terkenal di kalangan para ulama di masa-masa sesudahnya, terutama ketika ia menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa dan balaghah.
Tafsir al-Kasysyaf; Metodologi dan Corak penafsirannya.
Kitab tafsir al-Kasyaf ini, menurut sejarahnya, disusun oleh al-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Waktu dan tempat penyusunan tafsir ini diketahui melalui pengakuannya dalam muqaddimah tafsirnya. Ia menyatakan bahwa tafsirnya itu disusunnya selama tiga tahun, dan lama penyusunannya itu sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakr al-Shiddiq.
Kitab tafsir ini adalah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Walaupun dipandang sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan muktazilah, tafsir ini telah beredar luas secara umum di berbagai kalangan, termasuk dikalangan ahlussunnah wal jamaah. Kitab ini dipandang para ulama sebagai salah satu kitab muktazilah dan diakui oleh semua kalangan akan kelebihan dan keistemewaan dalam penafsirannya, karena tafsir itu telah mampu menampilkan berbagai aspek kemu’jizatan balaghiyah al-Qur’an yang terungkap melalui penafsiran dengan menggunakan ilmu bahasa dan balaghah.
Kitab tafsir ini menjadi lebih populer lagi setelah adanya usaha dari para ulama untuk melakukan tahqiq dengan tinjauan dari berbagai aspeknya yang terdapat di dalamnya. Dan hasil tahqiqnya ini disebarluaskan bersama dengan naskah tafsirnya. Di antara ulama ada yang mensyarahnya dan yang lain lagi ada yang meng-hasyiyahnya. Di samping itu ada ulama yang mengungkap pandangan-pandangan muktazilah yang terdapat dalam tafsirnya, ada yang melakukan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan di dalamnya. Ada yang menjelaskan aspek-aspek I’rabnya, dan adapula yang mengungkapkam contoh-contoh syair yang digunakan. Kehadiran kitab ini, di satu sisi mendapat pujian dari para ulama, namun di sisi lain mendapat celaan dari para ulama.
Di antara kitab-kitab yang menyoroti aspek-aspek tafsir ini ialah 1) al-Kafi al-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasyaf (Uraian lengkap tentang Takhrij hadis dalam tafsir al-Kasyaf) oleh Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), 2) al-inshaf fi Ma Tadhammanahu al-Kasyaf min al-I’tizal (menyingkap pandangan-pandangan muktazilah di dalam tafsir al-Kasyaf), oleh Imam Nashir al-Din Ahmad ibn Muhammad dan Ibn al-Munir al-Iskandari (w. 682 H), dan Syarh Syawahid al-Kasyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasyaf), oleh Muhibb al-Din Afandi.
Tafsir al-Kasyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid , disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah kitab yang disebut oleh al-Zamakhsyari sebagai Khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Dalam jilid ini pula dikemukakan penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah-surah al-Fatihah (Surah pertama), al-Baqarah, al-Nisa’, dan surah al-Maidah (Surah ke-5). Jilid kedua berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-An’am (surah ke-6) sampai dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Anbiya’ (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj (surah ke-22) sampai dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), sedangkan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf (surah ke-50) sampai dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Nas (surah ke-114).
Keempat jilid itu tidak terlalu besar dan tebal dan di dalamnya dilengkapi dengan syarah yang dilakukan oleh para komentator (muhaqqiq) terhadap penafsiran al-Zamakhsyari. Dalam kitab tafsir al-Kasyaf yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Fikr, Beirut, t.t., misalnya, ditemukan bahwa di dalamnya terdapat beberapa tambahan catatan yang disebut hasyiyah yang diberikan oleh dua ulama, yaitu hasyiyah oleh al-Sayid al-Syarif ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Sayid Zain al-Din Abu al-Hasan al-Husaini al-Jurjani dan kitab al-Inshaf fi ma Tadhammanahu al-Kasyaf min al-I’tizal yang ditulis oleh Imam Nashir al-Din Ahmad ibn Muhammad ibn al-Munir al-Iskandari al-Maliki. Di samping itu, di bagian akhir kitab tafsir itu , setelah penafsiran semua ayat yang ada, terdapat pula beberapa penjelasan tambahan yang mencakup uraian sekilas mengenai riwayat hidup al-Zamakhsyari dan syarah mengenai syair-syair yang terdapat dalam tafsir itu yang ditulis oleh Muhibb al-Din Affandi. Syair-syair yang ada itu disusun secara alfabetis mulai dari alif sampai dengan ya’.
Dari urut-urutan jilid kitab tafsirnya itu, dapat diketahui bahwa al-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat yang terdapat dalam al-Qur’an dari awal hingga akhir, dimulai dari ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini pula dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan (ayat dan surah) dalam mushaf Utsmani.
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Qur’an memang telah melakukan analisis mufradat dan lafaz al-Qur’an dari sudut pandang kebahasaan, menerangkan unsur-unsur balaghah yang terdapat di dalamnya yang didasarkan penggunaan kata itu dalam bahasa dan syair-syair arab, dan kadangkala berdasarkan hadis Nabi SAW dan bahkan disertai dengan ijtihad dan analisisnya sendiri. Uraiannya nampak sangat menitikberatkan kepada analisis kebahasaan dan balaghah. Hal itu pulalah, mungkin yang menyebabkan al-Zamakhsyari tidak memaparkan kandungan ayat yang ditafsirkannya secara umum, tidak melihat ayat dari aspek hukum, tidak menguraikan hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain maupun antara satu surah dengan surah yang lain. Walaupun al-Zamakhsyari tidak melaksanakan semua syarat-syarat yang menjadi kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi penafsirannya dengan melakukan sebagian langkah-langkah itu dapat dipandang menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat dari metode penafsiran al-Kasyaf adalah bahwa al-Zamakhsyari menggunakan metode dialog. Artinya, ketika al-Zamakhsyari hendak menjelaskan makna sebuah kata atau kalimat atau kandungan suatu ayat. Ia selalu menggunakan kata “ان قلت” yang berarti “jika engkau bertanya”. Ini selalu digunakan oleh al-Zamakhsyari ketika ia mau menjelaskan makna suatu kata atau frase dalam ayat tertentu. Ini menunjukkan bahwa ia seakan-akan berhadapan dan berdialog dengan seseorang. Kemudian ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan “قلت ” yang berarti “saya menjawab”. Munculnya model tafsir seperti itu dilatarbelakangi oleh sejarah penyusunan tafsir itu. Sebelum menyusun kitab tafsir itu, memang al-Zamakhsyari selalu diminta oleh orang untuk memberikan fatwa tentang berbagai hal, yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an, terutama aspek balaghahnya.
Tafsir al-Kasyaf merupakan salah satu tafsir yang menggunakan corak al-tafsir bi al-ra’yi. Al-Tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran yang didasarkan atas pendapat, keyakinan (paham), ijtihad, dan qiyas. Penafsiran seperti ini, menurut al-Dzahabi, didasarkan atas ijtihad yang dilakukan oleh mufassirnya, setelah mufassir yang bersangkutan menguasai berbagai ilmu bantu lainnya, seperti pengetahuan tentang bahasa arab, pengetahuan tentang kosakata Arab dan maknanya, dengan berdasar kepada syair-syair jahili, mempunyai pengetahuan tentang asbab al-nuzul, mengetahui tentang nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Pengelompokan tafsir al-Kasyaf ini sebagai tafsir dengan corak al-tafsir bi al-ra’yi pada hakikatnya didasarkan atas kenyataan bahwa untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu, tafsir ini tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, tidak didasarkan atas hadis-hadis Nabi, pendapat para sahabat dan para tabi’in. Meskipun diakui bahwa di dalamnya terdapat beberapa hadis yang dikemukakan oleh al-Zamakhsyari, tetapi hadis itu hanyalah untuk mendukung beberapa bagian dari penafsirannya. Hal yang paling pokok yang mendorong para ulama memasukkan tafsir ini dalam kelompok al-tafsir bi al-ra’yi ialah penafsirannya sangat didominasi oleh pendapat dan pandangan kelompok yang dianut oleh mufassirnya. Corak penafsiran seperti ini pada hakikatnya merupakan lawan dari bentuk penafsiran dengan corak al-tafsir bi al-ma’tsur. Di dalam tafsir al-Kasyaf memang tidak tampak adanya penafsiran suatu ayat yang didasarkan atas ayat yang lain, tidak pula ditemukan adanya hadis Nabi yang mendukung penafsirannya, kecuali di beberapa ayat saja, dan juga tidak ditemukan adanya pendapat para sahabat dan tabi’in dalam penafsirannya. Dari sinilah, maka al-Kasyaf dapat dikelompokkan sebagai tafsir dengan corak al-tafsir bi al-ra’yi.
Penyusunan kitab tafsir al-Kasyaf itu tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya. Al-Zamakhsyari merujuk kepada beberapa kitab tafsir yang disusun oleh para ulama dan mufassir sebelumnya. Penyusunan kitab tafsir al-Kasyaf berdasarkan pada kitab-kitab tafsir terkenal yang disusun oleh para mufassir generasi sebelumnya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang dijadikan referensi dalam menyusun kitab al-Kasyaf yaitu 1) tafsir yang disusun oleh Imam Mujahid (w. 104 H), tafsir yang disusun oleh ‘Amr ibn ‘Ubaid al-Mu’tazili (w. 144 H), tafsir yang disusun oleh Abu Bakr al-Asham al-Muktazili (w. 235 H), 4) tafsir Ma’ani al-Qur’an yang disusun oleh Imam al-Zujaj, 5) tafsir al-Tafsir al-Kabir yang disusun oleh al-Rammani (w. 387 H), dan beberapa kitab tafsir lainnya, seperti kitab tafsir yang disusun oleh al-‘Alawiyyin (keturunan ‘Ali) dan kitab-kitab tafsir yang disusun oleh golongan-golongan yang bertentangan dengan pandangan mu’tazilah, seperti kitab-kitab tafsir golongan Musyabbihah, Jabariah, Khawarij, dan golongan sufi.
Penyusunan kitab tafsir al-Kasyaf tidak hanya bersumber dari kitab-kitab tertentu yang disusun oleh golongan yang sesuai dengan pandangan-pandangan muktazilah, tetapi juga bersumber dari kitab-kitab tafsir yang lain yang berbeda dengan pandangan dan prinsip yang dianutnya.dari berbagai pendapat yang berbeda itu, al-Zamakhsyari telah mampu memadukan berbagai pandangan yang terdapat dalam berbagai kitab tafsir itu menjadi satu pandangan yang pada akhirnya bermuara pada pandangan yang lebih jelas mengenai pandangan muktazilah. Referensi yang banyak itu ditambah lagi dengan pengetahuan al-Zamakhsyari yang luas dan dalam serta kemampuannya dalam berbagai bidang ilmu menyebabkan kitab tafsirnya menjadi suatu kitab yang mendapat pujian dari para ulama tafsir.
Penafsiran al-Zamakhsyari terhadap ayat-ayat al-Qur’an juga didukung oleh dalil-dalil yang berasal dari hadis Rasulullah saw. Hal ini terlihat dalam beberapa uraiannya ketika ia menafsirkan ayat-ayat tertentu yang apabila dikaitkannya dengan hadis, maka ia menyatakannya dengan ungkapan yang singkat yaitu fi al-hadits (yang berarti “di dalam hadis disebutkan”). Ungkapan ini menggambarkan bahwa hadis yang digunakannya dapat mengandung hadis dari berbagai perawi, mungkin al-Bukhari, Muslim atau perawi lainnya.
Kualitas hadis yang diungkapkan al-Zamakhsyari tidak disebutkan, bahkan perawi dan sanad yang meriwayatkan hadis-hadis itu juga tidak disebutkan. Namun al-Shawi al-Juwaini menyebutkan bahwa tidak diungkapkannya secara jelas di dalam kitab tafsir al-Zamakhsyari selain dari pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Boleh jadi bahwa yang digunakan dalam al-Kasyaf itu juga adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh selain Muslim, karena al-Kasyaf sendiri menyebutkan bahwa pengarangnya juga menggunakan hadis selain riwayat Muslim.
Referensi-referensi yang digunakan oleh al-Zamakhsyari dalam menerangkan soal qiraat berdasarkan beberapa mushaf para qurra’ terkenal, di antaranya ialah 1) Mushaf ‘Abd Allah ibn Mas’ud, 2) mushaf al-Harits ibn Suwaid, 3) mushaf Ubayy, dan 4) mushaf Ahl al-Hijaz dan Syam.
Di samping merujuk kepada kitab-kitab yang telah disebutkan di atas, dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebahasaan al-Zamakhsyari merujuk kepada berbagai kitab bahasa dan nahwu, yaitu 1) Kitab sibawaih, berisi kaidah-kaidah bahasa Arab terutama nahwu, 2) Ishlah al-Manthiq oleh Ibn al-Sikkit (w. 244 H), 3) al-Kamil oleh al-Mubarrid (w. 285), 4) al-Kitab al-Mutammim fi al-Khath wa al-Hija’ oleh ‘Abd Allah al-Darastawaih (w. 347 H), 5) Kitab al-Hujjah oleh Abu ‘Ali al-Farisi ( w. 377 H), 6) Kitab al-Jabaliyat oleh Abu ‘Ali al-Farisi, 7) Kitab al-Tamam oleh Ibn Jinni (w. 392 H), 8) Kitab al-Muhtasib oleh Ibn Jinni, dan 9) al-Tibyan oleh Abu al-Fath al-Hamadani.
Syair-syair Arab yang terdapat dalam tafsir al-Kasyaf merupakan salah satu unsur penopang yang digunakan oleh al-Zamakhsyari untuk mendukung analisisnya dari aspek kebahasaan dan penggunaan kata-kata tersebut oleh orang-orang pada masa sebelum dan semasa turunnya al-Qur’an. Syair-syair yang ditampilkannya dinukilkannya dari berbagai rujukan yang berkaitan dengan sastra. Di antara buku-buku yang menjadi rujukannya adalah 1) Kitab al-Hayawan oleh al-Jahizh, 2) Kitab al-Hamasah oleh Abu Tamam, 3) Kitab Istagfir wa Istagfiri oleh Abu ‘Ala al-Ma’arri, dan 4) dari beberapa kitab yang ditulis oleh al-Zamakhsyari sendiri, seperti kitab Nawabigh al-Kalim, Syafi al-‘Ayyi min Kalam al-Syafi’i, dan al-Nasha’ih al-Shighar.
Contoh Penafsiran dan Analisis
Salah satu kelebihan tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari terletak pada argumentasinya yang kuat yang dibangun lewat fungsionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan seperti halnya ilmu bayan sebagai alat untuk mendukung pendapat dan pandangan golongan yang dianutnya, muktazilah.
Golongan muktazilah mempunyai lima prinsip dasar yang terkenal dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah, yaitu lima ajaran dasar yang menjadi pegangan mereka. Seorang yang mengaku muktazili, menurut al-Khayyat yang dikutip Harun Nasution, harus mengakui dan berpegang kepada kelima ajaran dasar itu. Orang yang hanya menerima sebagiannya saja, tidak dapat dianggap sebagai orang muktazilah. Al-Ushul al-Khamsah itu diberi urutan menurut urgensi kedudukan tiap dasar. Urutan kelima ajaran dasar itu ialah 1) al-tauhid, 2) al-‘Adl, 3) al-wa’id wa al wa’id, 4) al-manzilah baina al-manzilatain, dan 5) al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar.
Sebagai penganut muktazilah, al-Zamakhsyari tentunya menganut kelima ajaran dasar muktazilah itu. Ajaran-ajaran dasar yang dianutnya selalu menjadi pegangan dan pedoman yang mewarnai hasil pemikirannya. Sebagai mufassir, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, penafsirannya itu harus disesuaikan dengan ajaran dasar yang lima yang dianutnya. Jika, di dalam ayat terdapat ungkapan yang kelihatannya bertentangan dengan ajaran dasar yang dianutnya, maka jalan yang harus ditenpuhnya ialah menafsirkan ayat-ayat itu dengan menggunakan kaidah bayan agar penafsirannya tidak bertentangan dengan dasar yang lima itu. Argumentasi-argumentasi yang berdasarkan kaidah-kaidah bayan digunakannya untuk mendukung dan menyesuaikan penafsirannya dengan ajaran-ajaran dasar muktazilah. Ketika itulah al-bayan berfungsi argumentatif.
Fungsi argumentatif kebahasaan ini digunakan oleh al-Zamakhsyari ketika menemukan adanya pernyataan ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan telah melakukan hal-hal yang tidak baik bagi manusia. Al-Zamakhsyari menggunakan kaidah-kaidah al-Bayan sebagai alat untuk memalingkan pengertian yang negatif itu kepada hal-hal yang bersifat positif bagi manusia. Sebab dalam pandangan muktazilah, Tuhan harus berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak baik bagi manusia. Dalam istilah mereka disebut al-shalah wa al-ashlah.
Di dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menerangkan perbuatan baik Tuhan terhadap manusia, di samping adanya pernyataan tentang adanya perbuatan-perbuatan Tuhan yang mengandung pengertian negatif. Ketika menemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan perbuatan baik Tuhan, al-Zamakhsyari tidak akan menerangkannya secara panjang dengan menggunakan argumen-argumen kebahasaan, karena apa yang dinyatakan oleh ayat-ayat itu sejalan dengan prinsip yang dianut oleh golongan muktazilah. Akan tetapi, apabila menemukan ayat-ayat yang mengandung pengertian perbuatan negatif Tuhan terhadap manusia, maka dalam keadaan ini al-Zamakhsyari akan menafsirkan pengertian ayat-ayat itu dengan menggunakan argumen-argumen kebahasaan ilmu al-Bayan, sehingga pengertian ayat tidak mengarah kepada pengertian negatif. Atau dengan perkataan lain, ayat-ayat yang dipandang mengandung pengertian bahwa Tuhan berbuat tidak baik terhadap manusia akan diarahkan pengertiannya oleh al-Zamakhsyari dengan menggunakan kaidah ilmu al-bayan, sehingga prinsip al-shalah wa al-ashlah yang dianutnya tidak bertentangan dengan kandungan ayat.
Untuk membuktikan bahwa fungsi argumentatif itu digunakan oleh al-Zamakhsyari, dapat dilihat di dalam contoh berikut dalam Surah al-Baqarah ayat 7
ختم الله على قلوبلهم و على سمعهم وعلى ابصارهم غشاوة ولهم عذاب عظيم (البقرة: ۷)
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”
Dalam terjemahan ini terdapat dua catatan pinggir yang diberikan, yaitu 1) yang berkaitan dengan ungkapan “mengunci-mati hati dan pendengaran mereka” dan 2) yang berkaitan dengan kata “dan penglihatan mereka ditutup”. Di sisi dijelaskan bahwa yang dimaksud kalimat pertama adalah bahwa orang itu tidak dapat menerima petunjuk dan segala macam nasehat pun tidak akan berbekas padanya. Sedangkan kalimat kedua menunjukkan bahwa mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.
Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang menggambarkan keadaan orang-orang kafir yang enggan menerima petunjuk Allah yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa orang-orang kafir itu tetap saja tidak mau beriman walaupun Rasulullah saw tetap memberikan berita yang menakutkan (al-indzar) terhadap mereka. Keengganan mereka terhadap kebenaran itulah yang digambarkan oleh Allah dalam ayat 6 al-Baqarah ini, seakan-akan hati, pendengaran, dan penglihatan mereka dikunci dan ditutup mati.
Yang menjadi inti persoalan dalam ayat di atas ialah kata khatama yang secara harfiyah mengandung pengertian “mengunci mati, menyegel dan menutup” dan kata ghisyawah yang juga berarti “ditutup”, dan “diselubungi”. Jika dikaitkan kepada pelakunya, maka kedua kata itu disandarkan kepada Allah swt.
Jika pengertian di atas yang digunakan untuk menafsirkan kedua ungkapan dalam ayat tersebut, maka kita akan sampai kepada suatu pengertian bahwa Allah telah berbuat yang tidak baik terhadap sebagian manusia dengan mengunci mati hati mereka dan menutup penglihatan mereka. Kalau pengertian ini digunakan, maka dapat dipahami bahwa Allah telah berbuat yang tidak baik bagi manusia, padahal dalam ajaran muktazilah Allah wajib berbuat baik dan bahkan yang terbaik bagi manusia.
Untuk menghindari adanya penafsiran seperti tersebut di atas, maka al-Zamakhsyari menggunakan kaidah-kaidah ilmu al-bayan sebagai alat untuk menafsirkan ayat di atas, sehingga prinsip al-shalah wa al-ashlah yang dianutnya tidak bertentangan dengan zhahir ayat. Al-Zamakhsyari kelihatannya tidak mau menafsirkan ayat itu sesuai dengan pengertian lahiriah seperti diungkapkan di atas. Tetapi harus ditafsirkan dengan makna yang tersirat dibalik yang lahiriah. Sebab, Tuhan dalam pandangan muktazilah tidak mungkin mengunci mati hati manusia dan menutup pendengaran mereka, karena perbuatan itu dipandang perbuatan yang tidak baik. Untuk memalingkan pengertian negatif itu, ia berusaha menafsirkan ayat itu dengan memfungsikan ilmu al-bayan. Penafsirannya terhadap ayat di atas dapat dilhat sebagai berikut.
Al-Zamakhsyari memulai uraiannya dengan menjelaskan pertama-tama pengertian kata khatama dan ghisyawah. Kata khatama, menurutnya, sepadan dengan kata katama (al-khatmu=al-katmu). Sedangkan kata ghisyawah sepadan dengan pengertian githa. Dari pengertian kata itu, al-Zamakhsyari dengan menggunakan model dialogis ia lalu berkata, jika ada orang yang bertanya:” apa yang dimaksud dengan khatm al-qulub wa al-asma’ (mengunci mata hati dan pendengaran) dan apa pula yang dimaksud dengan taghsyiyah al-abshar (menutup pandangan) dalam ayat di atas”. Jawaban yang diberikannya ialah bahwa tidak ada penguncimatian hati dan pendengaran dan tidak ada pula penutupan penglihatan yang dilakukan oleh Tuhan secara hakiki. Ungkapan dalam ayat itu sesungguhnya dibuat secara majazi yang menurutnya dilihat dari kaca mata ilmu al-balaghah, mengandung dua kemungkinan yaitu 1) bisa dalam bentuk isti’arah dan 2) bisa dalam bentuk tamsil. Dikatakan dalam bentuk isti’arah, karena sesungguhnya hati, pendengaran, dan penglihatan merekalah yang tertutup. Hati mereka tertutup karena kebenaran yang datang dari Tuhan itu tidak akan dapat menembus dan tidak akan sampai ke dalam hati nurani mereka. Keadaan demikian dipahami dari segi keengganan mereka untuk menerima kebenaran dan kesombongan mereka untuk meyakininya. Pendengaran mereka tertutup oleh karena apa yang telah didengarnya tidak pernah tinggal di dalam hati mereka bahkan dikeluarkannya kembali. Pendengaran mereka tidak mau mendenarkan kebenaran itu, yang dalam keadaan demikianlah maka seakan-akan pendengaran mereka terkunci mati. Penglihatan mereka dikatakan tertutup karena tidak tampak bagi mereka ayat-ayat (tanda-tanda) yang dapat menunjukkan kebesaran Allah dan bukti-bukti kekuasaan-Nya. Tidak seperti yang tampak pada penglihatan orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dan yang memperhatikan kebenaran ayat-ayat Allah. Hal ini terjadi seakan-akan ada penutup yang menutup penglihatan mereka sehingga mereka tidak sanggup melihatnya.
Ungkapan di dalam ayat itu disebutkan dalam bentuk tamsil, karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun dari petunjuk yang diberikan kepada mereka, dan mereka menggantikannya dengan sesuatu yang lain yang dapat diibaratkan sebagai penutup (hijab) yang dapat mengunci mati dan menutup sehingga kebenaran yang datang dari Tuhan tidak dapat mereka terima. Dan karena itu mereka tidak mengambil manfaat dari kebenaran itu.
Tampak dalam ayat ini bahwa kata kerja khatama disandarkan kepada Allah swt jika ada yang bertanya, kata al-Zamakhsyari, mengapa kata itu disandarkan kepada Allah swt? Padahal penyandaran ini akan membawa kepada pengertian bahwa Allahlah yang telah memalingkan mereka untuk menerima dan sampai kepada kebenaran? Jika demikian halnya, maka ini berarti bahwa Allah berbuat tidak baik pada hamba-Nya, padahal Allah tidak mungkin berbuat demikian. Dan bagaimana dengan pernyataan Allah sendiri dalam beberapa ayat yang menyatakan antara lain…”Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-Ku”, “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri…”, dan… Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji…”
Jawaban yang diberikan oleh al-Zamakhsyari ialah bahwa penyandaran hal itu kepada Allah merupaka kinayah terhadap sikap mereka yang sangat berlebihan dalam menentang petunjuk Allah, yang tertancap di dalam hati, pendengaran, dan penglihatan mereka, yang dalam pandangan al-Zamakhsyari, semuanya adalah makhluk Allah swt yang datang daripada-Nya. Penyandaran ini dimaksudkan untuk menyebutkan sesuatu yang lazim, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah yang malzum, dan itulah yang menjadi maksud utama dalam ungkapan ayat di atas. Untuk memperjelas pengertian ungkapan di atas, al-Zamakhsyari memberikan contoh dalam ungkapan yang lain, seperti: فلان مجبول على كذا ومفطور عليه (Si Anu diciptakan dengan watak demikian dan diberi fitrah seperti itu). Yang dimaksud dengan ungkapan di atas, kata al-Zamakhsyari adalah untuk menunjukkan bahwa seseorang sangat kuat memiliki sifat yang demikian.
Pernyataan dalam ayat itu menunjukkan bahwa keadaan hati orang-orang kafir yang tidak mau menerima kebenaran itu diumpamakan (ditamsilkan) dengan keadaan hati yang ditutup mati oleh Allah swt, seperti hati hewan-hewan yang tidak menyadari dan merasakan sesuatupun dan tidak memahaminya. Allah, menurut al-Zamakhsyari, tidak mungkin menutup hati mereka untuk menerima kebenaran dan Allah terlepas dari hal yang demikian. Karena itulah, maka penyandaran perbuatan khatam pada diri Allah itu boleh dilakukan dengan menggunakan isti’arah terhadap selain Allah. Dengan jalan demikian, maka perbuatan menutup hati (al-khatm) itu disandarkan kepada nama Allah dengan menggunakan cara majaz. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang melakukan hal demikian bukanlah Allah, tetapi selain Allah. Ketika mensyarah penafsiran al-Zamakhsyari di atas, al-Husaini al-Jurjani mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-khatm dalam ayat di atas adalah secara isti’ari atau tamsili dan penyandaran perbuatan kepada Allah itu adalah majazi dengan cara menyandarkan perbuatan Allah kepada penyebab lain yang disandarkan kepadanya. Yang mengunci mati hati mereka, pada hakikatnya, adalah setan atau orang kafir itu sendiri. Allah hanya memberi kemampuan dan kemungkinan kepada mereka untuk melakukannya. Ungkapan di atas menurut al-Husaini al-Jurjani, sama artinya dengan ungkapan yang berbunyi :”pemerintah membangun kota”. Yang membangun kota dalam kalimat tersebut , bukanlah pemerintah, tetapi pihak lain, seperti pemborong dan buruhnya, yang secara hakiki melakukannya, sedangkan pemerintah memberi kemungkinan kepada mereka untuk melakukan hal demikian. Demikian penyandaran kata khatam kepada Allah dalam ayat di atas.
Untuk mendukung penafsirannya itu, al-Zamakhsyari mengemukakan beberapa argumen lain yang menyatakan bahwa suatu fi’l kadang-kadang memiliki beberapa kesamaan bentuk dengan kata yang lain, seperti ism fa’il, ism maf’ul, mashdar, ism zaman, dan ism makan. Sebagai contoh adanya kesamaan antar fa’il dengan fi’lnyaialah kalimat: يضاهي الرجل الاسد (orang itu sama dengan singa). Kesamaan yang dimiliki keduanya adalah keberanian, dan untuk menunjukkan orang itu berani maka dipinjamlah kata asad yang menunjuk kepada keberaniannya.
Pemalingan pengertian kata khatam yang disandarkan kepada Allah itu oleh al-Zamakhsyari dimaksudkan untuk menghindarkan adanya pengertian bahwa Allah telah melakukan hal-hal yang tidak baik dan merugikan bagi hamba-hamba-Nya, sementara Allah seharusnya melakukan hal-hal yang baik bagi mereka. Pengertian khatam ini harus disandarkan kepada yang lain yang secara langsung melakukan hal demikian, sedangkan Allah hanya berperan sebagai pihak yang memberikan kemungkinan kepada pihak lain untuk melakukan hal demikian. Dari pernyataan al-Zamakhsyari dapat dikatakan bahwa Allah merupakan pelaku tidak langsung dalam melakukan perbuatan khatam itu, sedangkan pelaku yang langsung adalah setan atau orang kafir itu sendiri.
Dari contoh penafsiran oleh al-Zamakhsyari di atas, tampak jelas penerapan analisis kebahasaan dalam penafsirannya. Analisisnya ini mampu menghadirkan argumentasi yang rasional yang mendukung pandangan golongan muktazilah yang dianutnya. Aplikasi kaidah atau teori al-bayan tampaknya tidak sekedar digunakan untuk menerangkan maksud-maksud maksud-maksud yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an, tetapi lebih dari itu digunakan untuk memberi legitimasi dan justifikasi agar pandangan-pandangan muktazilah yang dianutnya tidak bertentangan dengan teks ayat. Dengan begitu ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan dengan prinsip muktazilah harus diarahkan pengertiannya sehingga menjadi sesuai.
PENUTUP
Secara umum para ulama menilai positif dan memuji akan kehebatan tafsir al-Kasyaf, jika dilihat aspek kebahasaan yang ditampilkan oleh mufassirnya. Dari segi ini para ulama sepakat menilai bahwa al-Kasyaf adalah satu kitab tafsir yang memiliki keunggulan tersendiri di bidang kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek balaghah dan analisisnya tentang kemu’jizatan al-Qur’an. Uraiannya yang sangat dalam dan luas mengenai aspek kebahasaan ini telah mengantar al-Zamakhsyari ke puncak kemasyhuran dan kehebatan. Akan tetapi jika dilihat, terutama yang menyangkut sebagian dari substansi penafsirannya yang menonjolkan prinsip-prinsip muktazilah, para ulama menilainya negatif. Dari aspek-aspek ini pula yang membawa para ulama untuk memberi penilaian bahwa tafsir al-Kasyaf adalah tafsir bi al-rayi al-madzmum dan dinilai sebagai tafsir yang menyimpang dari maksud-maksud kandungan al-Qur’an.
BIBLIOGRAFI
Abidu, Yunus Hasan, Dirasat Wa Mabahits Fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirun, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode para Mufassir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Al-‘Akk, Khalid ‘Abd al-Rahman, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduh, (Damsyiq: Dar al-Nafa’is, t.t)
Al-Anbari, ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Ubaid Allah ibn Abi Sa’id ibn, Nuzhah al-Alba’ fi Thabaqat al-Udaba’, (Kairo: t.p., 1293 H).
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), cet. Ke-2, jilid 1.
Al-Juwaini, al-Shawi, Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur’an al-Karim wa Bayan I’jazih, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.).
Al-Shabuni, Muhammad Ali, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, (Makkah al-Mukarramah: t.p., 1980), cet. Ke-2.
Al-Suyuthi, ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr, Thabaqat al-Mufassirin, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1396).
Al-Suyuthi, Baghiyah al-Wu’ah, (t.t., Mathba’ah al-Sa’adah, 1326 H), cet. 2, jilid 2.
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fi wujuh al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), cet. Ke-1, Jilid I.
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988).
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid 1.
Al-Zuhaili, Muhammad, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah Ta’rifuha, Tarikhuha, A’immatuha, ‘Ulama’uha, Mashadiruha, Kutubuha, (TK: Dar al-Ma’arif, tt)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Ibn Hallikan, Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman, (Beirut: Dar Shadir, t.t), jilid 2.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, t.t)
Raya, Ahmad Thib, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an, Upaya menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan kebahasaan, (Jakarta: Fikra Publishing, 2006), cet. 1,
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-2
Thabathaba’i, Muhammad Husain, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-4.
Yaqut, Mu’jam al-Udaba’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), cet. Ke-1, Juz 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar