A. PENDAHULUAN
Kelas merupakan wahana paling dominan bagi terselenggaranya proses pembelajaran bagi peserta didik di sekolah. Kedudukan kelas yang begitu penting mengisyaratkan bahwa tenaga kependidikan yang profesional yang dikehendaki, terutama guru, harus profesional dalam mengelola kelas bagi terselenggaranya proses pendidikan dan pembelajaran yang efektif dan efisien.(Sudarwan Danim, 2002: 161).
Minggu, 27 Juni 2010
Minggu, 30 Mei 2010
BOOK REVIEW: PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888 KARYA PROF. DR. SARTONO KARTODIRDJO
I. PENDAHULUAN
Buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888 ini merupakan terjemahan dari disertasi karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan judul asli The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Karya ini memperoleh predikat cum laude dari Universitas Amsterdam dan banyak menjadi referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia.
Buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888 ini merupakan terjemahan dari disertasi karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan judul asli The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Karya ini memperoleh predikat cum laude dari Universitas Amsterdam dan banyak menjadi referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia.
META KECERDASAN: INTEGRASI KECERDASAN INTELEKTUAL, EMOSIONAL DAN SPIRITUAL
I. PENDAHULUAN
Dalam dekade terakhir, dunia psikologi dan pendidikan dikejutkan oleh berbagai penemuan-penemuan monumental tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad ke dua puluh, kecerdasan intelektual (IQ) sempat menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk ‘menakar’ dan mengukur kecerdasan manusia. Selama bertahun-tahun, kita begitu terpesona dengan penemuan Barat tentang IQ. Bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang memiliki nilai intelektual yang tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif melalui berbagai tes kecerdasan. For long, the world gave much importance to intelligence quotient, kata Cherian P. Tekkeveettil. Sehingga, saat itu, orang tua dengan begitu bangganya mengatakan : my son has an IQ of 210. He is going to be scientist”.
Namun pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman menunjukkan penemuan barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ; ada jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ, yaitu EQ (Emotional Quotient).
Dalam dekade terakhir, dunia psikologi dan pendidikan dikejutkan oleh berbagai penemuan-penemuan monumental tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad ke dua puluh, kecerdasan intelektual (IQ) sempat menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk ‘menakar’ dan mengukur kecerdasan manusia. Selama bertahun-tahun, kita begitu terpesona dengan penemuan Barat tentang IQ. Bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang memiliki nilai intelektual yang tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif melalui berbagai tes kecerdasan. For long, the world gave much importance to intelligence quotient, kata Cherian P. Tekkeveettil. Sehingga, saat itu, orang tua dengan begitu bangganya mengatakan : my son has an IQ of 210. He is going to be scientist”.
Namun pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman menunjukkan penemuan barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ; ada jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ, yaitu EQ (Emotional Quotient).
BOOK REPORT: PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM DI SEKOLAH (Dr. H. Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah
I. PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan program belajar untuk siswa yang harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh guru melalui proses pengajaran. Oleh sebab itu penelaahan kurikulum sebagai program belajar, pelaksanaan, pembinaan dan pengembangannya jauh lebih penting dari programnya itu sendiri.
Buku ini mencoba membahas tiga aspek pokok, yakni (a) landasan teoritik berkenaan dengan studi kurikulum dituangkan dalam tiga bab pertama, (b) kebijakan dan prosedur pembinaan kurikulum disajikan dalam bab empat dan bab lima, (c) evaluasi dan pengembangan kurikulum dimuat dalam tiga bab berikutnya yakni bab enam, tujuh dan bab delapan. Tiga hal pokok itulah yang akan coba dirangkum dalam tulisan singkat ini. Dan tentunya sesuai dengan judul buku ini, maka fokus pembahasan akan ditekankan pada pembinaan dan pengembangan kurikulum di sekolah.
Kurikulum merupakan program belajar untuk siswa yang harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh guru melalui proses pengajaran. Oleh sebab itu penelaahan kurikulum sebagai program belajar, pelaksanaan, pembinaan dan pengembangannya jauh lebih penting dari programnya itu sendiri.
Buku ini mencoba membahas tiga aspek pokok, yakni (a) landasan teoritik berkenaan dengan studi kurikulum dituangkan dalam tiga bab pertama, (b) kebijakan dan prosedur pembinaan kurikulum disajikan dalam bab empat dan bab lima, (c) evaluasi dan pengembangan kurikulum dimuat dalam tiga bab berikutnya yakni bab enam, tujuh dan bab delapan. Tiga hal pokok itulah yang akan coba dirangkum dalam tulisan singkat ini. Dan tentunya sesuai dengan judul buku ini, maka fokus pembahasan akan ditekankan pada pembinaan dan pengembangan kurikulum di sekolah.
EVALUASI DAN TAKSONOMI TUJUAN PENDIDIKAN DOMAIN KOGNITIF, AFEKTIF DAN PSIKOMOTORIK
I. PENDAHULUAN
Evaluasi dalam rangkaian proses pendidikan merupakan hal yang sangat urgen. Hal ini mengingat evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi ini dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. (Depag RI, 2006:67).
Pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan dan potensi individu baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat merupakan usaha sadar yang bertujuan mendewasakan anak mencakup kedewasaan fisik, intelektual, sosial dan moral. (Nana Sudjana, 1996:2) Operasionalisasi pendidikan tersebut dalam lingkup yang lebih kecil ditempuh melalui proses belajar mengajar atau pengajaran. Pengajaran adalah interaksi siswa dengan lingkungan belajar yang dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran, yakni kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Tujuan pengajaran pada dasarnya adalah diperolehnya bentuk perubahan tingkah laku baru pada siswa, sebagai akibat dari proses belajar mengajar. Perubahan tingkah laku dalam pengertian luas seperti dikemukakan Kingsley mencakup keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan, pengertian serta sikap dan cita-cita. Sedangkan menurut Gagne mencakup keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Adapun menurut Benyamin S Bloom dibedakan dalam tiga ranah, yakni ranah kognitif (aspek intelektual), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (keterampilan). (Nana Sudjana, 1996:6)
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan mengadakan evaluasi. Evaluasi pendidikan dan pengajaran merupakan kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar. Karena itu evaluasi menjadi hal yang penting dan sangat dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, karena evaluasi dapat mengukur dan menilai seberapa jauh keberhasilan peserta didik dalam menyerap materi yang diajarkan. Dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mempermudah upaya mencari jalan keluar untuk perbaikan ke depan. Dalam tataran makro, menurut Farida Tayib (2000:1) evaluasi akan memberikan informasi yang lebih akurat untuk membantu perbaikan dan pengembangan sistem pendidikan.
Makalah ini akan membahas konsep dasar evaluasi dan taksonomi tujuan pendidikan. Karena dikaitkan dengan taksonomi maka pembahasan dibatasi dan difokuskan hanya pada evaluasi terhadap peserta didik dalam bentuk evaluasi hasil belajar yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
II. KONSEP DASAR EVALUASI PENDIDIKAN
A. Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi Pendidikan.
Sebelum menjelaskan pengertian evaluasi pendidikan lebih lanjut akan dikemukakan dulu pengertian pengukuran dan penilaian. Karena berbicara mengenai evaluasi selalu berkait dengan pengukuran dan penilaian. Dan terkadang ketiga istilah ini memunculkan kerancuan dan saling dipertukarkan (interchangeable).
1. Pengukuran
Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3) Jika kita mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, atau mengukur jarak kota A dengan kota B, maka sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah mengkuantifikasi keadaan seseorang atau tempat ke dalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif.
Dalam dunia pendidikan, Menurut Mardapi (2004: 14) pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan penentuan angka terhadap suatu obyek secara sistematis. Karakteristik yang terdapat dalam obyek yang diukur ditransfer menjadi bentuk angka sehingga lebih mudah untuk dinilai. aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia seperti kognitif, afektif dan psikomotor dirubah menjadi angka. Karenanya, kesalahan dalam mengangkakan aspek-aspek ini harus sekecil mungkin. Kesalahan yang mungkin muncul dalam melakukan pengukuran khususnya dibidang ilmu-ilmu sosial dapat berasal dari alat ukur, cara mengukur dan obyek yang diukur.
Pengukuran dalam bidang pendidikan erat kaitannya dengan tes. Hal ini dikarenakan salah satu cara yang sering dipakai untuk mengukur hasil yang telah dicapai siswa adalah dengan tes. Selain dengan tes, terkadang juga dipergunakan nontes. Jika tes dapat memberikan informasi tentang karakteristik kognitif dan psikomotor, maka nontes dapat memberikan informasi tentang karakteristik afektif obyek. (http://statistikpendidikanii.blogspot.com/)
2. Penilaian
Penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Karenanya, menurut Djemari Mardapi (1999: 8) penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran. Menurut Cangelosi (1995: 21) penilaian adalah keputusan tentang nilai. Oleh karena itu, langkah selanjutnya setelah melaksanakan pengukuran adalah penilaian. Penilaian dilakukan setelah siswa menjawab soal-soal yang terdapat pada tes. Hasil jawaban siswa tersebut ditafsirkan dalam bentuk nilai. Menurut Djemari Mardapi (2004: 18) ada dua acuan yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma dan acuan kriteria. Dalam melakukan penilaian dibidang pendidikan, kedua acuan ini dapat dipergunakan. Acuan norma berasumsi bahwa kemampuan seseorang berbeda serta dapat digambarkan menurut kurva distribusi normal. Sedangkan acuan kriteria berasumsi bahwa apapun bisa dipelajari semua orang namun waktunya bisa berbeda.
Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek. Dengan adanya acuan norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang digunakan. Misalnya, kecepatan kendaraan 40 km/jam akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila kendaraan tersebut adalah sepeda dan mobil.
3. Evaluasi
Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation. Dalam bahasa Indonesia berarti ‘penilaian’.(Anas Sudijono, 1998: 1) Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (1992:220) evaluation berarti penilaian atau penaksiran.
M. Chabib Thoha (1996:1) mengatakan bahwa Evaluasi berarti suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu, apakah sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak. Evaluasi berarti kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur tertentu guna memperoleh kesimpulan. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Anne Anastasi sebagaimana dikutip Sudijono (1998:1) mengatakan bahwa Evaluasi bukan saja sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.
Evaluasi Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1) adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Dalam bidang pendidikan, evaluasi sebagaimana dikatakan Gronlund merupakan proses yang sistematis tentang mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan sejauhmana tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa.
Dari beberapa pendapat di atas, ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari evaluasi yaitu: (1) sebagai kegiatan yang sistematis, pelaksanaan evaluasi haruslah dilakukan secara berkesinambungan. Sebuah program pembelajaran seharusnya dievaluasi di setiap akhir program tersebut, (2) dalam pelaksanaan evaluasi dibutuhkan data dan informasi yang akurat untuk menunjang keputusan yang akan diambil. Asumsi-asumsi ataupun prasangka. bukan merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam evaluasi, dan (3) kegiatan evaluasi dalam pendidikan tidak pernah terlepas dari tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. (http://statistikpendidikanii.blogspot.com/)
B. Tujuan Evaluasi
Evaluasi telah memegang peranan penting dalam pendidikan antara lain memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk :
o Membuat kebijaksanaan dan keputusan
o Menilai hasil yang dicapai para pelajar
o Menilai kurikulum
o Memberi kepercayaan kepada sekolah
o Memonitor dana yang telah diberikan
o Memperbaiki materi dan program pendidikan
(http://dokumens.multiply.com/journal)
Dr. Muchtar Buchori M.Ed. Mengemukakan bahwa tujuan khusus evaluasi pendidikan ada 2 yaitu :
o Untuk mengetahui kemajuan peserta didik setelah ia mengalami pendidikan selama jangka waktu tertentu.
o Untuk mengetahui tingkat efisiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidik selama jangka waktu tertentu tadi.
( http://dokumens.multiply.com/journal)
Secara konklusif Haryono (1999 : 1-3) menjelaskan tujuan evaluasi berkaitan dengan perencanaan, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pengajaran, baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Oleh karena itu keputusan yang diambil dari hasil evaluasi dapat menyangkut :
1. Keputusan dalam bidang pengajaran
Dalam keputusan yang menyangkut bidang pengajaran ini hasil evaluasi dipakai sebagai pedoman untuk langkah-langkah memperbaiki cara mengajar guru, metode pengajaran, strategi mengajar. Sudah tepat atau belum suatu metode atau strategi mengajar dapat dilihat dari hasil evaluasi yang diadakan setelah proses belajar mengajar selesai. Jika hasil evaluasi menunjukkan nilai kurang, berarti metode atau strategi mengajar perlu diperbaiki. Jika hasil evaluasi sudah baik, berarti metode atau strategi mengajar sudah baik dan memadai.Untuk mengetahui apakah cara mengajar kita sudah baik atau belum, maka perlu diadakan tes formatif. Jadi nilai tes formatif tidak dijadikan pedoman untuk mengisi raport atau kenaikan kelas, tetapi untuk mengambil keputusan cara mengajarnya sudah tepat atau belum.
2. Keputusan tentang hasil belajar
Dilihat dari sudut proses belajar siswa, evaluasi digunakan untuk menilai pencapaian belajar siswa. Nilai evaluasi dalam hal ini dipergunakan untuk mengisi raport, untuk menentukan naik kelas atau tidak, lulus atau tidak. Komponen untuk keperluan ini biasanya menggunakan tes ulangan harian. Tes ulangan harian atau tes formatif pada umumnya diadakan untuk pokok bahasan yang lebih kecil, tetapi tes sumatif biasanya diadakan untuk pokok bahasan yang lebih luas.
3. Keputusan dalam rangka diagnosis atau usaha perbaikan
Kesulitan belajar siswa perlu dicari sebab-sebabnya dan ditanggulangi melalui usaha-usaha perbaikan. Tes diagnostic diselenggarakan untuk mengetahui dalam bidang mana siswa telah atau belum menguasai kompetensi tertentu, dengan kata lain tes diagnostic berusaha mengungkapkan kekuatan atau kelemahan siswa mengenai bahan yang diujikan. Sepintas lalu tes diagnostic hampir sama dengan tes untuk bidang pengajaran. Bedanya tes untuk bidang pengajaran berorientasi pada masa lalu, maksudnya bagaimana kesulitan itu dapat terjadi. Perlu diketahui juga bahwa untuk mengungkapkan kelemahan siswa tidak dengan tes diagnostik, tetapi dapat menggunakan cara-cara lain, analisis tugas sehari-hari, informasi keadaan rumah tangga. Setelah diketahui kesulitan ataukelemahan belajar siswa, barulah diusahakan kemungkinan-kemungkinan usaha perbaikan.
4. Keputusan berkenaan dengan penempatan
Tes untuk penjurusan atau pemilihan program termasuk tes penempatan. Dengan tes penempatan siswa dapat di bagi-bagi menurut tingkat kemampuannya, hal ini dimaksudkan agar siswa dapat belajar dengan baik dan siswa terhindar dari kesulitan. Tes bakat atau tes minat adalah salah satu tes yang digunakan untuk memilih dan menempatkan siswa sesuai dengan kemampuannya.
5. Keputusan yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling
Dilihat dari kepentingan tiap siswa, pelayanan bimbingan dan konseling adalah agar siswa mampu mengenali dan menerima keadaan dirinya sendiri, serta atas dasar pengenalan penerimaan diri sendiri ini siswa mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, termasuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai bakatnya. Untuk sasaran petugas bimbingan dan konseling, hanya mungkinmelaksanakan tugasnya dengan baik jika dia dilengkapi dengan informasi yang lengkap dan tepat, ini dimaksudkan agar hasil evaluasi untuk kepentingan tersebut.
6. Keputusan berkenaan dengan kurikulum
Salah satu kegunaan hasil evaluasi adalah untuk menguji isi kurikulum dan pelaksanaan pengajaran. Dalam program pendidikan isi kurikulum dan rancangan pengajaran beserta berbagai penunjangnya dapat diuji keunggulannya.
7. Keputusan berkenaan dengan kelembagaan
Sering terjadi bahwa suatu lembaga pendidikan tidak seproduktif dengan lembaga pendidikan yang lain. Ada yang siswanya jarang bisa lulus tepat pada waktunya, tetapi ada lembaga lain yang siswanya selalu dapat selesai tepat waktu yang telah terprogramkan.
Untuk SLTP-SMA ada sekolah yang kemudian oleh masyarakat dinilai sekolah favorit, tetapi ada yang dinilai sekolah rawan. Untuk membandingkan lembaga yang satu dengan yang lain atau sekolah yang satu dengan yang lain perlu diadakan alat ukur atau evaluasi. Hasil evaluasi ini barulah dapat dipergunakan untuk menilai atau memberi predikat pada lembaga atau sekolah-sekolah tersebut. Dalam hal ini lembaga-lembaga atau sekolah-sekolah yangdinilai kurang, punya kewajiban untuk mengejar kekurangan tersebut.
C. Fungsi Evaluasi
Dengan mengetahui tujuan evaluasi maka dapat diketahui pula fungsi evaluasi pendidikan. Menurut Suharsimi Arikunto (1995: 11) fungsi evaluasi tersebut antara lain:
1. Evaluasi berfungsi selektif
Fungsi seleksi ini antara lain bertujuan:
a. untuk memilih siswa yang diterima di sekolah tertentu.
b. Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya.
c. Untuk keperluan pemberian beasiswa.
2. Evaluasi berfungsi diagnostik
Dengan evaluasi dapat diketahui kelemahan-kelemahan siswa serta penyebabnya.
3. Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
4. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan.
Jika evaluasi dipandang dari sudut masing-masing komponen pendidikan maka evaluasi dapat berfungsi antara lain:
1. Fungsi evaluasi bagi siswa
Bagi siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini ada dua kemungkinan :
a. Hasil bagi siswa yang memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini siswa akan termotivasi untuk belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan datang. Namun, dapat pula terjadi sebaliknya, setelah memperoleh hasil yang memuaskan siswa tidak rajin belajar sehingga pada waktu berikutnya hasilnya menurun.
b. Hasil bagi siswa yang tidak memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka pada kesempatan yang akan datang dia akan berusaha memperbaikinya. Oleh karena itu, siswa akan giat belajar. Tetapi bagi siswa yang kurang motivasi atau lemah kemauannya akan menjadi putus asa
2. Fungsi evaluasi bagi guru
a. Dapat mengetahui siswa manakah yang menguasai pelajran dan siswa mana pula yang belum. Dalam hal ini hendaknya guru memberikan perhatian kepada siswa yang belum berhasil sehingga pada akhirnya siswa mencapai keberhasilan yang diharapkan.
b. Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah disampaikan itu dikuasai oleh siswa atau belum.
c. Dapat mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalam menyajikan bahan pelajaran tersebut.
d. Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat dijadikan bahan remidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.
3. Fungsi evaluasi bagi sekolah
a. Untuk mengukur ketepatan kurikulum atau silabus. Melalui evaluasi terhadap pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka akan dapat diketahui apakah ketepatan kurikulum telah tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan atau belum. Dari hasil penilaian tersebut juga sekolah dapat menetapkan langkah-langkah untuk perencanaan program berikutnya yang lebih baik.
b. Untuk mengukur tingkat kemajuan sekolah. Sudah barang tentu jika hasil penilaian yang dilakukan menunjukkan tanda-tanda telah terlaksananya kurikulum sekolah dengan baik, maka berarti tingkat ketepatan dan kemajuan telah tercapai sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi sebaliknya jika tand-tanda itu menunjukkan tidak tercapainya sasaran yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ketepatan dan kemajuan sekolah perlu ditingkatkan.
c. Mengukur keberhasilan guru dalam mengajar. Melalui evaluasi yang telh dilaksanakan dalam pengajaran merupakan bahan informasi bagi guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam melaksanakan pengajaran.
d. Untuk meningkatkan prestasi kerja. Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai dalm pengajaran akan mendorong bagi sekolah atau guru untuk terus meningkatkan prestasi kerja yang telah dicapai dan berusaha memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mungkin terjadi.
D. Prinsip-Prinsip Evaluasi
1. Keterpaduan
Evaluasi harus dilakukan dengan prinsip keterpaduan antara tujuan intruksional pengajaran, materi pembelajaran dan metode pengajaran.
2. Keterlibatan peserta didik Prinsip ini merupakan suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternatif, tapi kebutuhan mutlak.
3. Koherensi
Evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur.
4. Pedagogis
Perlu adanya alat penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa.
5. Akuntabel
Hasil evaluasi haruslah menjadi alat akuntabilitas atau bahan pertnggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seeprti orangtua siswa, sekolah, dan lainnya. (Daryanto, 1999:19-21)
E. Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non Tes (http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/)
1. Teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.
a. Rating scale atau skala bertingkat
Skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudian dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yang lain.
b. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya. Sedangkan kuesioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabila yang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada jawaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.
c. Daftar cocok
Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan beserta dengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.
d. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informasi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informsi-informasi yang diperlukan saja.
e. Pengamatan atau observasi
Pengamatan atau observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihat sebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1) observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalam kelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yang telah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yang terdapat dalam obejek pengamatan.
f. Riwayat hidup
Evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.
2. Teknik tes.
Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :
a. Tes diagnostik
b. Tes formatif
c. Tes sumatif
F. Prosedur Melaksanakan Evaluasi
Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosedur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknik apa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, di mana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)
2. Pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan)
3. Verifikasi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)
4. Pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS )
5. Penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu. (http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/).
III. TAKSONOMI TUJUAN PENDIDIKAN
A. Taksonomi Bloom
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi, dan “nomos” yang berarti aturan. Suatu pengklasifikasian atau pengelompokan yang disusun berdasarkan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Klasifikasi bidang ilmu, kaidah, dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian objek. (http://hadisiswoyo.co.cc)
Model taksonomi Bloom merupakan salah satu pengembangan teori kognitif, yang biasa sering dikaitkan dengan persoalan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan masalah standar evaluasi atau pengukuran hasil belajar sebagai pengembangan sebuah kurikulum. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom)
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi)
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
B. Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor.
1. Ranah Kognitif
Bloom membagi domain kognitif ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6). Aspek kognitif ini diurutkan secara hirarki piramidal. keenam aspek bersifat kontinum dan overlap (saling tumpang tindih) di mana aspek yang lebih tinggi meliputi semua aspek di bawahnya. (Daryanto, 1999: 102).
Sistem klasifikasinya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge)
Subkategori ini berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb.Pengetahuan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang berhubungan dengan ingatan (recall) akan hal-hal yang khusus dan umum, ingatan akan metode dan proses, atau ingatan akan sebuah pola, struktur atau lokasi. Penekanan tujuan pengetahuan lebih banyak pada proses psikologis atas upaya untuk mengingat. Pengetahuan ini dapat dikategorisasi lagi menjadi:
1) Pengetahuan khusus
Ingatan tentang potongan-potongan informasi yang spesifik dan dapat dipisahkan. Penekanannya terletak pada simbol dengan referen yang konkret. Simbol yang berada pada tingkat keabstrakan yang rendah tersebut dapat dianggap sebagai unsur yang membangun bentuk pengetahuan yang lebih rumit dan abstrak.
2) Pengetahuan tentang cara dan alat untuk menangani hal-hal yang khusus
Pengetahuan tentang cara-cara mengatur, memelajari, menilai dan mengkritik yang meliputi metode bertanya, urutan kronologis dan standar penilaian pada suatu bidang serta pola pengaturan untuk menentukan dan mengatur wilayah bidang tersebut secara internal. Pengetahuan ini berada di tingkat menengah, diantara pengetahuan tentang hal-hal yang khusus dan pengetahuan tentang hal-hal yang umum.
3) Pengetahuan tentang hal-hal umum dan hal-hal yang abstrak dalam satu bidang
Pengetahuan tentang skema dan pola besar yang mengatur fenomena dan ide. Pengetahuan ini berupa struktur, teori dan generalisasi besar yang mendominasi suatu bidang atau yang biasa digunakan untuk memelajari fenomena atau menyelesaikan masalah. Pengetahuan ini memiliki tingkat keabstrakan dan kerumitan yang tertinggi.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Pengetahuan
Ada dua ciri penting dari butir soal pengetahuan yang baik. Ciri yang pertama adalah bahwa butir soal yang baik memiliki tingkat ketepatan dan pembedaan (exactness and discrimination) yang sama dengan tingkat ketepatan dan pembedaan yang digunakan pada pembelajaran sebelumnya. Jika guru yang mengajar pada tingkat awal pengetahuan tentang aturan berbahasa atau pengetahuan tentang metodologi dalam sejarah, butir soal pada materi tersebut tidak boleh menuntut pembedaan (discrimination) yang lebih rumit atau pemakaian yang lebih tepat (exact) daripada yang telah diajarkan. Ciri yang kedua adalah bahwa butir soal yang baik tidak boleh diekspresikan (couched) dalam istilah atau situasi yang baru bagi siswa. Jika ada penggunaan istilah yang belum dikenali siswa, maka guru tidak menguji pengetahuan yang telah diajarkan melainkan kosakata yang belum dikenali (unfamiliar vocabulary).
Dua jenis utama butir soal untuk pengetahuan adalah mengisi atau melengkapi (supply) dan pilihan (choice). Pada butir soal dengan jenis mengisi atau melengkapi (supply) para siswa memberikan jawaban berdasarkan ingatan sedangkan pada butir soal dengan jenis pilihan (choice) para siswa memilih dari sejumlah alternatif yang disediakan. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
1) Mengisi atau melengkapi (supply)
Butir soal melengkapi (completion).
Secara langsung meminta siswa memberikan definisi, pernyataan dari suatu prinsip atau aturan, atau langkah-langkah sebuah metode.
Stimulus yang diberikan untuk mengingat disajikan dalam bentuk gambar atau suara.
2) Pilihan (choice)
G. Bentuk pilihan ganda untuk menguji pengetahuan terminologi atau fakta khusus.
H. Bentuk benar-salah untuk mendapatkan rapid sampling atau sample dari banyak pengetahuan dengan cepat.
I. Butir soal menjodohkan (matching)
Kemampuan dan Keterampilan Intelektual
Kemampuan dan keterampilan mengacu pada bentuk pengoperasian yang teratur dan teknik yang tergeneralisasi dalam memecahkan suatu materi dan masalah. Materi dan masalah tersebut mungkin saja hanya membutuhkan sedikit atau malah sama sekali tidak membutuhkan informasi yang khusus dan bersifat teknis. Materi dan masalah tersebut juga bisa berada di tingkatan yang lebih tinggi sehingga untuk memecahkannya diperlukan informasi khusus yang bersifat teknis. Tujuan kemampuan dan keterampilan menekankan pada proses mental dalam mengatur dan mengatur kembali materi untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pemahaman (comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dsb. Komprehensi merupakan pemahaman atau pengertian seperti ketika seseorang mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi atau ide yang sedang dikomunikasikan tersebut tanpa perlu menghubungkannya dengan materi lain atau melihat seluruh implikasinya. Kategorinya meliputi:
1) Penerjemahan
Pemahaman yang dibuktikan dengan kecermatan dan akurasi untuk memparafrase (uraian dengan kata-kata sendiri) atau menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain atau satu bentuk komunikasi ke bentuk yang lain. Materi dalam komunikasi asli tetap terjaga meskipun bentuk komunikasinya telah diubah. Atau dapat juga dimaksudkan kemampuan mengubah konsep abstrak menjadi suatu model simbolik yang memudahkan orang mempelajarinya.
J. Kemampuan memahami pernyataan secara tersirat (metafora, simbolisme, ironi).
K. Keterampilan menerjemahkan materi verbal matematis ke dalam pernyataan simbolis dan sebaliknya.
2) Interpretasi
Penjelasan atau peringkasan suatu komunikasi. Interpretasi berhubungan dengan pengaturan kembali atau suatu pandangan baru akan materi.
Kemampuan menangkap pemikiran akan sebuah karya sebagai satu kesatuan pada tingkat generalitas manapun yang diinginkan.
Kemampuan menginterpretasikan beragam jenis data sosial.
3) Ekstrapolasi
Tren atau kecenderungan yang berlanjut melampaui data yang ada guna menentukan implikasi, konsekuensi, efek, dan sebagainya yang sesuai dengan kondisi yang digambarkan dalam komunikasi asli.
Kemampuan mengambil kesimpulan dengan cepat atas sebuah karya dalam bentuk pendapat yang disusun dari pernyataan-pernyataan yang eksplisit.
Keterampilan memprediksi kelanjutan dari sebuah tren.
c. Penerapan (application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja.Pemakaian hal-hal abstrak dalam situasi konkret tertentu. Hal-hal abstrak tersebut dapat berupa ide umum, aturan atas prosedur, atau metode umum dan juga dapat dalam bentuk prinsip, ide dan teori secara teknis yang harus diingat dan diterapkan dalam situasi baru dan konkret.
Penerapan terhadap fenomena yang dibicarakan dalam satu makalah mengenai istilah atau konsep ilmiah yang digunakan pada makalah lain.
Kemampuan memprediksi efek yang mungkin timbul akibat perubahan pada suatu faktor terhadap suatu situasi biologis yang telah ada dalam equilibrium.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Penerapan
Delapan perilaku yang menunjukkan kemampuan melakukan penerapan adalah:
1) Menentukan prinsip dan generalisasi yang tepat atau relevan
2) Menyatakan kembali (restate) sebuah masalah guna menentukan prinsip dan generalisasi yang diperlukan
3) Merinci batasan suatu prinsip atau generalisasi yang membuat prinsip atau generalisasi benar atau relevan
4) Mengetahui perkecualian atas suatu generalisasi tertentu
5) Menjelaskan fenomena baru yang terdapat pada prinsip atau generalisasi yang telah diketahui
6) Melakukan prediksi dengan berdasarkan pada prinsip dan generalisasi yang tepat
7) Menentukan atau menunjukkan kebenaran (justify) suatu tindakan atau keputusan
8) Menyatakan alasan yang mendukung penggunaan suatu prinsip atau generalisasi
d. Analisis
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
1) Analisis tentang unsur
Pengidentifikasian unsur-unsur yang ada dalam suatu komunikasi.
Kemampuan untuk mengetahui asumsi yang tidak terungkapkan.
Keterampilan dalam membedakan fakta dari hipotesis.
2) Analisis tentang hubungan
Hubungan dan interaksi antara unsur-unsur dan bagian-bagian suatu komunikasi.
Kemampuan untuk memeriksa konsistensi atau ketetapan hipotese dengan informasi dan asumsi yang ada.
Keterampilan dalam memahami hubungan antara ide-ide dalam sebuah bacaan.
3) Analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan
Pengorganisasian, pengaturan sistematis, dan struktur yang menyatukan komunikasi.
Kemampuan untuk mengetahui bentuk dan pola dalam karya sastra atau karya seni sebagai alat untuk memahami artinya.
Keterampilan untuk mengetahui teknik umum yang digunakan dalam materi yang bersifat persuasif, seperti iklan, propaganda, dan sebagainya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Analisis
Kemampuan menganalisis adalah serangkaian keterampilan dan perilaku rumit yang dapat dipelajari siswa melalui praktek dengan beragam materi. Ada enam perilaku yang menunjukkan kemampuan menganalisis, yaitu:
1) Mengklasifikasikan kata, frasa atau pernyataan (subkategori taksonomi analisis tentang unsur
2) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas atau ciri yang tidak dinyatakan secara langsung (subkategori taksonomi analisis tentang unsur)
3) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas, asumsi atau kondisi yang telah dinyatakan (subkategori taksonomi analisis tentang hubungan)
4) Menggunakan kriteria untuk melihat dengan jelas (discern) pola atau urutan (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
5) Mengetahui prinsip atau pola yang menjadi dasar suatu dokumen atau karya (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
6) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kerangka kerja, tujuan atau sudut pandang (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
e. Sintesis
Penyatuan unsur-unsur dan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang berhubungan dengan proses bekerja dengan potongan-potongan, bagian-bagian, unsur-unsur, dana sebagainya, dan mengatur serta menggabungkannya dengan sedemikian rupa guna membentuk suatu pola atau struktur yang sebelumnya tidak jelas.
1) Penghasilan (production) suatu komunikasi yang unik
Pengembangan dari suatu komunikasi dimana penulis atau pembicara berupaya untuk menyampaikan ide, perasaan, dan/atau pengalaman pada orang lain.
Keterampilan dalam menulis, dengan menggunakan suatu pengaturan ide dan pernyataan yang sangat baik.
Kemampuan untuk mengungkapkan pengalaman pribadi dengan efektif.
2) Penghasilan (production) sebuah rencana atau serangkaian operasi yang diajukan
Pengembangan dari suatu rencana kerja atau proposal atas sebuah rencana operasi, yang harus memenuhi persyaratan tugas yang mungkin diberikan pada siswa atau mungkin pula dikembangkannya sendiri.
Kemampuan mengajukan cara-cara untuk menguji hipotesis.
Kemampuan merencanakan sebuah unit instruksi untuk situasi mengajar tertentu.
3) Penemuan serangkaian hubungan yang abstrak
Pengembangan dari seperangkat hubungan yang abstrak baik untuk mengklasifikasi maupun untuk menjelaskan data atau fenomena tertentu, atau deduksi dari pernyataan dan hubungan dari seperangkat pernyataan dasar atau representasi secara simbolis.
Kemampuan merumuskan hipotesis yang tepat dengan berdasarkan pada suatu analisis dari faktor-faktor yang terlibat, dan untuk memodifikasi hipotesis tersebut sesuai dengan faktor dan pertimbangan baru.
Kemampuan membuat penemuan dan generalisasi secara matematis.
f. Evaluasi
Penilaian (judgments) kuantitatif dan kualitatif mengenai nilai dari suatu materi dan metode untuk tujuan tertentu dengan menggunakan standar penilaian yang kriterianya dapat ditentukan oleh siswa sendiri atau ditentukan sebelumnya dan kemudian diberikan pada siswa tersebut.
1) Penilaian (judgments) atas bukti internal
Evaluasi atas akurasi dari suatu komunikasi yang dibuktikan melalui akurasi yang logis, konsistensi dan kriteria internal lainnya.
Menilai (judging) melalui standar internal, kemampuan untuk menilai probabilitas umum dari akurasi dalam melaporkan fakta dari kecermatan atas ketepatan pernyataan, dokumentasi, bukti dan sebagainya.
Kemampuan menunjukkan kekeliruan (fallacies) secara logis dalam argumen.
2) Penilaian (judgments) atas kriteria eksternal
Evaluasi atas materi dengan mengacu pada kriteria yang telah dipilih atau diingat.
Perbandingan dari teori besar, generalisasi, dan fakta mengenai budaya tertentu.
Menilai (judging) melalui standar eksternal, kemampuan untuk membandingkan sebuah karya dengan standar tertinggi dalam bidangnya –terutama dengan karya-karya lain yang diakui kehebatannya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Evaluasi
Terdapat enam perilaku yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan evaluasi, yaitu:
1) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan akurasi, ketepatan (precision), dan kecermatan (akurasi internal)
2) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan konsistensi atas argumen; hubungan antara asumsi, bukti, dan kesimpulan, dan konsistensi internal dari logika dan pengaturan (organization) (konsistensi internal)
3) Mengetahui nilai dan sudut pandang yang digunakan pada penilaian (judgments) atas sebuah karya (kriteria internal)
4) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan membandingkannya dengan karya lain yang relevan (kriteria eksternal)
5) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan menggunakan seperangkat kriteria atau standar yang tersedia (kriteria eksternal)
6) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya menggunakan seperangkat kriteria atau standar eksplisit yang dimiliki siswa (kriteria eksternal)
Pada prinsipnya untuk ranah kognitif untuk keperluan evaluasi pengajaran dapat dikembangkan teknik tes dalam bentuk objektif dan uraian.
2. Ranah Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol dengan lima subkategori; penerimaan (Receiving/Attending), tanggapan (Responding), penghargaan/penilaian (Valuing), pengorganisasian (Organization), dan karakterisasi berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex).
a. Penerimaan (berkonsentrasi / attending)
Siswa menjadi peka terhadap keberadaan dari fenomena dan stimuli tertentu, sehingga ia bersedia menerima atau berkonsentrasi pada (attend to) fenomena dan stimuli tersebut. Ini merupakan langkah pertama yang penting dalam mengarahkan siswa untuk memelajari apa yang diinginkan guru.
1) Kesadaran
Kesadaran hampir merupakan perilaku kognitif. Pembelajar menyadari akan sesuatu yang kemudian dipertimbangkannya seperti sebuah situasi, fenomena, obyek, atau urusan tertentu. Seseorang mungkin saja tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize) aspek-aspek stimulus yang menimbulkan kesadaran.
2) Kemauan untuk menerima
Menunjukkan perilaku bersedia menerima (tolerate) stimulus yang diberikan, bukan menghindarinya. Perilaku ini melibatkan adanya kenetralan atau penilaian yang tertunda (suspended judgment) terhadap stimulus.
3) Perhatian yang terkontrol atau terpilih
Di tingkat ini penerimaan masih tanpa ketegangan atau asesmen dan siswa mungkin tidak tahu istilah atau simbol teknis untuk menggambarkan sebuah fenomena dengan benar dan tepat pada orang lain. Terdapat unsur dimana pembelajar mengontrol perhatian sehingga ia dapat memilih dan menerima stimulus yang diinginkan.
b. Respon (tanggapan)
Menunjukkan keinginan atau hasrat bahwa seorang anak menjadi terlibat dalam atau memberikan komitmen pada suatu subyek, fenomena, atau kegiatan sehingga ia akan mencari dan memeroleh kepuasan untuk bekerja dengan atau melibatkan diri pada subyek, fenomena, atau kegiatan tersebut.
1) Kepasrahan (acquiescence) dalam merespon
Terdapat suatu perilaku yang pasif dan stimulus yang memancing perilaku ini sulit untuk diterima atau digambarkan (subtle). Terdapat lebih banyak unsur reaksi terhadap sebuah gagasan dan lebih sedikit implikasi dari penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly).
2) Kesediaan untuk merespon
Pembelajar cukup berkomitmen untuk menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia untuk merespon bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi seseorang.
3) Kepuasan dalam merespon
Unsur tambahan pada langkah yang melampaui tingkat respon secara sukarela, adalah bahwa perilaku yang tampak disertai dengan rasa puas, suatu respon emosional, yang umumnya menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita.
c. Menilai (Valuing)
Konsep nilai yang abstrak ini sebagian merupakan hasil dari penilaian (valuing) atau asesmen (assessment) dan juga merupakan hasil sosial yang perlahan-lahan telah terserap dalam diri siswa (internalized) atau diterima dan digunakan siswa sebagai kriteria untuk melakukan penilaian. Unsur utama yang terdapat pada perilaku dalam melakukan penilaian adalah bahwa perilaku tersebut dimotivasi, bukan oleh keinginan untuk menjadi siswa yang patuh, namun oleh komitmen terhadap nilai yang mendasari munculnya perilaku.
1) Penerimaan atas nilai
Ciri utama perilaku ini adalah konsistensi respon pada kelompok obyek, fenomena, dan sebagainya, yang digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan atau sikap.
2) Pemilihan atas nilai
Perilaku pada tingkatan ini tidak hanya menunjukkan penerimaan seseorang atas suatu nilai sehingga ia bersedia diidentifikasi berdasarkan nilai tersebut, namun ia juga cukup terikat pada nilai tersebut sehingga ia ingin mengejar, mencari, dan menginginkannya.
3) Komitmen
Keyakinan pada tingkatan ini menunjukkan kadar kepastian yang tinggi. Komitmen merupakan penerimaan emosional yang kuat atas suatu keyakinan. Kesetiaan terhadap posisi, kelompok atau tujuan juga termasuk dalam komitmen.
d. Pengaturan (organization)
Ketika pembelajar telah menyerap nilai, ia menemui situasi dimana ada lebih dari satu nilai yang relevan sehingga ia perlu melakukan (a) pengaturan beberapa nilai ke dalam sebuah sistem, (b) penentuan hubungan diantara nilai-nilai tersebut, dan (c) penetapan nilai-nilai yang dominan dan mencakup segala hal.
1) Konseptualisasi suatu nilai
Pada tingkatan ini kualitas keabstrakan atau konseptualisasi menjadi bertambah yang membuat seseorang melihat bagaimana nilai tersebut berhubungan dengan nilai yang telah diyakininya atau nilai baru yang akan diyakininya.
2) Pengaturan suatu sistem nilai
Meminta pembelajar untuk menyatukan sekelompok nilai yang sama, atau mungkin nilai-nilai yang berbeda, dan membawanya ke dalam suatu hubungan dengan nilai lain yang telah diatur dengan baik. Pengaturan nilai dapat menghasilkan sintesis yang berupa suatu nilai baru atau kelompok nilai dengan tingkatan yang lebih tinggi.
e. Karakterisasi melalui suatu nilai atau kelompok nilai
Pada tingkat penyerapan atau internalisasi nilai ini, nilai telah diatur menjadi sebuah sistem yang konsisten secara internal dan telah mengontrol perilaku seseorang yang menganutnya.
1) Perangkat yang tergeneralisasi (Generalized set)
Memberikan suatu konsistensi internal terhadap sistem sikap dan nilai pada saat-saat tertentu yang juga merupakan suatu dasar orientasi yang memungkinkan seseorang untuk mempersempit dan mengatur dunia yang kompleks yang ada di sekitarnya dan untuk bertindak secara konsisten dan efektif.
2) Penentuan karakter
Ini merupakan tingkatan teratas dari proses penyerapan atau internalisasi nilai yang berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap dunia, filosofi hidupnya, serta sebuah sistem nilai dengan obyek berupa seluruh bagian dari apa yang telah diketahui atau dapat diketahuinya.
Metode untuk Mengevaluasi Hasil-hasil Afektif
1) Observasi
Observasi memungkinkan tercapainya asesmen perilaku afektif yang cepat di lokasi tempat subyek berada. Observasi harian juga memungkinkan tercapainya kesimpulan yang lebih langsung dan lebih aman mengenai pola perilaku afektif ketimbang data dari instrumen administrasi tertulis. Dengan mendengarkan apa yang dikatakan siswa pada temannya dan dengan mengobservasi mereka setiap hari, pola-pola perilaku afektif dapat diidentifikasi.
2) Wawancara
Wawancara adalah pertemuan tatap muka secara langsung dimana pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikembangkan dengan cermat kepada siswa. Bentuk wawancara bisa terstruktur, bisa pula tidak. Wawancara tidak terstruktur memperluas dan memperdalam infomasi evaluatif dengan mendorong ekspresi pribadi dari sikap siswa yang lebih spontan dan lebih cepat.
3) Pertanyaan Open-Ended
Pertanyaan open-ended membutuhkan pernyataan tertulis yang panjangnya bisa beragam.
4) Kuisioner Closed-Item
Kuisioner dengan pilihan-pilihan yang ditentukan hampir sama dengan wawancara terstruktur yang telah dibahas sebelumnya, hanya saja disini responden melengkapi kuisioner tanpa bantuan pewawancara. Ada dua jenis kuisioner closed-item, yaitu menentukan peringkat (ranking) atau pilihan yang dipaksakan (forced choice) dan skala.
3. Ranah Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom. Dari beberapa sumber yang ada rumusan subkategori yang tidak sama baik jumlah maupun istilah yang dipakai.
Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom, ranah ini terbagi dalam enam kategori jenjang kemampuan yaitu Persepsi (Perception), kesiapan (Set), guided Response (respon Terpimpin), mekanisme (Mechanism), respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response), Penyesuaian (Adaptation), Penciptaan (Origination).
Keenam subketegori tersebut menurut Daryanto (1999:123) masih dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama, yakni keterampilan motorik (muscular or motor skill), manipulasi benda-benda (manipulation of material or objects) dan koordinasi neuromuscular.
Menurut Harrow sebagaimana dikutip oleh Hadi Siswoyo dalam http://hadisiswoyo.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=39, Ranah Psikomotorik ada 5 tingkat yaitu (1)meniru, (2) manipulasi, (3) ketepatan gerakan, (4) artikulasi dan (5) naturalisasi.
Gambaran tentang tingkat klasifikasi dan subkategori ranah psikomotor dapat dilihat dari skema berikut:
Tingkat Klasifikasi dan subkategori Batasan Tingkah laku
1. Gerakan Refleks
1.1. Refleks segmental
1.2. Refleks intersegmental
1.3. Refleks suprasegemental Kegiatan yang timbul tanpa sadar dalam menjawab rangsangan Bungkuk, meregangkan badan, penyesuaian postur tubuh.
2. Gerakan fundamental yang dasar
2.1. Gerakan lokomotor
2.2. Gerakan nonlokomotor
2.3. Gerakan manipulative
Pola-pola gerakan yang dibentuk dari paduan gerakan-gerakan reflex dan merupakan dasar gerakan terampil kompleks. Jalan, lari, lompat, luncur, guling, mendaki, mendorong, tarik, pelintir, pegang dsb.
3. Kemampuan Perseptual
3.1. Diskriminasi kinestetis
3.2. Diskriminasi visual
3.3. Diskriminasi Auoditeoris
3.4. Diskriminasi Taktil
3.5. Diskriminasi Terkoordinir Interpretasi stimulasi dengan berbagai cara yang memberi data untuk siswa membuat penyesuaian dengan lingkungannya Hasil-hasil kemampuan perseptual diamati dalam semua gerakan yang disengaja
4. Kemampuan Fisik
4.1. Ketahanan
4.2. Kekuatan
4.3. Fleksibilitas
4.4. Agilitas Karakteristik fungsional dari kekuatan organic yang esensial bagi perkembangan gerakan yang sangat terampil Lari jauh, berenang, gulat, balet, mengetik dsb.
5. Gerakan Terampil
5.1. Keterampilan Adaptif
5.2. Keterampilan Adaptif terpadu
5.3. Keterampilan Adaptif kompleks Suatu tingkat efisiensi apabila melakukan tugas-tugas gerakan kompleks yang didasarkan atas pola gerak yang inheren Semua keterampilan yang dibentuk atas lokomotor dan pola gerakan manipulatif
6. Komunikasi Nondiskursif
6.1. Gerakan Ekspresif
6.2. Gerakan Interpretatif Komunikasi melalui gerakan tubuh mulai dari ekspresi muka sampai gerakan koreografis yang rumit Gerakan muka, semua gerakan tarian dan koreografis yang dilakukan dengan efisien
Pada ranah psikomotorik ini evaluasi yang dapat dikembangkan adalah tes kinerja (performance) atau praktik.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan evaluasi dan taksonomi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Evaluasi dalam sistem pendidikan dan pengajaran adalah komponen yang urgen yang harus dilakukan terutama untuk tujuan mengetahui pencapaian keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran yang telah dijalankan.
2. Tujuan pengajaran pada dasarnya adalah diperolehnya bentuk perubahan tingkah laku baru pada peserta didik yang menurut Benyamin S Bloom terbagi dalam tiga ranah tujuan pengajaran yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikenal dengan taksonomi Bloom.
3. Taksonomi Bloom dikembangkan dari teori psikologi kognitif dan dirumuskan pertama kali tahun 1956. Setiap ranah/domain tersusun atas kategori-kategori atau subkategori yang menunjukkan tingkat kemampuan yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik
4. Dalam evaluasi pendidikan taksonomi Bloom dapat digunakan sebagai acuan melakukan penilaian secara lebih komprehensif dan terperinci mencakup ketiga ranah (kognitif, afektif dan psikomotor) dan mencakup sub-sub kategorinya.
B. Penutup
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
Bibliografi
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Departemen Agama RI, Dirjend Pendidikan Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Serta UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Depag RI, 2006)
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,(Jakarta: PT Gramedia,1992).
Haryono, A. 1999, Evaluasi Pengajaran. Semarang : FMIPA IKIP Semarang.
http://dokumens.multiply.com/journal/item/34
http://evaluasipendidikan.blogspot.com/2008/03/pengukuran-penilaian-dan-evaluasi.html
http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/15489
http://hadisiswoyo.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=39
http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom
http://jurnalpaedagogy.wordpress.com/category/evaluasi-pendidikan/
http://m-thohir.blogspot.com/2008/02/kompleksitas-revisi-taksonomi-bloom.html
http://prasastie.multiply.com/journal/item/47/TAKSONOMI_BLOOM_oleh_I._Prasastie
http://re-searchengines.com/afdhee5-07.html
http://statistikpendidikanii.blogspot.com/
http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/
Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan., (Jakarta:Rajawali Pers, 1996)
Sudjana, Nana, Dr., Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996).
Tayibnapis, Farida Yusuf Dr., M.Pd, Evaluasi Program, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000).
Thoha, M. Chabib, Teknik evaluasi pendidikan (Jakarta: Rajawali Press,1996).
Evaluasi dalam rangkaian proses pendidikan merupakan hal yang sangat urgen. Hal ini mengingat evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi ini dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. (Depag RI, 2006:67).
Pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan dan potensi individu baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat merupakan usaha sadar yang bertujuan mendewasakan anak mencakup kedewasaan fisik, intelektual, sosial dan moral. (Nana Sudjana, 1996:2) Operasionalisasi pendidikan tersebut dalam lingkup yang lebih kecil ditempuh melalui proses belajar mengajar atau pengajaran. Pengajaran adalah interaksi siswa dengan lingkungan belajar yang dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran, yakni kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Tujuan pengajaran pada dasarnya adalah diperolehnya bentuk perubahan tingkah laku baru pada siswa, sebagai akibat dari proses belajar mengajar. Perubahan tingkah laku dalam pengertian luas seperti dikemukakan Kingsley mencakup keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan, pengertian serta sikap dan cita-cita. Sedangkan menurut Gagne mencakup keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Adapun menurut Benyamin S Bloom dibedakan dalam tiga ranah, yakni ranah kognitif (aspek intelektual), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (keterampilan). (Nana Sudjana, 1996:6)
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan mengadakan evaluasi. Evaluasi pendidikan dan pengajaran merupakan kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar. Karena itu evaluasi menjadi hal yang penting dan sangat dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, karena evaluasi dapat mengukur dan menilai seberapa jauh keberhasilan peserta didik dalam menyerap materi yang diajarkan. Dengan evaluasi pula, kita dapat mengetahui titik kelemahan serta mempermudah upaya mencari jalan keluar untuk perbaikan ke depan. Dalam tataran makro, menurut Farida Tayib (2000:1) evaluasi akan memberikan informasi yang lebih akurat untuk membantu perbaikan dan pengembangan sistem pendidikan.
Makalah ini akan membahas konsep dasar evaluasi dan taksonomi tujuan pendidikan. Karena dikaitkan dengan taksonomi maka pembahasan dibatasi dan difokuskan hanya pada evaluasi terhadap peserta didik dalam bentuk evaluasi hasil belajar yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
II. KONSEP DASAR EVALUASI PENDIDIKAN
A. Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi Pendidikan.
Sebelum menjelaskan pengertian evaluasi pendidikan lebih lanjut akan dikemukakan dulu pengertian pengukuran dan penilaian. Karena berbicara mengenai evaluasi selalu berkait dengan pengukuran dan penilaian. Dan terkadang ketiga istilah ini memunculkan kerancuan dan saling dipertukarkan (interchangeable).
1. Pengukuran
Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3) Jika kita mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, atau mengukur jarak kota A dengan kota B, maka sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah mengkuantifikasi keadaan seseorang atau tempat ke dalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif.
Dalam dunia pendidikan, Menurut Mardapi (2004: 14) pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan penentuan angka terhadap suatu obyek secara sistematis. Karakteristik yang terdapat dalam obyek yang diukur ditransfer menjadi bentuk angka sehingga lebih mudah untuk dinilai. aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia seperti kognitif, afektif dan psikomotor dirubah menjadi angka. Karenanya, kesalahan dalam mengangkakan aspek-aspek ini harus sekecil mungkin. Kesalahan yang mungkin muncul dalam melakukan pengukuran khususnya dibidang ilmu-ilmu sosial dapat berasal dari alat ukur, cara mengukur dan obyek yang diukur.
Pengukuran dalam bidang pendidikan erat kaitannya dengan tes. Hal ini dikarenakan salah satu cara yang sering dipakai untuk mengukur hasil yang telah dicapai siswa adalah dengan tes. Selain dengan tes, terkadang juga dipergunakan nontes. Jika tes dapat memberikan informasi tentang karakteristik kognitif dan psikomotor, maka nontes dapat memberikan informasi tentang karakteristik afektif obyek. (http://statistikpendidikanii.blogspot.com/)
2. Penilaian
Penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Karenanya, menurut Djemari Mardapi (1999: 8) penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran. Menurut Cangelosi (1995: 21) penilaian adalah keputusan tentang nilai. Oleh karena itu, langkah selanjutnya setelah melaksanakan pengukuran adalah penilaian. Penilaian dilakukan setelah siswa menjawab soal-soal yang terdapat pada tes. Hasil jawaban siswa tersebut ditafsirkan dalam bentuk nilai. Menurut Djemari Mardapi (2004: 18) ada dua acuan yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma dan acuan kriteria. Dalam melakukan penilaian dibidang pendidikan, kedua acuan ini dapat dipergunakan. Acuan norma berasumsi bahwa kemampuan seseorang berbeda serta dapat digambarkan menurut kurva distribusi normal. Sedangkan acuan kriteria berasumsi bahwa apapun bisa dipelajari semua orang namun waktunya bisa berbeda.
Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek. Dengan adanya acuan norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang digunakan. Misalnya, kecepatan kendaraan 40 km/jam akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila kendaraan tersebut adalah sepeda dan mobil.
3. Evaluasi
Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation. Dalam bahasa Indonesia berarti ‘penilaian’.(Anas Sudijono, 1998: 1) Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (1992:220) evaluation berarti penilaian atau penaksiran.
M. Chabib Thoha (1996:1) mengatakan bahwa Evaluasi berarti suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu, apakah sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak. Evaluasi berarti kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur tertentu guna memperoleh kesimpulan. Evaluasi pendidikan dan pengajaran adalah proses kegiatan untuk mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Anne Anastasi sebagaimana dikutip Sudijono (1998:1) mengatakan bahwa Evaluasi bukan saja sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.
Evaluasi Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1) adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Dalam bidang pendidikan, evaluasi sebagaimana dikatakan Gronlund merupakan proses yang sistematis tentang mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan sejauhmana tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa.
Dari beberapa pendapat di atas, ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari evaluasi yaitu: (1) sebagai kegiatan yang sistematis, pelaksanaan evaluasi haruslah dilakukan secara berkesinambungan. Sebuah program pembelajaran seharusnya dievaluasi di setiap akhir program tersebut, (2) dalam pelaksanaan evaluasi dibutuhkan data dan informasi yang akurat untuk menunjang keputusan yang akan diambil. Asumsi-asumsi ataupun prasangka. bukan merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam evaluasi, dan (3) kegiatan evaluasi dalam pendidikan tidak pernah terlepas dari tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. (http://statistikpendidikanii.blogspot.com/)
B. Tujuan Evaluasi
Evaluasi telah memegang peranan penting dalam pendidikan antara lain memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk :
o Membuat kebijaksanaan dan keputusan
o Menilai hasil yang dicapai para pelajar
o Menilai kurikulum
o Memberi kepercayaan kepada sekolah
o Memonitor dana yang telah diberikan
o Memperbaiki materi dan program pendidikan
(http://dokumens.multiply.com/journal)
Dr. Muchtar Buchori M.Ed. Mengemukakan bahwa tujuan khusus evaluasi pendidikan ada 2 yaitu :
o Untuk mengetahui kemajuan peserta didik setelah ia mengalami pendidikan selama jangka waktu tertentu.
o Untuk mengetahui tingkat efisiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidik selama jangka waktu tertentu tadi.
( http://dokumens.multiply.com/journal)
Secara konklusif Haryono (1999 : 1-3) menjelaskan tujuan evaluasi berkaitan dengan perencanaan, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pengajaran, baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Oleh karena itu keputusan yang diambil dari hasil evaluasi dapat menyangkut :
1. Keputusan dalam bidang pengajaran
Dalam keputusan yang menyangkut bidang pengajaran ini hasil evaluasi dipakai sebagai pedoman untuk langkah-langkah memperbaiki cara mengajar guru, metode pengajaran, strategi mengajar. Sudah tepat atau belum suatu metode atau strategi mengajar dapat dilihat dari hasil evaluasi yang diadakan setelah proses belajar mengajar selesai. Jika hasil evaluasi menunjukkan nilai kurang, berarti metode atau strategi mengajar perlu diperbaiki. Jika hasil evaluasi sudah baik, berarti metode atau strategi mengajar sudah baik dan memadai.Untuk mengetahui apakah cara mengajar kita sudah baik atau belum, maka perlu diadakan tes formatif. Jadi nilai tes formatif tidak dijadikan pedoman untuk mengisi raport atau kenaikan kelas, tetapi untuk mengambil keputusan cara mengajarnya sudah tepat atau belum.
2. Keputusan tentang hasil belajar
Dilihat dari sudut proses belajar siswa, evaluasi digunakan untuk menilai pencapaian belajar siswa. Nilai evaluasi dalam hal ini dipergunakan untuk mengisi raport, untuk menentukan naik kelas atau tidak, lulus atau tidak. Komponen untuk keperluan ini biasanya menggunakan tes ulangan harian. Tes ulangan harian atau tes formatif pada umumnya diadakan untuk pokok bahasan yang lebih kecil, tetapi tes sumatif biasanya diadakan untuk pokok bahasan yang lebih luas.
3. Keputusan dalam rangka diagnosis atau usaha perbaikan
Kesulitan belajar siswa perlu dicari sebab-sebabnya dan ditanggulangi melalui usaha-usaha perbaikan. Tes diagnostic diselenggarakan untuk mengetahui dalam bidang mana siswa telah atau belum menguasai kompetensi tertentu, dengan kata lain tes diagnostic berusaha mengungkapkan kekuatan atau kelemahan siswa mengenai bahan yang diujikan. Sepintas lalu tes diagnostic hampir sama dengan tes untuk bidang pengajaran. Bedanya tes untuk bidang pengajaran berorientasi pada masa lalu, maksudnya bagaimana kesulitan itu dapat terjadi. Perlu diketahui juga bahwa untuk mengungkapkan kelemahan siswa tidak dengan tes diagnostik, tetapi dapat menggunakan cara-cara lain, analisis tugas sehari-hari, informasi keadaan rumah tangga. Setelah diketahui kesulitan ataukelemahan belajar siswa, barulah diusahakan kemungkinan-kemungkinan usaha perbaikan.
4. Keputusan berkenaan dengan penempatan
Tes untuk penjurusan atau pemilihan program termasuk tes penempatan. Dengan tes penempatan siswa dapat di bagi-bagi menurut tingkat kemampuannya, hal ini dimaksudkan agar siswa dapat belajar dengan baik dan siswa terhindar dari kesulitan. Tes bakat atau tes minat adalah salah satu tes yang digunakan untuk memilih dan menempatkan siswa sesuai dengan kemampuannya.
5. Keputusan yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling
Dilihat dari kepentingan tiap siswa, pelayanan bimbingan dan konseling adalah agar siswa mampu mengenali dan menerima keadaan dirinya sendiri, serta atas dasar pengenalan penerimaan diri sendiri ini siswa mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, termasuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai bakatnya. Untuk sasaran petugas bimbingan dan konseling, hanya mungkinmelaksanakan tugasnya dengan baik jika dia dilengkapi dengan informasi yang lengkap dan tepat, ini dimaksudkan agar hasil evaluasi untuk kepentingan tersebut.
6. Keputusan berkenaan dengan kurikulum
Salah satu kegunaan hasil evaluasi adalah untuk menguji isi kurikulum dan pelaksanaan pengajaran. Dalam program pendidikan isi kurikulum dan rancangan pengajaran beserta berbagai penunjangnya dapat diuji keunggulannya.
7. Keputusan berkenaan dengan kelembagaan
Sering terjadi bahwa suatu lembaga pendidikan tidak seproduktif dengan lembaga pendidikan yang lain. Ada yang siswanya jarang bisa lulus tepat pada waktunya, tetapi ada lembaga lain yang siswanya selalu dapat selesai tepat waktu yang telah terprogramkan.
Untuk SLTP-SMA ada sekolah yang kemudian oleh masyarakat dinilai sekolah favorit, tetapi ada yang dinilai sekolah rawan. Untuk membandingkan lembaga yang satu dengan yang lain atau sekolah yang satu dengan yang lain perlu diadakan alat ukur atau evaluasi. Hasil evaluasi ini barulah dapat dipergunakan untuk menilai atau memberi predikat pada lembaga atau sekolah-sekolah tersebut. Dalam hal ini lembaga-lembaga atau sekolah-sekolah yangdinilai kurang, punya kewajiban untuk mengejar kekurangan tersebut.
C. Fungsi Evaluasi
Dengan mengetahui tujuan evaluasi maka dapat diketahui pula fungsi evaluasi pendidikan. Menurut Suharsimi Arikunto (1995: 11) fungsi evaluasi tersebut antara lain:
1. Evaluasi berfungsi selektif
Fungsi seleksi ini antara lain bertujuan:
a. untuk memilih siswa yang diterima di sekolah tertentu.
b. Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya.
c. Untuk keperluan pemberian beasiswa.
2. Evaluasi berfungsi diagnostik
Dengan evaluasi dapat diketahui kelemahan-kelemahan siswa serta penyebabnya.
3. Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
4. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan.
Jika evaluasi dipandang dari sudut masing-masing komponen pendidikan maka evaluasi dapat berfungsi antara lain:
1. Fungsi evaluasi bagi siswa
Bagi siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaian keberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini ada dua kemungkinan :
a. Hasil bagi siswa yang memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini siswa akan termotivasi untuk belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan datang. Namun, dapat pula terjadi sebaliknya, setelah memperoleh hasil yang memuaskan siswa tidak rajin belajar sehingga pada waktu berikutnya hasilnya menurun.
b. Hasil bagi siswa yang tidak memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka pada kesempatan yang akan datang dia akan berusaha memperbaikinya. Oleh karena itu, siswa akan giat belajar. Tetapi bagi siswa yang kurang motivasi atau lemah kemauannya akan menjadi putus asa
2. Fungsi evaluasi bagi guru
a. Dapat mengetahui siswa manakah yang menguasai pelajran dan siswa mana pula yang belum. Dalam hal ini hendaknya guru memberikan perhatian kepada siswa yang belum berhasil sehingga pada akhirnya siswa mencapai keberhasilan yang diharapkan.
b. Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah disampaikan itu dikuasai oleh siswa atau belum.
c. Dapat mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalam menyajikan bahan pelajaran tersebut.
d. Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat dijadikan bahan remidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.
3. Fungsi evaluasi bagi sekolah
a. Untuk mengukur ketepatan kurikulum atau silabus. Melalui evaluasi terhadap pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka akan dapat diketahui apakah ketepatan kurikulum telah tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan atau belum. Dari hasil penilaian tersebut juga sekolah dapat menetapkan langkah-langkah untuk perencanaan program berikutnya yang lebih baik.
b. Untuk mengukur tingkat kemajuan sekolah. Sudah barang tentu jika hasil penilaian yang dilakukan menunjukkan tanda-tanda telah terlaksananya kurikulum sekolah dengan baik, maka berarti tingkat ketepatan dan kemajuan telah tercapai sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi sebaliknya jika tand-tanda itu menunjukkan tidak tercapainya sasaran yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ketepatan dan kemajuan sekolah perlu ditingkatkan.
c. Mengukur keberhasilan guru dalam mengajar. Melalui evaluasi yang telh dilaksanakan dalam pengajaran merupakan bahan informasi bagi guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam melaksanakan pengajaran.
d. Untuk meningkatkan prestasi kerja. Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai dalm pengajaran akan mendorong bagi sekolah atau guru untuk terus meningkatkan prestasi kerja yang telah dicapai dan berusaha memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mungkin terjadi.
D. Prinsip-Prinsip Evaluasi
1. Keterpaduan
Evaluasi harus dilakukan dengan prinsip keterpaduan antara tujuan intruksional pengajaran, materi pembelajaran dan metode pengajaran.
2. Keterlibatan peserta didik Prinsip ini merupakan suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternatif, tapi kebutuhan mutlak.
3. Koherensi
Evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur.
4. Pedagogis
Perlu adanya alat penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa.
5. Akuntabel
Hasil evaluasi haruslah menjadi alat akuntabilitas atau bahan pertnggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seeprti orangtua siswa, sekolah, dan lainnya. (Daryanto, 1999:19-21)
E. Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non Tes (http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/)
1. Teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.
a. Rating scale atau skala bertingkat
Skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudian dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yang lain.
b. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya. Sedangkan kuesioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabila yang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada jawaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.
c. Daftar cocok
Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan beserta dengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.
d. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informasi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informsi-informasi yang diperlukan saja.
e. Pengamatan atau observasi
Pengamatan atau observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihat sebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1) observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalam kelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yang telah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yang terdapat dalam obejek pengamatan.
f. Riwayat hidup
Evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.
2. Teknik tes.
Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :
a. Tes diagnostik
b. Tes formatif
c. Tes sumatif
F. Prosedur Melaksanakan Evaluasi
Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosedur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknik apa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, di mana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)
2. Pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan)
3. Verifikasi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)
4. Pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS )
5. Penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu. (http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/).
III. TAKSONOMI TUJUAN PENDIDIKAN
A. Taksonomi Bloom
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi, dan “nomos” yang berarti aturan. Suatu pengklasifikasian atau pengelompokan yang disusun berdasarkan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Klasifikasi bidang ilmu, kaidah, dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian objek. (http://hadisiswoyo.co.cc)
Model taksonomi Bloom merupakan salah satu pengembangan teori kognitif, yang biasa sering dikaitkan dengan persoalan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan masalah standar evaluasi atau pengukuran hasil belajar sebagai pengembangan sebuah kurikulum. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom)
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi)
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
B. Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor.
1. Ranah Kognitif
Bloom membagi domain kognitif ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6). Aspek kognitif ini diurutkan secara hirarki piramidal. keenam aspek bersifat kontinum dan overlap (saling tumpang tindih) di mana aspek yang lebih tinggi meliputi semua aspek di bawahnya. (Daryanto, 1999: 102).
Sistem klasifikasinya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge)
Subkategori ini berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb.Pengetahuan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang berhubungan dengan ingatan (recall) akan hal-hal yang khusus dan umum, ingatan akan metode dan proses, atau ingatan akan sebuah pola, struktur atau lokasi. Penekanan tujuan pengetahuan lebih banyak pada proses psikologis atas upaya untuk mengingat. Pengetahuan ini dapat dikategorisasi lagi menjadi:
1) Pengetahuan khusus
Ingatan tentang potongan-potongan informasi yang spesifik dan dapat dipisahkan. Penekanannya terletak pada simbol dengan referen yang konkret. Simbol yang berada pada tingkat keabstrakan yang rendah tersebut dapat dianggap sebagai unsur yang membangun bentuk pengetahuan yang lebih rumit dan abstrak.
2) Pengetahuan tentang cara dan alat untuk menangani hal-hal yang khusus
Pengetahuan tentang cara-cara mengatur, memelajari, menilai dan mengkritik yang meliputi metode bertanya, urutan kronologis dan standar penilaian pada suatu bidang serta pola pengaturan untuk menentukan dan mengatur wilayah bidang tersebut secara internal. Pengetahuan ini berada di tingkat menengah, diantara pengetahuan tentang hal-hal yang khusus dan pengetahuan tentang hal-hal yang umum.
3) Pengetahuan tentang hal-hal umum dan hal-hal yang abstrak dalam satu bidang
Pengetahuan tentang skema dan pola besar yang mengatur fenomena dan ide. Pengetahuan ini berupa struktur, teori dan generalisasi besar yang mendominasi suatu bidang atau yang biasa digunakan untuk memelajari fenomena atau menyelesaikan masalah. Pengetahuan ini memiliki tingkat keabstrakan dan kerumitan yang tertinggi.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Pengetahuan
Ada dua ciri penting dari butir soal pengetahuan yang baik. Ciri yang pertama adalah bahwa butir soal yang baik memiliki tingkat ketepatan dan pembedaan (exactness and discrimination) yang sama dengan tingkat ketepatan dan pembedaan yang digunakan pada pembelajaran sebelumnya. Jika guru yang mengajar pada tingkat awal pengetahuan tentang aturan berbahasa atau pengetahuan tentang metodologi dalam sejarah, butir soal pada materi tersebut tidak boleh menuntut pembedaan (discrimination) yang lebih rumit atau pemakaian yang lebih tepat (exact) daripada yang telah diajarkan. Ciri yang kedua adalah bahwa butir soal yang baik tidak boleh diekspresikan (couched) dalam istilah atau situasi yang baru bagi siswa. Jika ada penggunaan istilah yang belum dikenali siswa, maka guru tidak menguji pengetahuan yang telah diajarkan melainkan kosakata yang belum dikenali (unfamiliar vocabulary).
Dua jenis utama butir soal untuk pengetahuan adalah mengisi atau melengkapi (supply) dan pilihan (choice). Pada butir soal dengan jenis mengisi atau melengkapi (supply) para siswa memberikan jawaban berdasarkan ingatan sedangkan pada butir soal dengan jenis pilihan (choice) para siswa memilih dari sejumlah alternatif yang disediakan. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
1) Mengisi atau melengkapi (supply)
Butir soal melengkapi (completion).
Secara langsung meminta siswa memberikan definisi, pernyataan dari suatu prinsip atau aturan, atau langkah-langkah sebuah metode.
Stimulus yang diberikan untuk mengingat disajikan dalam bentuk gambar atau suara.
2) Pilihan (choice)
G. Bentuk pilihan ganda untuk menguji pengetahuan terminologi atau fakta khusus.
H. Bentuk benar-salah untuk mendapatkan rapid sampling atau sample dari banyak pengetahuan dengan cepat.
I. Butir soal menjodohkan (matching)
Kemampuan dan Keterampilan Intelektual
Kemampuan dan keterampilan mengacu pada bentuk pengoperasian yang teratur dan teknik yang tergeneralisasi dalam memecahkan suatu materi dan masalah. Materi dan masalah tersebut mungkin saja hanya membutuhkan sedikit atau malah sama sekali tidak membutuhkan informasi yang khusus dan bersifat teknis. Materi dan masalah tersebut juga bisa berada di tingkatan yang lebih tinggi sehingga untuk memecahkannya diperlukan informasi khusus yang bersifat teknis. Tujuan kemampuan dan keterampilan menekankan pada proses mental dalam mengatur dan mengatur kembali materi untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pemahaman (comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dsb. Komprehensi merupakan pemahaman atau pengertian seperti ketika seseorang mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi atau ide yang sedang dikomunikasikan tersebut tanpa perlu menghubungkannya dengan materi lain atau melihat seluruh implikasinya. Kategorinya meliputi:
1) Penerjemahan
Pemahaman yang dibuktikan dengan kecermatan dan akurasi untuk memparafrase (uraian dengan kata-kata sendiri) atau menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain atau satu bentuk komunikasi ke bentuk yang lain. Materi dalam komunikasi asli tetap terjaga meskipun bentuk komunikasinya telah diubah. Atau dapat juga dimaksudkan kemampuan mengubah konsep abstrak menjadi suatu model simbolik yang memudahkan orang mempelajarinya.
J. Kemampuan memahami pernyataan secara tersirat (metafora, simbolisme, ironi).
K. Keterampilan menerjemahkan materi verbal matematis ke dalam pernyataan simbolis dan sebaliknya.
2) Interpretasi
Penjelasan atau peringkasan suatu komunikasi. Interpretasi berhubungan dengan pengaturan kembali atau suatu pandangan baru akan materi.
Kemampuan menangkap pemikiran akan sebuah karya sebagai satu kesatuan pada tingkat generalitas manapun yang diinginkan.
Kemampuan menginterpretasikan beragam jenis data sosial.
3) Ekstrapolasi
Tren atau kecenderungan yang berlanjut melampaui data yang ada guna menentukan implikasi, konsekuensi, efek, dan sebagainya yang sesuai dengan kondisi yang digambarkan dalam komunikasi asli.
Kemampuan mengambil kesimpulan dengan cepat atas sebuah karya dalam bentuk pendapat yang disusun dari pernyataan-pernyataan yang eksplisit.
Keterampilan memprediksi kelanjutan dari sebuah tren.
c. Penerapan (application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja.Pemakaian hal-hal abstrak dalam situasi konkret tertentu. Hal-hal abstrak tersebut dapat berupa ide umum, aturan atas prosedur, atau metode umum dan juga dapat dalam bentuk prinsip, ide dan teori secara teknis yang harus diingat dan diterapkan dalam situasi baru dan konkret.
Penerapan terhadap fenomena yang dibicarakan dalam satu makalah mengenai istilah atau konsep ilmiah yang digunakan pada makalah lain.
Kemampuan memprediksi efek yang mungkin timbul akibat perubahan pada suatu faktor terhadap suatu situasi biologis yang telah ada dalam equilibrium.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Penerapan
Delapan perilaku yang menunjukkan kemampuan melakukan penerapan adalah:
1) Menentukan prinsip dan generalisasi yang tepat atau relevan
2) Menyatakan kembali (restate) sebuah masalah guna menentukan prinsip dan generalisasi yang diperlukan
3) Merinci batasan suatu prinsip atau generalisasi yang membuat prinsip atau generalisasi benar atau relevan
4) Mengetahui perkecualian atas suatu generalisasi tertentu
5) Menjelaskan fenomena baru yang terdapat pada prinsip atau generalisasi yang telah diketahui
6) Melakukan prediksi dengan berdasarkan pada prinsip dan generalisasi yang tepat
7) Menentukan atau menunjukkan kebenaran (justify) suatu tindakan atau keputusan
8) Menyatakan alasan yang mendukung penggunaan suatu prinsip atau generalisasi
d. Analisis
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
1) Analisis tentang unsur
Pengidentifikasian unsur-unsur yang ada dalam suatu komunikasi.
Kemampuan untuk mengetahui asumsi yang tidak terungkapkan.
Keterampilan dalam membedakan fakta dari hipotesis.
2) Analisis tentang hubungan
Hubungan dan interaksi antara unsur-unsur dan bagian-bagian suatu komunikasi.
Kemampuan untuk memeriksa konsistensi atau ketetapan hipotese dengan informasi dan asumsi yang ada.
Keterampilan dalam memahami hubungan antara ide-ide dalam sebuah bacaan.
3) Analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan
Pengorganisasian, pengaturan sistematis, dan struktur yang menyatukan komunikasi.
Kemampuan untuk mengetahui bentuk dan pola dalam karya sastra atau karya seni sebagai alat untuk memahami artinya.
Keterampilan untuk mengetahui teknik umum yang digunakan dalam materi yang bersifat persuasif, seperti iklan, propaganda, dan sebagainya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Analisis
Kemampuan menganalisis adalah serangkaian keterampilan dan perilaku rumit yang dapat dipelajari siswa melalui praktek dengan beragam materi. Ada enam perilaku yang menunjukkan kemampuan menganalisis, yaitu:
1) Mengklasifikasikan kata, frasa atau pernyataan (subkategori taksonomi analisis tentang unsur
2) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas atau ciri yang tidak dinyatakan secara langsung (subkategori taksonomi analisis tentang unsur)
3) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas, asumsi atau kondisi yang telah dinyatakan (subkategori taksonomi analisis tentang hubungan)
4) Menggunakan kriteria untuk melihat dengan jelas (discern) pola atau urutan (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
5) Mengetahui prinsip atau pola yang menjadi dasar suatu dokumen atau karya (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
6) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kerangka kerja, tujuan atau sudut pandang (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
e. Sintesis
Penyatuan unsur-unsur dan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang berhubungan dengan proses bekerja dengan potongan-potongan, bagian-bagian, unsur-unsur, dana sebagainya, dan mengatur serta menggabungkannya dengan sedemikian rupa guna membentuk suatu pola atau struktur yang sebelumnya tidak jelas.
1) Penghasilan (production) suatu komunikasi yang unik
Pengembangan dari suatu komunikasi dimana penulis atau pembicara berupaya untuk menyampaikan ide, perasaan, dan/atau pengalaman pada orang lain.
Keterampilan dalam menulis, dengan menggunakan suatu pengaturan ide dan pernyataan yang sangat baik.
Kemampuan untuk mengungkapkan pengalaman pribadi dengan efektif.
2) Penghasilan (production) sebuah rencana atau serangkaian operasi yang diajukan
Pengembangan dari suatu rencana kerja atau proposal atas sebuah rencana operasi, yang harus memenuhi persyaratan tugas yang mungkin diberikan pada siswa atau mungkin pula dikembangkannya sendiri.
Kemampuan mengajukan cara-cara untuk menguji hipotesis.
Kemampuan merencanakan sebuah unit instruksi untuk situasi mengajar tertentu.
3) Penemuan serangkaian hubungan yang abstrak
Pengembangan dari seperangkat hubungan yang abstrak baik untuk mengklasifikasi maupun untuk menjelaskan data atau fenomena tertentu, atau deduksi dari pernyataan dan hubungan dari seperangkat pernyataan dasar atau representasi secara simbolis.
Kemampuan merumuskan hipotesis yang tepat dengan berdasarkan pada suatu analisis dari faktor-faktor yang terlibat, dan untuk memodifikasi hipotesis tersebut sesuai dengan faktor dan pertimbangan baru.
Kemampuan membuat penemuan dan generalisasi secara matematis.
f. Evaluasi
Penilaian (judgments) kuantitatif dan kualitatif mengenai nilai dari suatu materi dan metode untuk tujuan tertentu dengan menggunakan standar penilaian yang kriterianya dapat ditentukan oleh siswa sendiri atau ditentukan sebelumnya dan kemudian diberikan pada siswa tersebut.
1) Penilaian (judgments) atas bukti internal
Evaluasi atas akurasi dari suatu komunikasi yang dibuktikan melalui akurasi yang logis, konsistensi dan kriteria internal lainnya.
Menilai (judging) melalui standar internal, kemampuan untuk menilai probabilitas umum dari akurasi dalam melaporkan fakta dari kecermatan atas ketepatan pernyataan, dokumentasi, bukti dan sebagainya.
Kemampuan menunjukkan kekeliruan (fallacies) secara logis dalam argumen.
2) Penilaian (judgments) atas kriteria eksternal
Evaluasi atas materi dengan mengacu pada kriteria yang telah dipilih atau diingat.
Perbandingan dari teori besar, generalisasi, dan fakta mengenai budaya tertentu.
Menilai (judging) melalui standar eksternal, kemampuan untuk membandingkan sebuah karya dengan standar tertinggi dalam bidangnya –terutama dengan karya-karya lain yang diakui kehebatannya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Evaluasi
Terdapat enam perilaku yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan evaluasi, yaitu:
1) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan akurasi, ketepatan (precision), dan kecermatan (akurasi internal)
2) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan konsistensi atas argumen; hubungan antara asumsi, bukti, dan kesimpulan, dan konsistensi internal dari logika dan pengaturan (organization) (konsistensi internal)
3) Mengetahui nilai dan sudut pandang yang digunakan pada penilaian (judgments) atas sebuah karya (kriteria internal)
4) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan membandingkannya dengan karya lain yang relevan (kriteria eksternal)
5) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan menggunakan seperangkat kriteria atau standar yang tersedia (kriteria eksternal)
6) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya menggunakan seperangkat kriteria atau standar eksplisit yang dimiliki siswa (kriteria eksternal)
Pada prinsipnya untuk ranah kognitif untuk keperluan evaluasi pengajaran dapat dikembangkan teknik tes dalam bentuk objektif dan uraian.
2. Ranah Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol dengan lima subkategori; penerimaan (Receiving/Attending), tanggapan (Responding), penghargaan/penilaian (Valuing), pengorganisasian (Organization), dan karakterisasi berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex).
a. Penerimaan (berkonsentrasi / attending)
Siswa menjadi peka terhadap keberadaan dari fenomena dan stimuli tertentu, sehingga ia bersedia menerima atau berkonsentrasi pada (attend to) fenomena dan stimuli tersebut. Ini merupakan langkah pertama yang penting dalam mengarahkan siswa untuk memelajari apa yang diinginkan guru.
1) Kesadaran
Kesadaran hampir merupakan perilaku kognitif. Pembelajar menyadari akan sesuatu yang kemudian dipertimbangkannya seperti sebuah situasi, fenomena, obyek, atau urusan tertentu. Seseorang mungkin saja tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize) aspek-aspek stimulus yang menimbulkan kesadaran.
2) Kemauan untuk menerima
Menunjukkan perilaku bersedia menerima (tolerate) stimulus yang diberikan, bukan menghindarinya. Perilaku ini melibatkan adanya kenetralan atau penilaian yang tertunda (suspended judgment) terhadap stimulus.
3) Perhatian yang terkontrol atau terpilih
Di tingkat ini penerimaan masih tanpa ketegangan atau asesmen dan siswa mungkin tidak tahu istilah atau simbol teknis untuk menggambarkan sebuah fenomena dengan benar dan tepat pada orang lain. Terdapat unsur dimana pembelajar mengontrol perhatian sehingga ia dapat memilih dan menerima stimulus yang diinginkan.
b. Respon (tanggapan)
Menunjukkan keinginan atau hasrat bahwa seorang anak menjadi terlibat dalam atau memberikan komitmen pada suatu subyek, fenomena, atau kegiatan sehingga ia akan mencari dan memeroleh kepuasan untuk bekerja dengan atau melibatkan diri pada subyek, fenomena, atau kegiatan tersebut.
1) Kepasrahan (acquiescence) dalam merespon
Terdapat suatu perilaku yang pasif dan stimulus yang memancing perilaku ini sulit untuk diterima atau digambarkan (subtle). Terdapat lebih banyak unsur reaksi terhadap sebuah gagasan dan lebih sedikit implikasi dari penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly).
2) Kesediaan untuk merespon
Pembelajar cukup berkomitmen untuk menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia untuk merespon bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi seseorang.
3) Kepuasan dalam merespon
Unsur tambahan pada langkah yang melampaui tingkat respon secara sukarela, adalah bahwa perilaku yang tampak disertai dengan rasa puas, suatu respon emosional, yang umumnya menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita.
c. Menilai (Valuing)
Konsep nilai yang abstrak ini sebagian merupakan hasil dari penilaian (valuing) atau asesmen (assessment) dan juga merupakan hasil sosial yang perlahan-lahan telah terserap dalam diri siswa (internalized) atau diterima dan digunakan siswa sebagai kriteria untuk melakukan penilaian. Unsur utama yang terdapat pada perilaku dalam melakukan penilaian adalah bahwa perilaku tersebut dimotivasi, bukan oleh keinginan untuk menjadi siswa yang patuh, namun oleh komitmen terhadap nilai yang mendasari munculnya perilaku.
1) Penerimaan atas nilai
Ciri utama perilaku ini adalah konsistensi respon pada kelompok obyek, fenomena, dan sebagainya, yang digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan atau sikap.
2) Pemilihan atas nilai
Perilaku pada tingkatan ini tidak hanya menunjukkan penerimaan seseorang atas suatu nilai sehingga ia bersedia diidentifikasi berdasarkan nilai tersebut, namun ia juga cukup terikat pada nilai tersebut sehingga ia ingin mengejar, mencari, dan menginginkannya.
3) Komitmen
Keyakinan pada tingkatan ini menunjukkan kadar kepastian yang tinggi. Komitmen merupakan penerimaan emosional yang kuat atas suatu keyakinan. Kesetiaan terhadap posisi, kelompok atau tujuan juga termasuk dalam komitmen.
d. Pengaturan (organization)
Ketika pembelajar telah menyerap nilai, ia menemui situasi dimana ada lebih dari satu nilai yang relevan sehingga ia perlu melakukan (a) pengaturan beberapa nilai ke dalam sebuah sistem, (b) penentuan hubungan diantara nilai-nilai tersebut, dan (c) penetapan nilai-nilai yang dominan dan mencakup segala hal.
1) Konseptualisasi suatu nilai
Pada tingkatan ini kualitas keabstrakan atau konseptualisasi menjadi bertambah yang membuat seseorang melihat bagaimana nilai tersebut berhubungan dengan nilai yang telah diyakininya atau nilai baru yang akan diyakininya.
2) Pengaturan suatu sistem nilai
Meminta pembelajar untuk menyatukan sekelompok nilai yang sama, atau mungkin nilai-nilai yang berbeda, dan membawanya ke dalam suatu hubungan dengan nilai lain yang telah diatur dengan baik. Pengaturan nilai dapat menghasilkan sintesis yang berupa suatu nilai baru atau kelompok nilai dengan tingkatan yang lebih tinggi.
e. Karakterisasi melalui suatu nilai atau kelompok nilai
Pada tingkat penyerapan atau internalisasi nilai ini, nilai telah diatur menjadi sebuah sistem yang konsisten secara internal dan telah mengontrol perilaku seseorang yang menganutnya.
1) Perangkat yang tergeneralisasi (Generalized set)
Memberikan suatu konsistensi internal terhadap sistem sikap dan nilai pada saat-saat tertentu yang juga merupakan suatu dasar orientasi yang memungkinkan seseorang untuk mempersempit dan mengatur dunia yang kompleks yang ada di sekitarnya dan untuk bertindak secara konsisten dan efektif.
2) Penentuan karakter
Ini merupakan tingkatan teratas dari proses penyerapan atau internalisasi nilai yang berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap dunia, filosofi hidupnya, serta sebuah sistem nilai dengan obyek berupa seluruh bagian dari apa yang telah diketahui atau dapat diketahuinya.
Metode untuk Mengevaluasi Hasil-hasil Afektif
1) Observasi
Observasi memungkinkan tercapainya asesmen perilaku afektif yang cepat di lokasi tempat subyek berada. Observasi harian juga memungkinkan tercapainya kesimpulan yang lebih langsung dan lebih aman mengenai pola perilaku afektif ketimbang data dari instrumen administrasi tertulis. Dengan mendengarkan apa yang dikatakan siswa pada temannya dan dengan mengobservasi mereka setiap hari, pola-pola perilaku afektif dapat diidentifikasi.
2) Wawancara
Wawancara adalah pertemuan tatap muka secara langsung dimana pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikembangkan dengan cermat kepada siswa. Bentuk wawancara bisa terstruktur, bisa pula tidak. Wawancara tidak terstruktur memperluas dan memperdalam infomasi evaluatif dengan mendorong ekspresi pribadi dari sikap siswa yang lebih spontan dan lebih cepat.
3) Pertanyaan Open-Ended
Pertanyaan open-ended membutuhkan pernyataan tertulis yang panjangnya bisa beragam.
4) Kuisioner Closed-Item
Kuisioner dengan pilihan-pilihan yang ditentukan hampir sama dengan wawancara terstruktur yang telah dibahas sebelumnya, hanya saja disini responden melengkapi kuisioner tanpa bantuan pewawancara. Ada dua jenis kuisioner closed-item, yaitu menentukan peringkat (ranking) atau pilihan yang dipaksakan (forced choice) dan skala.
3. Ranah Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom. Dari beberapa sumber yang ada rumusan subkategori yang tidak sama baik jumlah maupun istilah yang dipakai.
Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom, ranah ini terbagi dalam enam kategori jenjang kemampuan yaitu Persepsi (Perception), kesiapan (Set), guided Response (respon Terpimpin), mekanisme (Mechanism), respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response), Penyesuaian (Adaptation), Penciptaan (Origination).
Keenam subketegori tersebut menurut Daryanto (1999:123) masih dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama, yakni keterampilan motorik (muscular or motor skill), manipulasi benda-benda (manipulation of material or objects) dan koordinasi neuromuscular.
Menurut Harrow sebagaimana dikutip oleh Hadi Siswoyo dalam http://hadisiswoyo.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=39, Ranah Psikomotorik ada 5 tingkat yaitu (1)meniru, (2) manipulasi, (3) ketepatan gerakan, (4) artikulasi dan (5) naturalisasi.
Gambaran tentang tingkat klasifikasi dan subkategori ranah psikomotor dapat dilihat dari skema berikut:
Tingkat Klasifikasi dan subkategori Batasan Tingkah laku
1. Gerakan Refleks
1.1. Refleks segmental
1.2. Refleks intersegmental
1.3. Refleks suprasegemental Kegiatan yang timbul tanpa sadar dalam menjawab rangsangan Bungkuk, meregangkan badan, penyesuaian postur tubuh.
2. Gerakan fundamental yang dasar
2.1. Gerakan lokomotor
2.2. Gerakan nonlokomotor
2.3. Gerakan manipulative
Pola-pola gerakan yang dibentuk dari paduan gerakan-gerakan reflex dan merupakan dasar gerakan terampil kompleks. Jalan, lari, lompat, luncur, guling, mendaki, mendorong, tarik, pelintir, pegang dsb.
3. Kemampuan Perseptual
3.1. Diskriminasi kinestetis
3.2. Diskriminasi visual
3.3. Diskriminasi Auoditeoris
3.4. Diskriminasi Taktil
3.5. Diskriminasi Terkoordinir Interpretasi stimulasi dengan berbagai cara yang memberi data untuk siswa membuat penyesuaian dengan lingkungannya Hasil-hasil kemampuan perseptual diamati dalam semua gerakan yang disengaja
4. Kemampuan Fisik
4.1. Ketahanan
4.2. Kekuatan
4.3. Fleksibilitas
4.4. Agilitas Karakteristik fungsional dari kekuatan organic yang esensial bagi perkembangan gerakan yang sangat terampil Lari jauh, berenang, gulat, balet, mengetik dsb.
5. Gerakan Terampil
5.1. Keterampilan Adaptif
5.2. Keterampilan Adaptif terpadu
5.3. Keterampilan Adaptif kompleks Suatu tingkat efisiensi apabila melakukan tugas-tugas gerakan kompleks yang didasarkan atas pola gerak yang inheren Semua keterampilan yang dibentuk atas lokomotor dan pola gerakan manipulatif
6. Komunikasi Nondiskursif
6.1. Gerakan Ekspresif
6.2. Gerakan Interpretatif Komunikasi melalui gerakan tubuh mulai dari ekspresi muka sampai gerakan koreografis yang rumit Gerakan muka, semua gerakan tarian dan koreografis yang dilakukan dengan efisien
Pada ranah psikomotorik ini evaluasi yang dapat dikembangkan adalah tes kinerja (performance) atau praktik.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan evaluasi dan taksonomi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Evaluasi dalam sistem pendidikan dan pengajaran adalah komponen yang urgen yang harus dilakukan terutama untuk tujuan mengetahui pencapaian keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran yang telah dijalankan.
2. Tujuan pengajaran pada dasarnya adalah diperolehnya bentuk perubahan tingkah laku baru pada peserta didik yang menurut Benyamin S Bloom terbagi dalam tiga ranah tujuan pengajaran yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikenal dengan taksonomi Bloom.
3. Taksonomi Bloom dikembangkan dari teori psikologi kognitif dan dirumuskan pertama kali tahun 1956. Setiap ranah/domain tersusun atas kategori-kategori atau subkategori yang menunjukkan tingkat kemampuan yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik
4. Dalam evaluasi pendidikan taksonomi Bloom dapat digunakan sebagai acuan melakukan penilaian secara lebih komprehensif dan terperinci mencakup ketiga ranah (kognitif, afektif dan psikomotor) dan mencakup sub-sub kategorinya.
B. Penutup
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
Bibliografi
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Departemen Agama RI, Dirjend Pendidikan Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Serta UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Depag RI, 2006)
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,(Jakarta: PT Gramedia,1992).
Haryono, A. 1999, Evaluasi Pengajaran. Semarang : FMIPA IKIP Semarang.
http://dokumens.multiply.com/journal/item/34
http://evaluasipendidikan.blogspot.com/2008/03/pengukuran-penilaian-dan-evaluasi.html
http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/15489
http://hadisiswoyo.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=39
http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom
http://jurnalpaedagogy.wordpress.com/category/evaluasi-pendidikan/
http://m-thohir.blogspot.com/2008/02/kompleksitas-revisi-taksonomi-bloom.html
http://prasastie.multiply.com/journal/item/47/TAKSONOMI_BLOOM_oleh_I._Prasastie
http://re-searchengines.com/afdhee5-07.html
http://statistikpendidikanii.blogspot.com/
http://sylvie.edublogs.org/2007/04/27/evaluasi-pendidikan/
Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan., (Jakarta:Rajawali Pers, 1996)
Sudjana, Nana, Dr., Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996).
Tayibnapis, Farida Yusuf Dr., M.Pd, Evaluasi Program, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000).
Thoha, M. Chabib, Teknik evaluasi pendidikan (Jakarta: Rajawali Press,1996).
Jumat, 01 Januari 2010
Pendidikan Islam dan Kehidupan Dunia Modern
PENDAHULUAN
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.
Kehidupan modern selain berdimensi positif juga berdemensi negatif. Dimensi positif di antaranya semakin berkembangnya teknologi dalam berbagai bidang, komunikasi, perhubungan, antariksa, kedokteran dan sebagainya.
Sebaliknya dimensi negatifnya juga berkembang pesat. Merosotnya nilai-nilai humanisme, semakin longgarnya nilai-nilai moral, kehidupan masyarakat yang semakin “individualistis”, mengejar kehidupan dan kemewahan duniawi dengan segala cara dan sebagainya.
Dampak negatif kehidupan modern, berpengaruh sangat besar dalam kehidupan keluarga. Karena longgarnya nilai-nilai moral, akhlak dan agama di lingkungan keluarga, maka orang tua sebagai figur panutan anak-anaknya hilang kredibilitasnya, sehingga dalam keluarga tidak ada lagi yang patut menjadi figur panutan.
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Pengguna teknologi seperti komputer, faximile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan secara visual.
Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orangtua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orangtua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut di atas. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat satu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, termasuk di dalamnya dunia pendidikan Islam.
Makalah ini akan mencoba mendeskripsikan kondisi dan situasi pendidikan Islam ketika berhadapan dengan realitas kehidupan dunia modern serta bagaimana seharusnya pendidikan Islam menjawab tantangan tersebut.
PENDIDIKAN ISLAM, TANTANGAN DAN PROBLEMATIKANYA
Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitarnya, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak.
Sedangkan pendidikan Islam lebih diarahkan kepada keseimbangan dan keserasian hidup manusia. Sebagaimana pendapat al-Syaibany yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan. Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam.
Seminar Pendidikan Islam se-dunia pada tahun 1980 di Islamabad menghasilkan rumusan sebagai berikut:
“Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual the community and humanity at large”.
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai cakupan yang sama luasnya dengan pendidikan umum, bahkan melebihinya, oleh karena pendidikan Islam juga membina dan mengembangkan pendidikan agama di mana titik beratnya terletak pada internalisasi nilai iman, islam dan ihsan dalam pribadi manusia muslim yang berilmu pengetahuan luas.
Secara konseptual rumusan pengertian dan tujuan pendidikan di atas begitu ideal, dalam tataran praktis dan realitas pendidikan Islam masih banyak dihadapkan pada problematika serius yang memerlukan pemecahan untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut.
Tantangan dan Problematika Pendidikan Islam
Sistem Pendekatan dan Orientasi
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilan yang merajalela di luar kehidupan Islam dengan dasar dalil: (jika telah datang perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang batil) perlu dilakukan modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang berdasarkan atas pandangan yang realistis bahwa Islam sebagai suatu kebenaran baru mampu berkembang dengan sepenuhnya dalam masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat sasaran melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.
Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi-interest yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi kompleks pula. Jadi tugas pendidikan Islam dalam proses pencapaian tujuannya tidak lagi menghadapi problema yang simplisistis, melainkan amat kompleks akibat rising demand manusia semakin kompleks pula. Semakin kompleks rising demand, semakin kompleks pula hidup kejiwaannya, maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi nafas agama. Secara riil pendidikan Islam masih menemukan kesulitan memenuhi tuntutan seperti itu. Orientasi pendidikan Islam seringkali masih kepada kehidupan ukhrawi an sich. Ini mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke masa depan dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s.d 14) tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita.
Lebih-lebih dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan yang belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman.
Pelembagaan proses kependidikan Islam.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya.
Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner’s potential orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan Islam dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented system) berdasarkan atas pendekatan sistemik.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf rising demand masyarakat.
Untuk mengetahui adanya kesenjangan antara lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan assesment.
Sebegitu jauh peranan pendidikan didesak untuk melakukan inovasi, terutama perubahan kurikulum dan perangkat manajemen. Atas dasar alasan-alasan tertentu para kritikus yang pakar, melontarkan berbagai pandangan kritis, bahkan sinis terhadap posisi lembaga pendidikan Islam. Dari pandangan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu ada yang menganggap bahwa lembaga pendidikan Islam terlalu monopolis-elitis, tidak lagi humane atau populis, sistemnya sudah usang, lapuk dan rapuh, tak berdaya dalam memacu modernisasi masyarakat, bahkan ada yang menganggap bahwa lembaga pendidikan kita tidak lain dipersamakan dengan mental blenders, yang membingungkan masyarakat, dan sebagainya.
Alvin Toffler, dengan kaca mata sain teknologis menggambarkan “our school face backward toward a dying system rather than forward to the emerging new society. Their vast energies are applied to cracking out industrial men; people tooled for survival in a system that will be dead before they are”.
Bilamana Toffler benar-benar menyadari bahwa kelemahan fungsi lembaga pendidikan sebagai subsistem masyarakat, pada hakikatnya tidak terlepas dari mekanisme sistem sosio-kultural yang saat ini sedang diserbu oleh membanjirnya pengaruh sain dan teknologi itu sendiri; maka faktor interaksional dalam pertumbuhan sekolah dan masyarakat adalah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap timbulnya kelemahan fungsional sistem lembaga kependidikan Islam.
Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak. Fungsi lembaga kependidikan mau atau tidak mau harus bersifat laten terhadap kecenderungan sosial tersebut. Akibatnya lembaga ini terlalu dibebani over-demanded, karena dianggap sekedar sebagai public and social servant yang harus tunduk kepada keragaman kepentingan yang berubah-ubah.
Inilah sebagai pencerminan kemelut yang terjadi di dalam masyarakat yang purna-industrial (post industrial society), terutama di Barat. Namun demikian permasalahannya lembaga pendidikan Islam pada khususnya harus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan Islam kita yang masih bersikap konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat transisional seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih diprioritaskan dalam perencanaan.
Pengaruh sains dan teknologi canggih
Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin beragam, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan yang gelap pun dapat dipenetrasi.
Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu mutmainnah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronis dan informatika melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya seperti kecerdasan fikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer, fotokopi jarak jauh (faximile), video cassett recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video, disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu lagi belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan dan berfikir ilmiah taraf tinggi karena alat-alat teknologis telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjemah semua bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (komputer generasi baru) yang mampu berfikir lebih cepat dari otak manusia sendiri, lalu bagaimana tentang proses menginternalisasikan dan menstransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.
Permasalahan baru yang harus dipecahkan oleh pendidikan Islam pada khususnya antara lain adalah dehumanisasi pendidikan, netralisasi nilai-nilai agama atau upaya mengendalikan dan mengarahkan nilai-nilai transisional kepada suatu kawasan yang Ilahi yang kokoh dan tahan banting, baik dalam dimensi individual maupun sosial-kultural.
Di arena perbenturan antar nilai sekuler dan nilai absolutisme dari Tuhan akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis inilah pendidikan Islam harus hidup mengacu dan membuktikan kemampuan canggihnya. Di sinilah to be or not to be nya (eksistensinya) pendidikan Islam.
Tuntutan masyarakat industrial-teknologis masa kini dan masa datang adalah bahwa pendidikan kita saat ini hanya dijadikan sebagai cabang dari teknologi ilmiah yang paling penting yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Padahal seharusnya pendidikan harus dijadikan pusat-pusat pengembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia dalam masyarakat. Kekeliruan pandang demikian memang beralasan bahwa lembaga pendidikan kita dalam beberapa seginya harus dijadikan sumber pengembangan sain dan teknologi dengan menteknologikan proses kependidikan yang berlangsung untuk mencapai outcomes yang seirama dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Nilai-nilai apapun tidak lagi diperlukan, karena teknologi pun bebas dari nilai apapun baik yang moral dan yang spriritual. Ini adalah salah satu aspek pandangan pragmatisme.
KEHIDUPAN DUNIA MODERN
Pengertian Kehidupan Modern dan Modernitas
Secara etimologis kata modern diartikan of the present or recent times, new; up to date, artinya modern berarti sekarang, saat ini atau baru. Makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Atas dasar inilah manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern” yaitu pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.
Modernitas tidak hanya menyangkut soal waktu melainkan juga tentang pembaharuan. Artinya selain seseorang menjadikan kekinian sebagai basis kesadarannya, ia juga harus mempunyai pola-pola pembaharuan dalam kehidupannya. Karena modernisasi secara implikatif, cenderung merupakan proses yang di dalamnya, komitmen pola-pola lama dikikis dan dihancurkan, yang kemudian menyuguhkan pola-pola baru dan pola-pola baru inilah yang diberi status modern. Pembaharuan ini merupakan indikasi bahwa hidup seseorang sudah tidak bergantung lagi pada pakem lama. Maka meskipun seseorang hidup di masa sekarang, apabila kesadaran dan pola hidupnya yang dipakai adalah pola hidup abad pertengahan, maka orang tersebut tidak dikatakan modern. Dengan pengertian demikian itulah maka pembaruan, kemajuan, revolusi dan seterusnya merupakan kata-kata kunci kesadaran modern.
Dalam masyarakat Barat modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di suatu tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan ini biasanya dipergunakan sebagai proses untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi bukan westernisasi yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Jadi modernitas adalah rasionalitas.
Pada umumnya para pakar sepakat bahwa ciri utama yang melatarbelakangi sistem atau model mana pun dari suatu masyarakat modern, adalah derajat rasionalitas yang tinggi dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai dan dalam pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial atau tradisional. Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi.
Kecenderungan dan Ciri Dunia Modern
1. Kecenderungan Dunia Modern
Ada beberapa pandangan mengenai corak kehidupan di masa modern sekarang ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan di masa sekarang dan mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dua kecenderungan ini sudah menjadi kenyataan di berbagai kawasan dunia ini.
Integrasi ekonomi telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (EU), di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North American Free Trade Area), di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam pada itu fragmentasi politik terjadi di mana-mana: di bekas negara Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Soviet, di berbagai negara di Afrika. Fragmentasi di berbagai kawasan ini terjadi karena berbagai alasan. Kekuatan yang paling potensial untuk menimbulkan fragmentasi ini ialah etnisitas dan agama.
Corak kedua, ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti “globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah HAM-untuk menyebut beberapa contoh-dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global dan menyangkut nasib seluruh umat manusia. Di dalam zaman globalisasi ini, tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.
Globalisasi adalah suatu proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramatis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang pesat dalam teknologi, terutama teknologi komunikasi dan bertambahnya arus modal secara bebas. Globalisasi akan menjadikan berbagai bidang sebagai komoditas dan komersil, termasuk pendidikan. Globalisasi juga akan menciptakan kompetisi terbuka di segala bidang. Persoalannya adalah bagaimana meningkatkan daya saing kita agar tetap kompetitif.
Corak ketiga yang banyak pula dikemukakan orang ialah bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepatnya ini akan merubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan lagi, dan timbullah pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru. Muncullah tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru.
Akibat dari situasi semacam inilah maka “pendidikan ulang” (reeducation) atau “pelatihan ulang” (retraining) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas dan untuk mengurangi pengangguran.
Kecenderungan keempat yang banyak disebut-sebut oleh para ahli ialah bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan “dieksport” dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang. Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.
Persoalan kita ialah dapatkah kita survive dalam bidang yang menjadi fokus negara-negara maju tersebut?
Kecenderungan kelima adalah bahwa di tahun-tahun mendatang sebagai akibat dari globalisasi informasi ini, akan lahir suatu gaya hidup baru yang mengandung ekses-ekses tertentu. Di antaranya yang dapat kita sebut seperti penyebaran informasi yang sangat cepat tentang obat-obatan yang mengandung narkotika, literatur pornografi, penggunaan senjata api, serta alat-alat mikro elektronika untuk melakukan tindakan kejahatan; informasi seperti ini telah mendorong banyak orang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Inilah contoh-contoh dari ekses yang ditimbulkan oleh perubahan gaya hidup.
2. Ciri-ciri Masyarakat Modern
Menurut Ginanjar Kartasasmita, masyarakat modern selain memiliki ciri utama derajat rasionalitas yang tinggi, juga memiliki ciri-ciri lain yang berlaku umum yaitu :
a. Tindakan-tindakan sosial
Dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau prescribed action. Dalam masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.
b. Orientasi terhadap perubahan
Dalam masyarakat pramodern, perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun. Makin maju masyarakat makin cepat perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang senantiasa dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang makin cepat, sehingga acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, maka terjadi ketegangan-ketegangan dan bahkan disintegrasi dalam masyarakat yang lebih berat bebannya dan lebih traumatis akibatnya dibandingkan dengan pada masyarakat tradisional yang langka perubahan. Perubahan itu sendiri didorong dan dipercepat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sepertinya roda percepatannya bergerak dengan intensitas yang makin tinggi.
c. Berkembangnya organisasi dan diferensiasi
Masyarakat tradisional membutuhkan organisasi yang sangat sederhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terbatas. Diferensiasi dalam organisasi dan pekerjaan kalau pun ada sedikit sekali dan masih bersifat umum.
Dalam masyarakat modern, organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju suatu masyarakat makin tajam spesialisasi yang diperlukan. Berkembangnya spesialisasi atau diferensiasi baik dalam kelembagaan maupun pekerjaan juga didorong oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan tidak bisa seseorang atau lembaga menguasai atau menangani semua hal atau terlalu banyak hal. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa “orang modern” adalah “orang organisasi” (organization man).
3. Manusia Modern: Sisi Positif dan Negatif
Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith. (1974) dalam bukunya Becoming Modern, sebagaimana dikutip Kartasasmita menyebutkan sembilan ciri manusia modern, yaitu: (1) terbuka terhadap inovasi, perubahan, penanggungan risiko, dan terhadap gagasan-gagasan baru; (2) tertarik dan memiliki kemampuan membentuk pandangan-pandangan mengenai isu-isu yang berada di luar lingkungannya; (3) lebih demokratis, terutama dalam hal pengakuan dan toleransi terhadap perbedaan pendapat; (4) lebih berorientasi terhadap masa kini dan masa depan daripada masa lalu; (5) menempatkan masa depan dirinya ke dalam suatu perencanaan, visualisasi, dan pengorganisasian untuk mewujudkannya; (6) cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan dan terbuka untuk kendali manusia; (7) menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status tradisionalnya sehingga pandangannya terhadap peran wanita dan anak-anak menjadi positif; (8) menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi instrumen untuk mengendalikan alam; (9) memiliki pandangan bahwa manusia harus dihargai berdasarkan kontribusinya terhadap masyarakat, bukan berdasarkan status.
Selain karakteristik yang bersifat positif di atas, dari berbagai literatur, dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan “penyakit” yang terdapat dalam masyarakat modern. Pertama, disintegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakan akal fikiran manusia dan cenderung membingungkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (split personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga, dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan serta kemanusiaan, sebagai akibat dari kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stress dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya tanpa dibarengi sikap tawakkal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai akibat dari sifat individualistik dan delapan, kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA MODERN
Sikap kita terhadap modernitas
Modernitas sering dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan tradisional. Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme. Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu. Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah ‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat, tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.
Masalah inti yang perlu ditanamkan adalah keimanan akan Tuhan dan memandang dunia dengan pikiran dan hati berdasarkan ketuhanan. Jika seseorang telah menancapkan keimanan dalam hatinya dengan teguh maka ia tidak perlu menutup diri terhadap perubahan ataupun datangnya budaya asing. Jika ia telah mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan maka ia sebenarnya telah berjalan dalam bimbingan dan cahaya Tuhan. Pemahamannya akan ketuhanan (divinity) ataupun spiritualitas akan memberikan filter baginya dalam menghadapi berbagai paham lain yang bertentangan dengan paham yang diyakininya Lantas bagaimana generasi muda dapat memperoleh kesadaran tersebut?
Untuk menjawabnya kita mesti memahami masalah yang kita hadapi terlebih dahulu. Ekses yang timbul dari modernitas adalah semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin ditinggalkannya pemikiran yang bersifat ketuhanan (divine). Kehidupan modern dapat membuat orang merasa tidak lagi memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Mereka merasa bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan segala hal yang mereka butuhkan dalam kehidupan dan ‘Tuhan telah mati’. Iklan-iklan menggempur kita dengan kebohongan bahwa kita bisa berbahagia jika menggunakan produk-produk tertentu. Perusahaan asuransi lebih dipercayai daripada janji Tuhan dalam buku suci. Ilmu pengetahuan populer menyodorkan teori bahwa alam semesta ini muncul dengan sendirinya karena hukum alam semata. Ini semuanya berdasar pada paham materialisme yang merupakan musuh bersama dari umat beragama dan bukan modernitas itu sendiri.
Transformasi Pendidikan Islam
Untuk menjawab tantangan modernitas tersebut, pendidikan Islam perlu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terutama berkaitan:
Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Dampak globalisasi sebagai akibat dari kemajuan di bidang informasi sebagaimana disebutkan di atas terhadap peradaban dunia merujuk kepada suatu pengaruh yang mendunia. Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi oleh dunia pendidikan jika ingin menempatkan pendidikan pada visi sebagai agen pembangunan dan perkembangan yang tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, pendidikan sebagaimana dinyatakan Amir Faisal, harus mampu menyiapkan sumberdaya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif. Manusia yang kreatif dan produktif inilah menurut Mochtar Buchori yang harus dijadikan visi pendidikan, termasuk pendidikan Islam, karena manusia yang demikianlah yang didambakan kehadirannya baik secara individual, sosial, maupun nasional.
Problema yang dihadapi manusia modern, menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak kedalam ikatan tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya manusia yang ikhlas.
Dalam situasi pendidikan yang demikian itu, pendidikan Islam harus memainkan peran dan fungsi kultural, yaitu suatu upaya melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan cita-cita masyarakat yang didukungnya. Dalam fungsi ideal ini pula sebuah lembaga pendidikan Islam juga bertugas untuk mengontrol dan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Strategi Pembelajaran
Secara moral berbagai persoalan yang timbul sebagai akibat dari kemajuan, merupakan tanggung jawab kalangan dunia pendidikan, untuk mencari akar pemecahannya melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara sosiologis ada beberapa strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan tersebut di atas di antaranya kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan visinya yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Dunia pendidikan seharusnya melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang bertujuan membantu para lulusan agar dapat melakukan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah.
Jika visi tentang lulusan lembaga pendidikan tersebut disepakati, maka konsekuensinya perlu dirumuskan kembali mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada konstruksi sosial, yaitu kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam ini sifatnya dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan tuntutan perubahan sosial.
Tahap selanjutnya adalah mengembangkan paradigma pembelajaran student centered, sehingga siswa terlatih untuk bersikap kreatif, mandiri dan produktif. Sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat yang maju. Kondisi semacam ini akan menciptakan masyarakat belajar (learning society).
Keterpaduan antara ilmu agama dan umum
Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu umum dan keterpaduan antara disiplin ilmu umum dan ilmu agama perlu dilakukan, tanpa mengorbankan spesialisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Dalam hal ini spesialisasi harus dilakukan dalam hubungannya dengan pembidangan yang secara teknis memang harus dilakukan mengingat tidak mungkin di masa sekarang ini setiap orang dapat menguasai keahlian dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Namun spesialisasi itu harus ditempatkan dalam kerangka saling berhubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Pemikiran keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama ini pada tahap selanjutnya membawa kepada timbulnya konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang menjadi bahan diskusi yang sampai saat ini belum selesai.
Penerapan Akhlak tasawuf
Kehidupan modern yang materialistik dan hedonistik dengan segala akibatnya yang saat ini mulai melanda kalangan dunia pendidikan perlu diimbangi dengan penerapan akhlak tasawuf. Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah, diterimanya siswa yang NEMnya rendah dengan sarat ada uang pelicin, pemberian beban biasa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan oeningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja sudah demikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat menaruh harapan masa depan bangsa.
Keadaan dunia pendidikan seperti demikian itu, diperparah dengan beredarnya obat-obat terlarang di sekolah-sekolah. Berbagai tindakan yang paling aman dan gangpang bagi sekolah adalah mengeluarakan siswa yang jelas-jelas terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang itu. Perlu dipikirkan cara lain agar tidak mengorbankan pihak manapun.
Alternatif lain yang perlu dikembangkan dalam mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan mengamalkan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke seluruh bidang studi yang diajarkan sekolah. Menurut Jalaludin Rakhmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan “lembaga pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal adalah the institute of society, ethic and life. Kini telah disadari bahwa sulit bagi ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata sains tidak boleh dibiarkan lepas dari etika kalau tidak ingin senjata makan tuan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kehidupan dunia modern yang membawa pada era globalisasi, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari materi, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan murid perlu ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini perlu dilakukan, jika dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang berat yang penanganannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk itu saran, masukan dan kritik yang membangun kami nantikan demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Moh. Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan dan praktik Pendidikan, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Darma, Satria, Sekolah Berbasis Keagamaan Dan Tantangan Bersama Di Masa Depan,dalam http://klubguru.com/view.php?subaction=showfull&id=1236307194&archive=&start_from=&ucat=3&
Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html
Hidayat, Komarudin, Upaya pembebasan Manusia Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, (Jakarta: Grafiti Press, 1987).
Husein, Torsten, Masyarakat Belajar, Terj. P. Surono Hargosewoyo dan Yusuf Hadi Miarso dari judul asli: The Learning society, (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1988)
Kartasasmita, Ginandjar, Karakteristik dan Struktur Masyarakat Indonesia Modern, Makalah Disampaikan pada Uji Sahih Penyusunan Konsep GBHN 1998,Yogyakarta, 29 Juni 1997.
Khobir, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Manser, Martin H., Oxford Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1995).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
Rahmat, Jalaludin, Islam menyongsong Peradaban Dunia Ketiga, dalam Ulumul Qur’an, Vol. 2, 1989.
_____________, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991)
Saleh, Abdul Rahman, Konsepsi dan Pengantar Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993).
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198
Shihab, Quraysh, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.
Kehidupan modern selain berdimensi positif juga berdemensi negatif. Dimensi positif di antaranya semakin berkembangnya teknologi dalam berbagai bidang, komunikasi, perhubungan, antariksa, kedokteran dan sebagainya.
Sebaliknya dimensi negatifnya juga berkembang pesat. Merosotnya nilai-nilai humanisme, semakin longgarnya nilai-nilai moral, kehidupan masyarakat yang semakin “individualistis”, mengejar kehidupan dan kemewahan duniawi dengan segala cara dan sebagainya.
Dampak negatif kehidupan modern, berpengaruh sangat besar dalam kehidupan keluarga. Karena longgarnya nilai-nilai moral, akhlak dan agama di lingkungan keluarga, maka orang tua sebagai figur panutan anak-anaknya hilang kredibilitasnya, sehingga dalam keluarga tidak ada lagi yang patut menjadi figur panutan.
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Pengguna teknologi seperti komputer, faximile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan secara visual.
Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orangtua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orangtua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut di atas. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat satu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, termasuk di dalamnya dunia pendidikan Islam.
Makalah ini akan mencoba mendeskripsikan kondisi dan situasi pendidikan Islam ketika berhadapan dengan realitas kehidupan dunia modern serta bagaimana seharusnya pendidikan Islam menjawab tantangan tersebut.
PENDIDIKAN ISLAM, TANTANGAN DAN PROBLEMATIKANYA
Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitarnya, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak.
Sedangkan pendidikan Islam lebih diarahkan kepada keseimbangan dan keserasian hidup manusia. Sebagaimana pendapat al-Syaibany yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan. Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam.
Seminar Pendidikan Islam se-dunia pada tahun 1980 di Islamabad menghasilkan rumusan sebagai berikut:
“Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual the community and humanity at large”.
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai cakupan yang sama luasnya dengan pendidikan umum, bahkan melebihinya, oleh karena pendidikan Islam juga membina dan mengembangkan pendidikan agama di mana titik beratnya terletak pada internalisasi nilai iman, islam dan ihsan dalam pribadi manusia muslim yang berilmu pengetahuan luas.
Secara konseptual rumusan pengertian dan tujuan pendidikan di atas begitu ideal, dalam tataran praktis dan realitas pendidikan Islam masih banyak dihadapkan pada problematika serius yang memerlukan pemecahan untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut.
Tantangan dan Problematika Pendidikan Islam
Sistem Pendekatan dan Orientasi
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilan yang merajalela di luar kehidupan Islam dengan dasar dalil: (jika telah datang perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang batil) perlu dilakukan modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang berdasarkan atas pandangan yang realistis bahwa Islam sebagai suatu kebenaran baru mampu berkembang dengan sepenuhnya dalam masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat sasaran melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.
Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi-interest yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi kompleks pula. Jadi tugas pendidikan Islam dalam proses pencapaian tujuannya tidak lagi menghadapi problema yang simplisistis, melainkan amat kompleks akibat rising demand manusia semakin kompleks pula. Semakin kompleks rising demand, semakin kompleks pula hidup kejiwaannya, maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi nafas agama. Secara riil pendidikan Islam masih menemukan kesulitan memenuhi tuntutan seperti itu. Orientasi pendidikan Islam seringkali masih kepada kehidupan ukhrawi an sich. Ini mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke masa depan dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s.d 14) tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita.
Lebih-lebih dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan yang belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman.
Pelembagaan proses kependidikan Islam.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya.
Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner’s potential orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan Islam dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented system) berdasarkan atas pendekatan sistemik.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf rising demand masyarakat.
Untuk mengetahui adanya kesenjangan antara lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan assesment.
Sebegitu jauh peranan pendidikan didesak untuk melakukan inovasi, terutama perubahan kurikulum dan perangkat manajemen. Atas dasar alasan-alasan tertentu para kritikus yang pakar, melontarkan berbagai pandangan kritis, bahkan sinis terhadap posisi lembaga pendidikan Islam. Dari pandangan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu ada yang menganggap bahwa lembaga pendidikan Islam terlalu monopolis-elitis, tidak lagi humane atau populis, sistemnya sudah usang, lapuk dan rapuh, tak berdaya dalam memacu modernisasi masyarakat, bahkan ada yang menganggap bahwa lembaga pendidikan kita tidak lain dipersamakan dengan mental blenders, yang membingungkan masyarakat, dan sebagainya.
Alvin Toffler, dengan kaca mata sain teknologis menggambarkan “our school face backward toward a dying system rather than forward to the emerging new society. Their vast energies are applied to cracking out industrial men; people tooled for survival in a system that will be dead before they are”.
Bilamana Toffler benar-benar menyadari bahwa kelemahan fungsi lembaga pendidikan sebagai subsistem masyarakat, pada hakikatnya tidak terlepas dari mekanisme sistem sosio-kultural yang saat ini sedang diserbu oleh membanjirnya pengaruh sain dan teknologi itu sendiri; maka faktor interaksional dalam pertumbuhan sekolah dan masyarakat adalah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap timbulnya kelemahan fungsional sistem lembaga kependidikan Islam.
Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak. Fungsi lembaga kependidikan mau atau tidak mau harus bersifat laten terhadap kecenderungan sosial tersebut. Akibatnya lembaga ini terlalu dibebani over-demanded, karena dianggap sekedar sebagai public and social servant yang harus tunduk kepada keragaman kepentingan yang berubah-ubah.
Inilah sebagai pencerminan kemelut yang terjadi di dalam masyarakat yang purna-industrial (post industrial society), terutama di Barat. Namun demikian permasalahannya lembaga pendidikan Islam pada khususnya harus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan Islam kita yang masih bersikap konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat transisional seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih diprioritaskan dalam perencanaan.
Pengaruh sains dan teknologi canggih
Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin beragam, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan yang gelap pun dapat dipenetrasi.
Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu mutmainnah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronis dan informatika melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya seperti kecerdasan fikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer, fotokopi jarak jauh (faximile), video cassett recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video, disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu lagi belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan dan berfikir ilmiah taraf tinggi karena alat-alat teknologis telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjemah semua bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (komputer generasi baru) yang mampu berfikir lebih cepat dari otak manusia sendiri, lalu bagaimana tentang proses menginternalisasikan dan menstransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.
Permasalahan baru yang harus dipecahkan oleh pendidikan Islam pada khususnya antara lain adalah dehumanisasi pendidikan, netralisasi nilai-nilai agama atau upaya mengendalikan dan mengarahkan nilai-nilai transisional kepada suatu kawasan yang Ilahi yang kokoh dan tahan banting, baik dalam dimensi individual maupun sosial-kultural.
Di arena perbenturan antar nilai sekuler dan nilai absolutisme dari Tuhan akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis inilah pendidikan Islam harus hidup mengacu dan membuktikan kemampuan canggihnya. Di sinilah to be or not to be nya (eksistensinya) pendidikan Islam.
Tuntutan masyarakat industrial-teknologis masa kini dan masa datang adalah bahwa pendidikan kita saat ini hanya dijadikan sebagai cabang dari teknologi ilmiah yang paling penting yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Padahal seharusnya pendidikan harus dijadikan pusat-pusat pengembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia dalam masyarakat. Kekeliruan pandang demikian memang beralasan bahwa lembaga pendidikan kita dalam beberapa seginya harus dijadikan sumber pengembangan sain dan teknologi dengan menteknologikan proses kependidikan yang berlangsung untuk mencapai outcomes yang seirama dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Nilai-nilai apapun tidak lagi diperlukan, karena teknologi pun bebas dari nilai apapun baik yang moral dan yang spriritual. Ini adalah salah satu aspek pandangan pragmatisme.
KEHIDUPAN DUNIA MODERN
Pengertian Kehidupan Modern dan Modernitas
Secara etimologis kata modern diartikan of the present or recent times, new; up to date, artinya modern berarti sekarang, saat ini atau baru. Makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Atas dasar inilah manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern” yaitu pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.
Modernitas tidak hanya menyangkut soal waktu melainkan juga tentang pembaharuan. Artinya selain seseorang menjadikan kekinian sebagai basis kesadarannya, ia juga harus mempunyai pola-pola pembaharuan dalam kehidupannya. Karena modernisasi secara implikatif, cenderung merupakan proses yang di dalamnya, komitmen pola-pola lama dikikis dan dihancurkan, yang kemudian menyuguhkan pola-pola baru dan pola-pola baru inilah yang diberi status modern. Pembaharuan ini merupakan indikasi bahwa hidup seseorang sudah tidak bergantung lagi pada pakem lama. Maka meskipun seseorang hidup di masa sekarang, apabila kesadaran dan pola hidupnya yang dipakai adalah pola hidup abad pertengahan, maka orang tersebut tidak dikatakan modern. Dengan pengertian demikian itulah maka pembaruan, kemajuan, revolusi dan seterusnya merupakan kata-kata kunci kesadaran modern.
Dalam masyarakat Barat modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di suatu tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan ini biasanya dipergunakan sebagai proses untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi bukan westernisasi yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Jadi modernitas adalah rasionalitas.
Pada umumnya para pakar sepakat bahwa ciri utama yang melatarbelakangi sistem atau model mana pun dari suatu masyarakat modern, adalah derajat rasionalitas yang tinggi dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai dan dalam pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial atau tradisional. Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi.
Kecenderungan dan Ciri Dunia Modern
1. Kecenderungan Dunia Modern
Ada beberapa pandangan mengenai corak kehidupan di masa modern sekarang ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan di masa sekarang dan mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dua kecenderungan ini sudah menjadi kenyataan di berbagai kawasan dunia ini.
Integrasi ekonomi telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (EU), di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North American Free Trade Area), di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam pada itu fragmentasi politik terjadi di mana-mana: di bekas negara Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Soviet, di berbagai negara di Afrika. Fragmentasi di berbagai kawasan ini terjadi karena berbagai alasan. Kekuatan yang paling potensial untuk menimbulkan fragmentasi ini ialah etnisitas dan agama.
Corak kedua, ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti “globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah HAM-untuk menyebut beberapa contoh-dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global dan menyangkut nasib seluruh umat manusia. Di dalam zaman globalisasi ini, tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.
Globalisasi adalah suatu proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramatis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang pesat dalam teknologi, terutama teknologi komunikasi dan bertambahnya arus modal secara bebas. Globalisasi akan menjadikan berbagai bidang sebagai komoditas dan komersil, termasuk pendidikan. Globalisasi juga akan menciptakan kompetisi terbuka di segala bidang. Persoalannya adalah bagaimana meningkatkan daya saing kita agar tetap kompetitif.
Corak ketiga yang banyak pula dikemukakan orang ialah bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepatnya ini akan merubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan lagi, dan timbullah pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru. Muncullah tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru.
Akibat dari situasi semacam inilah maka “pendidikan ulang” (reeducation) atau “pelatihan ulang” (retraining) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas dan untuk mengurangi pengangguran.
Kecenderungan keempat yang banyak disebut-sebut oleh para ahli ialah bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan “dieksport” dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang. Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.
Persoalan kita ialah dapatkah kita survive dalam bidang yang menjadi fokus negara-negara maju tersebut?
Kecenderungan kelima adalah bahwa di tahun-tahun mendatang sebagai akibat dari globalisasi informasi ini, akan lahir suatu gaya hidup baru yang mengandung ekses-ekses tertentu. Di antaranya yang dapat kita sebut seperti penyebaran informasi yang sangat cepat tentang obat-obatan yang mengandung narkotika, literatur pornografi, penggunaan senjata api, serta alat-alat mikro elektronika untuk melakukan tindakan kejahatan; informasi seperti ini telah mendorong banyak orang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Inilah contoh-contoh dari ekses yang ditimbulkan oleh perubahan gaya hidup.
2. Ciri-ciri Masyarakat Modern
Menurut Ginanjar Kartasasmita, masyarakat modern selain memiliki ciri utama derajat rasionalitas yang tinggi, juga memiliki ciri-ciri lain yang berlaku umum yaitu :
a. Tindakan-tindakan sosial
Dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau prescribed action. Dalam masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.
b. Orientasi terhadap perubahan
Dalam masyarakat pramodern, perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun. Makin maju masyarakat makin cepat perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang senantiasa dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang makin cepat, sehingga acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, maka terjadi ketegangan-ketegangan dan bahkan disintegrasi dalam masyarakat yang lebih berat bebannya dan lebih traumatis akibatnya dibandingkan dengan pada masyarakat tradisional yang langka perubahan. Perubahan itu sendiri didorong dan dipercepat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sepertinya roda percepatannya bergerak dengan intensitas yang makin tinggi.
c. Berkembangnya organisasi dan diferensiasi
Masyarakat tradisional membutuhkan organisasi yang sangat sederhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terbatas. Diferensiasi dalam organisasi dan pekerjaan kalau pun ada sedikit sekali dan masih bersifat umum.
Dalam masyarakat modern, organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju suatu masyarakat makin tajam spesialisasi yang diperlukan. Berkembangnya spesialisasi atau diferensiasi baik dalam kelembagaan maupun pekerjaan juga didorong oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan tidak bisa seseorang atau lembaga menguasai atau menangani semua hal atau terlalu banyak hal. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa “orang modern” adalah “orang organisasi” (organization man).
3. Manusia Modern: Sisi Positif dan Negatif
Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith. (1974) dalam bukunya Becoming Modern, sebagaimana dikutip Kartasasmita menyebutkan sembilan ciri manusia modern, yaitu: (1) terbuka terhadap inovasi, perubahan, penanggungan risiko, dan terhadap gagasan-gagasan baru; (2) tertarik dan memiliki kemampuan membentuk pandangan-pandangan mengenai isu-isu yang berada di luar lingkungannya; (3) lebih demokratis, terutama dalam hal pengakuan dan toleransi terhadap perbedaan pendapat; (4) lebih berorientasi terhadap masa kini dan masa depan daripada masa lalu; (5) menempatkan masa depan dirinya ke dalam suatu perencanaan, visualisasi, dan pengorganisasian untuk mewujudkannya; (6) cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan dan terbuka untuk kendali manusia; (7) menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status tradisionalnya sehingga pandangannya terhadap peran wanita dan anak-anak menjadi positif; (8) menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi instrumen untuk mengendalikan alam; (9) memiliki pandangan bahwa manusia harus dihargai berdasarkan kontribusinya terhadap masyarakat, bukan berdasarkan status.
Selain karakteristik yang bersifat positif di atas, dari berbagai literatur, dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan “penyakit” yang terdapat dalam masyarakat modern. Pertama, disintegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakan akal fikiran manusia dan cenderung membingungkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (split personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga, dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan serta kemanusiaan, sebagai akibat dari kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stress dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya tanpa dibarengi sikap tawakkal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai akibat dari sifat individualistik dan delapan, kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA MODERN
Sikap kita terhadap modernitas
Modernitas sering dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan tradisional. Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme. Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu. Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah ‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat, tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.
Masalah inti yang perlu ditanamkan adalah keimanan akan Tuhan dan memandang dunia dengan pikiran dan hati berdasarkan ketuhanan. Jika seseorang telah menancapkan keimanan dalam hatinya dengan teguh maka ia tidak perlu menutup diri terhadap perubahan ataupun datangnya budaya asing. Jika ia telah mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan maka ia sebenarnya telah berjalan dalam bimbingan dan cahaya Tuhan. Pemahamannya akan ketuhanan (divinity) ataupun spiritualitas akan memberikan filter baginya dalam menghadapi berbagai paham lain yang bertentangan dengan paham yang diyakininya Lantas bagaimana generasi muda dapat memperoleh kesadaran tersebut?
Untuk menjawabnya kita mesti memahami masalah yang kita hadapi terlebih dahulu. Ekses yang timbul dari modernitas adalah semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin ditinggalkannya pemikiran yang bersifat ketuhanan (divine). Kehidupan modern dapat membuat orang merasa tidak lagi memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Mereka merasa bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan segala hal yang mereka butuhkan dalam kehidupan dan ‘Tuhan telah mati’. Iklan-iklan menggempur kita dengan kebohongan bahwa kita bisa berbahagia jika menggunakan produk-produk tertentu. Perusahaan asuransi lebih dipercayai daripada janji Tuhan dalam buku suci. Ilmu pengetahuan populer menyodorkan teori bahwa alam semesta ini muncul dengan sendirinya karena hukum alam semata. Ini semuanya berdasar pada paham materialisme yang merupakan musuh bersama dari umat beragama dan bukan modernitas itu sendiri.
Transformasi Pendidikan Islam
Untuk menjawab tantangan modernitas tersebut, pendidikan Islam perlu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terutama berkaitan:
Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Dampak globalisasi sebagai akibat dari kemajuan di bidang informasi sebagaimana disebutkan di atas terhadap peradaban dunia merujuk kepada suatu pengaruh yang mendunia. Kecenderungan seperti itu harus diantisipasi oleh dunia pendidikan jika ingin menempatkan pendidikan pada visi sebagai agen pembangunan dan perkembangan yang tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, pendidikan sebagaimana dinyatakan Amir Faisal, harus mampu menyiapkan sumberdaya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif. Manusia yang kreatif dan produktif inilah menurut Mochtar Buchori yang harus dijadikan visi pendidikan, termasuk pendidikan Islam, karena manusia yang demikianlah yang didambakan kehadirannya baik secara individual, sosial, maupun nasional.
Problema yang dihadapi manusia modern, menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak kedalam ikatan tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya manusia yang ikhlas.
Dalam situasi pendidikan yang demikian itu, pendidikan Islam harus memainkan peran dan fungsi kultural, yaitu suatu upaya melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan cita-cita masyarakat yang didukungnya. Dalam fungsi ideal ini pula sebuah lembaga pendidikan Islam juga bertugas untuk mengontrol dan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Strategi Pembelajaran
Secara moral berbagai persoalan yang timbul sebagai akibat dari kemajuan, merupakan tanggung jawab kalangan dunia pendidikan, untuk mencari akar pemecahannya melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara sosiologis ada beberapa strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan tersebut di atas di antaranya kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan visinya yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Dunia pendidikan seharusnya melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang bertujuan membantu para lulusan agar dapat melakukan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah.
Jika visi tentang lulusan lembaga pendidikan tersebut disepakati, maka konsekuensinya perlu dirumuskan kembali mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada konstruksi sosial, yaitu kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam ini sifatnya dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan tuntutan perubahan sosial.
Tahap selanjutnya adalah mengembangkan paradigma pembelajaran student centered, sehingga siswa terlatih untuk bersikap kreatif, mandiri dan produktif. Sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat yang maju. Kondisi semacam ini akan menciptakan masyarakat belajar (learning society).
Keterpaduan antara ilmu agama dan umum
Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu umum dan keterpaduan antara disiplin ilmu umum dan ilmu agama perlu dilakukan, tanpa mengorbankan spesialisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Dalam hal ini spesialisasi harus dilakukan dalam hubungannya dengan pembidangan yang secara teknis memang harus dilakukan mengingat tidak mungkin di masa sekarang ini setiap orang dapat menguasai keahlian dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Namun spesialisasi itu harus ditempatkan dalam kerangka saling berhubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Pemikiran keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama ini pada tahap selanjutnya membawa kepada timbulnya konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang menjadi bahan diskusi yang sampai saat ini belum selesai.
Penerapan Akhlak tasawuf
Kehidupan modern yang materialistik dan hedonistik dengan segala akibatnya yang saat ini mulai melanda kalangan dunia pendidikan perlu diimbangi dengan penerapan akhlak tasawuf. Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah, diterimanya siswa yang NEMnya rendah dengan sarat ada uang pelicin, pemberian beban biasa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan oeningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja sudah demikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat menaruh harapan masa depan bangsa.
Keadaan dunia pendidikan seperti demikian itu, diperparah dengan beredarnya obat-obat terlarang di sekolah-sekolah. Berbagai tindakan yang paling aman dan gangpang bagi sekolah adalah mengeluarakan siswa yang jelas-jelas terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang itu. Perlu dipikirkan cara lain agar tidak mengorbankan pihak manapun.
Alternatif lain yang perlu dikembangkan dalam mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan mengamalkan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke seluruh bidang studi yang diajarkan sekolah. Menurut Jalaludin Rakhmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan “lembaga pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal adalah the institute of society, ethic and life. Kini telah disadari bahwa sulit bagi ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata sains tidak boleh dibiarkan lepas dari etika kalau tidak ingin senjata makan tuan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kehidupan dunia modern yang membawa pada era globalisasi, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari materi, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan murid perlu ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini perlu dilakukan, jika dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang berat yang penanganannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk itu saran, masukan dan kritik yang membangun kami nantikan demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Moh. Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan dan praktik Pendidikan, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Darma, Satria, Sekolah Berbasis Keagamaan Dan Tantangan Bersama Di Masa Depan,dalam http://klubguru.com/view.php?subaction=showfull&id=1236307194&archive=&start_from=&ucat=3&
Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html
Hidayat, Komarudin, Upaya pembebasan Manusia Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, (Jakarta: Grafiti Press, 1987).
Husein, Torsten, Masyarakat Belajar, Terj. P. Surono Hargosewoyo dan Yusuf Hadi Miarso dari judul asli: The Learning society, (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1988)
Kartasasmita, Ginandjar, Karakteristik dan Struktur Masyarakat Indonesia Modern, Makalah Disampaikan pada Uji Sahih Penyusunan Konsep GBHN 1998,Yogyakarta, 29 Juni 1997.
Khobir, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Manser, Martin H., Oxford Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1995).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
Rahmat, Jalaludin, Islam menyongsong Peradaban Dunia Ketiga, dalam Ulumul Qur’an, Vol. 2, 1989.
_____________, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991)
Saleh, Abdul Rahman, Konsepsi dan Pengantar Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993).
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198
Shihab, Quraysh, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).
Langganan:
Postingan (Atom)