PENDAHULUAN
Al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam banyak ayat, merupakan kitab suci dan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (571-634 M), yang kemudian diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya untuk menjadi pedoman dan tuntunan hidup bagi ummat manusia. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan sendi utama yang paling esensial dalam agama Islam yang berfungsi memberikan petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Karenanya setiap muslim wajib mempelajari dan memahami al-Qur’an. Abbas Mahmud al’Aqqad menulis: “Kita berkewajiban memahami al-Qur’an di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw”.
Untuk memahami al-Qur’an tentu bukan hal yang mudah. J.J.G. Jansen dalam The interpretation of Koran in Modern Egypt menyatakan bahwa al-Qur’an adalah buku yang sulit dipahami bahasanya. Pasalnya al-Qur’an kerapkali menggunakan kata-kata asing atau kata-kata lama dengan pengertian yang sama sekali baru, misalnya istilah taqwa dan qisth. Kata pertama adalah istilah lama dengan pengertian baru, sedangkan yang kedua adalah kata asing yang memiliki makna sentral dalam al-Qur’an. Karena itu bagi Jansen, al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan penuh kesulitan, sekalipun oleh kelompok yang dituju ayat tertentu. Para sahabat pun menjumpai banyak kesulitan memahami beberapa bagian al-Qur’an, karena itulah timbul upaya penafsiran.
Dalam pada itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan fundamental corpus (anggitan-rujukan pertama dalam Islam) yang bermodel theocentric dan bersifat antropocentric, al-Qur’an pada akhirnya jatuh menjadi kitab yang ambigu dan berkarakter ambivalensi (mendua). Artinya bahwa al-Qur’an bila dipandang oleh setiap orang dengan masing-masing tingkat kecerdasannya, akan menghasilkan corak kepahaman yang beragam. Termasuk apabila menggunakan cara pandang dan metodologi yang sama. Dalam kaitan ini, Abdullah Darraz (salah seorang pakar tafsir) menyatakan bahwa:
“ Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi bila anda membacanya sekali lagi, anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya. Sampai-sampai anda akan dapat menemukan kata-kata atau kalimat yang punya arti mungkin benar. Ayat dan kalimat al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil , bila anda mempersilahkan orang lain melihatnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat dan anda pahami”.
Dengan demikian al-Qur’an adalah corpus kontekstual (anggitan “ilmiah”) yang dapat dipahami, dipelajari dan dibahasakan dalam konteksnya serta dapat (diupayakan) diproyeksikan kepada situasi manapun dan dalam fenomena-fenomena sosial seperti apapun. Dengan bahasa lain al-Qur’an merupakan kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin
Kenyataan bahwa al-Qur’an yang melampaui ruang dan waktu tentunya memunculkan persoalan sendiri dalam memahaminya mengingat al-Qur’an menggunakan bahasa Arab yang terbatasi oleh lokalitas sosiokulturalnya. Di sisi lain, al-Qur’an diturunkan memiliki uslub-uslub bahasa yang tinggi dan hanya dapat dipahami melalui kaidah-kaidah ilmu balaghah. Pemahaman dan penguasaan kaidah-kaidah ini, di samping penguasaan terhadap ilmu-ilmu lain yang diperlukan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, akan memudahkan bagi mufassir untuk memahami maksud-maksud yang terkandung dalam uslub-uslub dan ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu penguasaan terhadap bahasa Arab menjadi prasyarat bagi mufassir. Dengan demikian memahami al-Qur’an berarti memahami bahasa arab dengan kekhasannya sendiri.
Berangkat dari hal-hal di atas, maka makalah ini akan mencoba membahas tentang bagaimana memahami bahasa al-Qur’an; Refleksi atas persoalan linguistik. Pembahasan akan dibatasi pada bahasa al-Qur’an sebagai bahasa agama serta kekhasan bahasa al-Qur’an dan hubungannya dengan pemahaman al-Qur’an itu sendiri.
BAHASA AL-QUR’AN SEBAGAI BAHASA AGAMA
Pemahaman terhadap al-Qur'an yang diyakini sebagai kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat mengingat gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural dan terungkap melalui tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-pesan al-Qur'an yang tidak mengenal batas akhir.
Dalam proses pemahaman terdapat tiga faktor yang tidak bisa dipisahkan, yaitu:
§ dunia pengarang
§ dunia teks
§ dunia pembaca
Selain ketiga faktor ini keberadaan konteks juga tidak bisa diabaikan dalam memahami peristiwa pewahyuan. Sebab ayat-ayat al-Qur'an tidak akan dapat dimengerti secara utuh (holistik) kecuali dengan memperhatikan realitas yang melatarbelakanginya. Indikasi ini dapat dilihat dengan munculnya konsep asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh yang menjadi tema tersendiri dalam studi ulumul Qur'an. Oleh sebab itu, memahami sejarah teks al-Qur'an menjadi penting, meskipun jarak antara pengarang teks (Tuhan) dan manusia sebagai pembaca demikian jauh agar makna dan pesan moral tersebut bisa direfleksikan seiring dengan kemaslahatan.
Perbincangan masalah sejarah teks sebenarnya merupakan persoalan klasik yang pernah muncul dalam sejarah peradaban Islam, yaitu antara pemikir Asy'ariyah dengan Mu'tazilah. Historitas teks seperti yang dipahami Nasr Hamid dengan meminjam paradigma Ferdinand de Saussure, yakni konsep kalam ia bedakan dengan konsep lughat. Lughat yang dimaksud setara dengan apa yang diistilahkan Saussure dengan langue (bukan parole), yaitu bahasa pada wilayah realitas historis yang dalam hal ini merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu.
Berdasarkan kerangka ini maka dalam kajian teks-teks al-Qur'an terdapat perbedaan yang tegas antara konsep kalam (yang a-historis) dengan lughat (yang historis). Historisitas teks tidak hanya meliputi ruang dan waktu, melainkan sekaligus ia adalah sebuah teks yang berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks itu sendiri.
Jadi, teks-teks agama (lughat) tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber teks sama sekali tidak mengesampingkan hakikat keberadaannya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi kebahasaanya. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis. Teks tidak berada di luar kategori bahasa sehingga tidak memiliki kaitan apapun dengan manusia. Jika berinteraksi dengan teks agama ini bertolak dari keberadaannya sebagai linguistik, maka ini tidak berarti mengabaikan watak tekstualitasnya yang spesifik. Sebab karakter tekstualitas al-Qur'an didasarkan pada realitas-realitas kemanusiaan yang provan, yang bersifat sosiologis, kultural, dan kebahasaan. Keberadaan firman Tuhan yang kudus baru menjadi perhatian hanya pada momen di mana "kalam tersebut diposisikan secara manusiawi", yaitu ketika Muhammad mengujarkannya dalam bahasa Arab.
Dengan mengikuti kerangka berpikir Saussure di mana bahasa dianggap sebagai proses langue, maka tanda-tanda bahasa merupakan fakta sosial. Karena tanda-tanda bahasa mengacu pada konsep dan gambaran mental yang berdiam dalam masyarakat. Artinya, bahwa bahasa barada dalam inti kebudayaan. Dari pengertian ini para semiot mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan ekspresi dari berbagai sistem tanda yang pusatnya adalah tanda bahasa. Sehingga keberadaan bahasa dan lingkungan kulturalnya menjadi rujukan untuk menemukan maknanya. Berangkat dari logika ini, al-Qur'an yang menjadi kitab suci juga dapat dipahami dan dikonstruk melalui perkembangan studi budaya, khususnya bidang kajian semiotika.
Istilah bahasa agama tidak saja menimbulkan polemik di kalangan ahli linguistik, tetapi juga menjadi perdebatan di kalangan teolog dan filsuf. Karena itu, untuk memperoleh pengertian yang jelas terlebih dahulu kita harus memahami istilah dari dua kata tersebut, yaitu bahasa dan agama sekalipun sangat sulit dicarikan definisinya yang bisa diterima oleh berbagai pihak. Bahasa bukan hanya sekedar ucapan, tetapi di dalamnya terkandung perasaan, emosi, tata pikir bahkan juga muatan adat istiadat.
Sementara konsep agama biasanya selalu diasosiasikan dengan konsep Tuhan. Persoalan makna agama akan berkembang menjadi lebih rumit lagi kalau diungkapkan dalam bahasa Inggris, yaitu religion. Dalam kata religion tercakup di dalamnya semua sistem nilai yang dijadikan pegangan atau pandangan hidup oleh suatu kelompok masyarakat. Sabagaimana bahasa selalu hadir dan menyertai di mana pun kita berada dan beraktivitas, maka agama akan pula menafasi setiap tindakan manusia, meskipun konsep agama dan intensitas keberagamaan seseorang akan berbeda-beda. Karena itu, dalam tradisi filsafat dan antropologi tidak semua yang dianggap dan dikategorikan ke dalam agama mesti memiliki kitab suci dan rasul seperti halnya dalam kelompok agama Nabi Ibrahim.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut pengertian bahasa agama, kiranya perlu diketahui dua macam pendekatan dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan sebagaimana yang dijelaskan Komaruddin Hidayat.
Pertama, theo-oriented, menurut teori ini yang disebut dengan bahasa agama adalah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci. Menurut teori ini istilah Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci.
Kedua, antropo-oriented, yang dimaksud dengan bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Menurut pengertian yang kedua bahasa agama merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.
Masing-masing teori di atas masih terdapat celah atau batasan yang kurang jelas. Teori yang pertama misalnya, pada akhirnya akan juga mengarah pada wacana keagamaan sehingga mencakup pengertian yang kedua, karena semua kitab suci pada urutannya akan melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sedangkan pada teori yang kedua ada kemungkinan untuk melepaskan kitab suci, bahkan mengarah pada narasi filsafat dan ilmiah. Karena itu, kiranya perlu membuat karakterisasi tentang bahasa agama itu sendiri.
Pertama, obyek bahasa agama adalah metafisis, berpusat pada Tuhan dan kehidupan baru di balik kematian dunia. Kedua, sebagai implikasi dari yang pertama, format dan materi pokok narasi keagamaan adalah kitab suci. Dan ketiga, bahasa agama mencakup ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu. Bahasa metafisik ialah bahasa ataupun ungkapan serta pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisikal, terutama tentang Tuhan. Karena berbagai pernyataan tentang Tuhan tidak bisa diverifikasi atau difalsivikasi secara obyektif dan empiris, maka dalam memahami kitab suci seseorang cenderung menggunakan standar ganda. Yaitu, seseorang berpikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan namun diarahkan untuk suatu obyek yang diimani yang berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan ungkapan lain, dia berpikir dalam kerangka iman dan dia beriman sambil mencoba mencari dukungan dari pikirannya.
Bahasa agama memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Hal ini karena sifat hakikat al-Qur'an itu sendiri, yaitu sebagai sarana komunikasi antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Sedangkan bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia satu dengan yang lainnya. Atomisme logis mengatakan bahwa hakikat bahasa adalah melukiskan dunia sehingga struktur logis bahasa sepadan dengan struktur logis dunia. Oleh karena itu, bahasa harus memenuhi syarat-syarat logis. Sementara itu, positivisme logis lebih jauh mengatakan bahwa makna bahasa harus dapat diverifikasi secara empiris dan logis. Bahasa agama (al-Qur'an) bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu sehingga keberadaan bahasa agama mengacu pada:
1. Dunia, yang meliputi dua hal. Pertama, dunia human, yang meliputi dunia kemanusiaan. Kedua, dunia infra human, yang berkaitan dengan dunia binatang, tumbuhan, dan dunia fisik lainnya dengan segala hukum serta sifat masing-masing.
2. Aspek metafisik, yaitu suatu hakikat makna di balik hal-hal yang bersifat fisik. Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indera manusia, sehingga hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dihayati.
3. Adikodrati, yaitu suatu wilayah di balik dunia manusia yang hanya diinformasikan oleh Tuhan melalui wahyu, misalnya tentang surga, neraka, ruh, hari kiamat, dan sebagainya.
4. Ilahiyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat Allah, bahwa Allah itu memiliki al-Asma' al-Husna, seperti al-Aziz, al-Hakim, al-Alim, dan lain sebagainya.
5. Mengatasi dimensi ruang dan waktu, hal ini dijelaskan dalam al-Qur'an sendiri. Misalnya yang berkaitan dengan sejarah para Nabi dan Rasul-Nya, dan yang berkaitan dengan dimensi ruang misalnya, dunia jin, alam kubur, alam ruh, dan sebagainya.
Mengingat hakikat bahasa agama yang mengacu pada dimensi tersebut di atas, maka untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an tidak mungkin hanya berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik semata. Sebab itu dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya dengan dimensi Ilahiyah, dimensi metafisik, dimensi ruh, dan dimensi adikodrati, maka sangat realistis bilamana dikembangkan bahasa metafor dan analogi (majaz-tasybih). Karena bahasa metafor dan analogi dapat memberikan jembatan rasio manusia yang serba terbatas dengan dimensi Ilahiyah, metafisik, adikodrati yang serba tidak terbatas, bahkan juga mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan tentang hakikat bahasa bahwa bahasa sebagai simbol pasti memiliki suatu acuan. Karena itu, tidak mengherankan apabila di dalam bahasa agama banyak ditemukan ungkapan-ungkapan simbolik-metaforik, atau yang populer di kalangan pemikir muslim disebut majaz meskipun keberadaannya cukup berpotensial bagi munculnya spekulasi dan relativisme pemahaman. Dan lebih dari itu, bahasa metaforis juga diyakini memiliki kekuatan yang bisa membangkitkan imajinasi kreatif untuk membuka wilayah pemahaman baru yang batas akhirnya belum diketahui.
Mengutip Komaruddin, proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga subyek yang terlibat, yaitu: pengarang, teks, dan pembaca yang masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga jika memahami yang satu tanpa mempertimbangkan yang lain pemahaman kita atas teks menjadi miskin. Tiga subyek ini yang kemudian dikenal dalam dunia hermeneutika dengan "unsur triadik" (the author, text, the readers). Karena itu, pemahaman dan penafsiran terhadap semua teks, termasuk teks-teks al-Qur'an harus melibatkan ketiga unsur di atas. Selain itu, analisis konteks juga sangat berperan dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab ayat-ayat al-Qur'an tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan. Seseorang tidak mungkin mengerti dan dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an secara utuh apabila ia mengambil teks semata, dan melupakan realitas yang melatarbelakanginya. Mengutip Mustansyir, Wittgenstein menegaskan, arti suatu kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan arti suatu kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa kita bisa terjebak ke dalam kekaburan makna bahasa manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata dengan memisahkannya dari situasi yang melingkupinya.
Pola pemahaman yang hanya menekankan aspek transendental semata akan melahirkan pemahaman yang bersifat satu arah, yakni antara pengarang (Tuhan) dan teks (al-Qur'an). Sedangkan sisi pembaca teks yang mewakili unsur kesejarahan al-Qur'an menjadi hilang. Al-Qur'an dalam hal ini, lebih dipandang sebagai teks ketuhanan (nash ilahi) ketimbang teks kemanusiaan (nash basyari). Pada hal al-Qur'an diturunkan Allah melalui Jibril adalah untuk kepentingan kemaslahatan manusia. Indikasi ini dapat dilihat dengan merujuk kepada konsep asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh dalam studi al-Qur'an. Betapapun teks al-Qur'an itu suci (wahyu) sesungguhnya ia merupakan teks bahasa yang bersifat manusiawi, karena teks yang suci itu telah menyejarah dan terwadah dalam bahasa lokal, yaitu bahasa Arab yang itu pun terumuskan dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
Nasr Hamid mengatakan, berkaitan dengan wacana yang berkembang dalam tradisi hermeneutika, bahwa makna teks itu selalu berubah-rubah maka kita dapat mencermati konsep makna yang dapat dikembangkan. Dalam kajian terhadap teks keagamaan makna dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makna yang khusus (tarikhi) dan makna yang umun (daim mustamirr). Makna khusus merupakan sisi semantik yang secara langsung mengacu pada realitas kultural-historis untuk memproduksi teks, sementara makna umum merupakan sisi dinamis, dapat berubah seiring dengan setiap pembacaan.
Ungkap Nasr selanjutnya, dalam teks-teks agama terdapat tiga level makna. Pertama, level makna yang hanya merupakan bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis. Kedua, level makna yang dapat diinterpretasi secara metaforis. Dan ketiga, level makna yang dapat diperluas atas dasar signifikasi yang dapat disingkap dari konteks kultur-sosial di mana teks-teks tersebut bergerak, sekaligus memproduksi maknanya.
Dari uraian Nasr di atas dapat dimengerti bahwa makna teks-teks agama bersifat historis, sehingga makna yang ditimbulkan bergantung pada sistem bahasa dan budaya di mana ia merupakan bagian darinya. Historisitas teks bukan hanya berupa ruang dan waktu (asbab al-nuzul), tetapi penerima bahasa beserta realitas sosial-historis yang melingkupi juga merupakan teks yang dapat menentukan fleksibilitas makna.
Karena itu, dalam tradisi Islam pemahaman selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai, karena pemahaman selalu berkembang seiring dengan kemajuan umat Islam. Namun pada realitanya, komentar M. Amin Abdullah, lantaran budaya kritik epistimologis, khususnya dalam wilayah pemikiran keagamaan tidak tumbuh secara wajar dalam budaya muslim, maka pada ujungnya terjadi apa yang diistilahkan Arkoun sebagai proses taqdis al-afkar al-diniyyah (pensakralan buah pikiran keagamaan).
III. KEKHASAN BAHASA AL-QUR’AN
Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُم تَعْقِلُون
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Q.S. Yusuf;2)
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia.”
Allamah Thabathabai –seorang filosof, faqih, arif dan mufassir terkemuka asal Iran- dalam menjelaskan bahasa al-Quran –yang dapat dipahami oleh masyarakat umum—mengatakan, al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa masyarakat intelek secara umum ( al-‘Urf al-Uqala’), bukan sekedar bahasa masyarakat biasa secara umum ( al-‘Urf al-‘Adi). Hal itu dengan alasan; Pertama, ajaran al-Quran mencakup hal-hal supra natural yang tidak dapat terwakili dengan penggunaan bahasa dan susunan lafadz dalam penjelasannya. Kedua, sebagaimana alam semesta memiliki gradasi wujud, al-Quran pun mengikuti gradasi yang ada. Sebelum al-Quran turun ke alam materi yang penuh dengan susunan ( murakkab), ia telah ada di alam non-materi yang tiada tersusun ( abstrak/mujarrad). Hakekat al-Quran pada peringkat alam non-materi itu hanya dapat dipahami oleh Rasulullah saww. Namun Jibril as bertugas menurunkan apa yang ada di alam non-materi ke alam materi agar dapat diajarkan oleh Rasul ke segenap umat manusia. Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan potensi obyek wahyu (yaitu umat manusia), maka pengungkapan hakekat alam non-materi ke dalam bentuk penulisan tidak bisa dituangkan sebagaimana adanya (semestinya), melainkan dengan segala keterbatasan. Oleh karena itu, bahasa al-Quran yang ada merupakan bentuk formal dari analogi (tamtsil atau matsal) penyampaian hakekat alam non-materi yang bersifat ghaib tadi.Ketiga, al-Quran mengandung ayat-ayat yang bersifat samar ( mutasyabihat), yaitu yang memiliki beberapa kemungkinan arti. Hanya dengan merujuk kepada ayat-ayat yang jelas (muhkamat) ayat yang samar tadi akan menjadi jelas arti pemaknaannya. Keempat, hanya sekedar mengusai dasar-dasar umum kaidah bahasa arab tidak cukup untuk dapat mengungkap penafsiran al-Quran. Ada hal-hal lain yang diperlukan untuk memahami bahasa penyampaian al-Quran secara detail, diantaranya, mengetahui relasi antara ayat-ayat al-Quran yang ada. Selain dikarenakan ayat-ayat yang global akan dapat diperjelas oleh ayat-ayat yang lain, juga karena banyak pokok bahasan dalam al-Quran yang berkenaan dengan hal-hal multidimensional yang harus disampaikan dengan pemahaman dan bahasa masyarakat umum, sedang hal itu terdapat pada ayat-ayat yang muhkamat, sementara di sisi lain pemahaman dan bahasa masyarakat awam akan memberi pengertian yang bersifat material saja,karena banyak pemikiran masyarakat awam telah terpolusi dan terkontaminasi dengan pemahaman-pemahaman alam materi. Kelima, mengingat bahwa bahasa al-Quran berasal dari alam ghaib sebagai sumber alam absolut, maka dapat dipastikan kebenaran hakekat yang dibawanya. Sedang bahasa masyarakat awam bermula dari segala keterbatasan alam pemikiran manusia, oleh karena itu kebenarannya masih bisa dipertanyakan. Keenam, adanya perbedaan pengertian dalam penggunaan beberapa kata dalam bahasa al-Quran dan bahasa masyarakat awam, sebagai contoh, kata qalb yang dalam bahasa al-Quran sering diartikan sebagai jiwa atau ruh manusia, sedang dalam bahasa masyarakat awam diartikan sebagai hati sanubari.
Allamah Thaba’thaba’i sangat mengkritik keras pendapat orang yang menganggap al-Quran menggunakan bahasa mitos. Beliau menyatakan, fungsi utama penurunan al-Quran adalah sebagai penunjuk jalan ke arah keselamatan dan kebahagiaan sejati. Menilik dari fungsi utama penurunan al-Quran tersebut, maka cerita-cerita mitos semacam itu tidak akan dapat secara maksimal membantu proses pemberian petunjuk, bahkan akan menjadi penyebab kesesatan. Selain juga karena al-Quran bukan buku cerita yang dapat dipenuhi dengan mitos yang beraneka ragam.
Jadi, walaupun pada asalnya bahasa al-Quran menggunakan parameter pemahaman masyarakat secara umum, namun terdapat beberapa perbedaan yang mencolok dan mendasar sehingga penyetaraan antara bahasa al-Quran dengan bahasa masyarakat awam tidak dapat dibenarkan. Paling tidak ada empat perbedaan mendasar yang dapat disebutkan: Pertama, sistematika bahasa al-Quran. Hal itu dikarenakan al-Quran yang diturunkan selama kurun waktu dua puluh tiga tahun dipenuhi dengan ayat-ayat jelas dan samar ( mutasyabihat-muhkamat), penghapus dan yang terhapus ( nasikh-mansukh), mutlak dan yang dibatasi (mutlak-muqayad)…dsb, dimana letak semua itu dalam al-Quran tidak menentu. Maka atas dasar itulah untuk memahami hakekat satu ayat yang disampaikan dalam al-Quran perlu juga memahami ayat-ayat lain dalam al-Quran. Sedang dalam bahasa masyarakat awam, tidaklah demikian. Kedua, terdapat berbagai sarana dan prasarana untuk dapat memahami al-Quran. Karena al-Quran yang turun secara bertahap itu memuat hal-hal yang bersifat gaib. Berbeda halnya dengan bahasa masyarakat awam yang hanya bertumpu pada tata bahasa yang terkait. karenanya dalam memahami al-Quran penguasaan kaidah bahasa merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, tetapi bukan satu-satunya syarat ataupun syarat utama. Ketiga, multidimensinya pemahaman bahasa al-Quran. Sebagaimana yang telah disinggung, al-Quran sebagai kitab pedoman hidup dan penunjuk jalan bagi umat manusia, maka sudah semestinya ia harus dapat dipahami oleh siapapun juga. Sebab itu, ada banyak hadis yang diriwayatkan dari Ahlul-Bait as yang menjelaskan tentang kebertingkatan dan gradualnya pemahaman al-Quran. Berbeda dengan bahasa masyarakat awam yang dalam banyak hal memiliki kejelasan pemahaman, dan cendrung berpemahaman tunggal. Keempat, keotentikan ungkapan al-Quran. Kendati al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa masyarakat umum tingkat khusus ( ‘Urf Khash), namun ia tetap mampu dicerna oleh siapapun juga. Meski begitu, masih terdapat juga tingkatan dalam mencerna kandungannya yang tergantung pada potensi penerima. Berbeda dengan bahasa masyarakat awam yang dapat dipahami oleh siapapun.
Berkaitan dengan pola penyusunan al-Qur’an, apabila diteliti, penggunaan kata dan istilah dalam Quran, terbagi kepada beberapa ciri, antaranya:
1. Satu perkataan atau istilah bagi beberapa makna.
Al-Quran kadangkala menggunakan satu perkataan untuk menjelaskan sejumlah makna, terutama untuk menyatakan wujud Allah. Contohnya seperti kata rabb, al-nafs dan al-kitab. Kata rabb, dalam surah al-Fatihah ayat 1 membawa maksud Tuhan. Tetapi dalam surah Yusuf ayat 12 rabb membawa arti penguasa atau majikan. Perkataan al-nafs, berarti salah satu daripada bagian tubuh manusia yang disebut “jiwa”. Melalui surah Yusuf ayat 53, Allah menyatakan, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), kerana sesungguhnya al-nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Melalui surah al-Anbiya’ ayat 35 Allah menyatakan, “Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati” maka al-nafs di sini memberi arti “manusia yang hidup”. Surah al-Fajr ayat 27 hingga 30 berbunyi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlainya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba ku, dan masuklah ke dalam syurgaku.” Al-nafs di sini dimaksudkan sebagai “manusia yang telah mati dan kemudian dihidupkan semula di akhirat kelak”. Perkataan al-kitab pula bermakna kitab suci Zabur, Injil dan Quran. Surah an-Nisa’ ayat 136, Allah menyatakan, “Serta kitab yang telah Allah turunkan sebelumnya,” dan surah al-Baqarah ayat 2, bermaksud, “Kitab al-Quran” ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Dalam surah al-Waqiah ayat 78, Allah menegaskan maksudnya sebagai buku utama di Lauh Mahfuz, “Pada kitab yang terpelihara di “Luh mahfuz” Al-Kitab juga dapat dimaksudkan sebagai buku catatan amal yang diberikan di akhirat kelak, sebagaimana disebut dalam surah al-Isra’ ayat 71 yang bermaksud, “Dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya”.
2. Beberapa perkataan atau istilah untuk memberi satu maksud.
Banyak kata-kata dalam Quran yang memiliki satu pengertian, tetapi dituliskan dengan beberapa istilah. Ia menunjukkan nilai kata itu dengan tingkat kualitas amal yang dilakukan. Kasih sayang atau cinta contohnya, memiliki arti yang sama, tetapi diletakkan dengan status yang berbeda kepada manusia. Rahmah, diberikan kepada manusia bagi mencipta-kan kelembutan disebut dalam surah Ali Imran ayat 159. Mawaddah, adalah bagi membina komunikasi antara manusia, disebut dalam surah al-Rum ayat 21, as-Syura ayat 23 dan al-Mumtahanah ayat 7. Hubb, sebagai imbalan tidak murtad dari Islam dinyatakan dalam surah al-Maidah ayat 54. Wudd, dihadiahkan khusus bagi orang beriman dan beramal soleh, dinyatakan melalui surah Maryam ayat 96. Hanana, adalah ganjaran bagi orang yang memegang teguh Quran disebut dalam surah Maryam ayat 13. Mahabbah, dimasukkan ke dalam hati orang-orang yang berdakwah dan berjihad di jalan Allah di sebut dalam surah Taha ayat 39.
3. Menggambarkan perkataan ataupun istilah yang sebenarnya.
Perkataan atau istilah yang dituliskan dengan makna sebenarnya dimaksudkan untuk lebih memudahkan penerimaan pesan yang hendak disampaikan oleh Quran. Supaya siapa saja dapat memahami dengan mudah apa yang dikehendaki oleh Allah. Ini adalah perkataan yang paling banyak digunakan dalam Quran.
4. Kata dan istilah kiasan.
Penggunaan kata dan istilah yang tercantum dalam Quran ada yang berbentuk kiasan adalah sebuah metode yang dimaksudkan untuk merangsang peningkatan kemampuan pembacanya sebagai usaha memahami pelajaran yang dikandung oleh Quran. Kiasan-kiasan yang digunakan secara umum memiliki dua sifat iaitu: Menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan kata-kata yang jarang-jarang digunakan. Contoh kiasan yang selalu digunakan dapat dilihat dalam surah Ibrahim ayat 24 hingga 25 yang bermaksud, “Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya.”
Sementara contoh kiasan yang jarang-jarang digunakan, terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 17, “Seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan; tidak dapat melihat.”
Gaya bahasa Quran berbeda dengan hasil karya seperti buku-buku. Walaupun ia berbentuk seperti buku, ia tidak sama dengan kaedah-kaedah yang biasa digunakan bagi menulis sebuah buku. Quran ciptaan Allah, tidak terikat dengan sistem yang biasa digunakan oleh manusia. Penggunaan aspek logik, seperti memanfaatkan sistematik, bahasa dan sebagainya bagi menulis sebuah buku, menunjuk-kan keterbatasan manusia. Quran milik Allah, menitikberat-kan aspek jiwa manusia, tidak begitu ketat tetapi memanfaat-kan aspek-aspek logik, sehingga Quran mudah diterima, difahami dan diamalkan. Bahasa adalah alat bantu bagi memudahkan manusia menerima nilai-nilai kandungan yang ada. Oleh itu, bahasa Quran juga perlu diuraikan. Terdapat beberapa bentuk penggunaan gaya bahasa dalam Quran:
Pola penyusunan menyeluruh dan sempurna.
Pola penyusunan menyeluruh dan sempurna adalah bermula dari judul surah hingga seluruh ayat, memiliki bunyi akhir yang sama dari sisi huruf vokal(hidup) dan daripada segi huruf konsonan(mati). Contohnya penyusunan keseluruhan surah al-Kautsar dari ayat 1 hingga 3.
Pola penyusunan sempurna.
Pola ini terdapat pada surah yang bermula dari judul dan keseluruhan ayat-ayatnya memiliki bunyi yang sama di akhirnya, sama ada huruf hidup ataupun huruf matinya. Ini dapat dilihat melalui surah al-Asr ayat 1 hingga 3 dan surah al-Qadr ayat 1 hingga 5.
Pola penyusunan dominan.
Pola penyusunan dominan adalah surah-surah yang berisikan judul dan ayat-ayat yang sebagian besar ataupun seluruh bunyinya dari huruf hidup yang sama. Contohnya surah al-Kafirun ayat 1 hingga 6 dan surah al-Lahab ayat 1 hingga 5.
Pola penyusunan campuran.
Pola penyusunan campuran adalah surah-surah yang bermula dari judul hingga seluruh ayatnya disusun dengan bunyi-bunyi di bagian akhir ayat yang sama dengan huruf hidup. Bunyi pada huruf matinya tidak sama. Contohnya terdapat pada surah al-Humazah.
5. Pola bebas.
Adalah surah yang tidak sama daripada segi bunyi akhir ayat, judul ataupun seluruh ayat, sama ada huruf hidup ataupun huruf mati. Urutannya juga berbeda, biasanya lebih dari dua ayat yang berbunyi sama. Contohnya dapat dilihat dalam surah al-Takathur ayat 1 hingga 8.
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa al-Qur’an merupakan pedoman hidup dan petunjuk bagi kehidupan manusia, karenanya setiap manusia muslim berkewajiban untuk memahami isi kandungan al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai kitab yang shalihun likulli zamanin wa makanin meniscayakan adanya dialektika antara teks al-Qur’an dengan konteks dalam kerangka memahami ajaran Islam yang termaktub di dalamnya. Al-Qur’an dapat dipahami dan dikonstruk melalui perkembangan studi budaya karena sebagai teks agama (lughat), ia tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Al-Qur’an memiliki karakter tekstualitas yang didasarkan pada realitas-realitas kemanusiaan yang profan, historis, sosiologis, kultural dan kebahasaan. Memahami al-Qur’an mengharuskan siapapun untuk memperhatikan aspek-aspek itu semua.
Bahasa al-Qur’an bukan hanya mengacu kepada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu sehingga keberadaan bahasa al-Qur’an mengacu kepada dunia human dan infra human, aspek metafisik, Adikodrati dan Ilahiyah. Maka untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin hanya berdasarkan pada kaidah linguistik karena keterbatasan dan bahasa sehingga guna menjembatani antara rasio manusia dengan dimensi ilahiyah al-Qur’an banyak menggunakan bahasa metafora dan analogi.
Pemahaman terhadap al-Qur’an harus melibatkan “unsur triadik” yakni the author dalam hal ini adalah Allah, text (al-Qur’an) dan reader (siapa yang dituju). Mencari pemahaman al-Qur’an dengan pendekatan yang parsial hanya pada salah satu dari ketiganya akan membawa pemahaman yang keliru.
Al-Qur’an memiliki kekhasan bahasanya sendiri baik dari bahasanya, diksi maupun susunannya. Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa masyarakat intelek secara umum bukan sekedar bahasa masyarakat biasa. Karenanya pemahaman terhadap aspek kekhususan bahasa al-Qur’an menjadi penting untuk memahami maksud yang dikandung.
b. Penutup
Demikian pembahasan “Memahami Bahasa al-Qur’an; Refleksi atas persoalan linguistik” ini kami susun dengan segala kelemahan, kekurangan dan keterbatasannya, karenanya masukan, saran dan kritik konstruktif kami nantikan dan harapkan. Semoga meski sederhana makalah ini memberi manfaat.
B I B L I O G R A F I
Abdullah, M. Amin, , “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme Memperbincangkan Pemikiran Arkoun, ed. Johan Hendrik Meuleman (Yogyakarta: LKiS, 1996).
Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Falsafah al-Qur’aniyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnaniy, 1974).
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsurial Panggabean , Tafsir Kontekstual al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1990).
Darraz, Abdillah, al-Naba’ al-‘Adzim, (Mesir: Dar al-‘Urabah, 1960).
Ghramaleki, Muhammad Hasan Ghadrdhan, Kalam-e Falsafi.
Hamdan, Nurzaiti, , “Pola Penyusunan Qur’an”, dalam http://www.akmanizam.com/modules.php?name=News&file=article&sid=42
Haryono, M. Yudhie R, Bahasa Politik al-Qur’an: Mencurigai Makna tersembunyi di balik teks, (Bekasi: Gugus Press, 2002).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Janshen, JJG, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987).
Kaelan, M. S, “Kajian Makna al-Qur'an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa)” dalam Hermeneutika al-Qur'an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Luthfi, Mukhtar, , “Bahasa al-Qur’an Versi al-Qur’an”, dalam http://islamalternatif.net/id/
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Muzakki, Akhmad, “Kontribusi Semiotika dalam memahami bahasa agama”, dalam. http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/index.idx
Raharjo, M. Dawam, Paradigma al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005).
Rahman, Fazlur, Major Themes of the al-Qur’an, (Chicago: Blibiotheca Islamica, 1980).
Raya, Ahmad Thib, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an Upaya Menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan, (Jakarta: Fikra Publishing, 2006)
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992).
Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khithab al-Diniy (Kairo: Jumhuriyah Misr al-Arabiyah, 1994)
semoga bermanfaat
BalasHapus